وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Nabi mereka mengatakan kepada mereka:
"Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." mereka
menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah Kami, Padahal Kami lebih berhak
mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan
yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah
memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang Luas dan tubuh yang
perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui.
Syaikh
Musthafa al-Maraghi dalam tafsir al-Maraghi-nya menjelaskan makna term بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ sebagai berikut:
(1)
السعة
في العلم الذي يكون به التدبير ، ومعرفة مواطن ضعف الأمة وقوتها وجودة الفكر في
تدبير شئونها.
Artinya:
Ia berilmu luas, sehingga memberikan kemungkinan bagi dirinya mengatur
tatanan kerajaan yang dipegangnya. Dengan ilmunya itu, ia mengetahui titik
kelemahan dan potensi kekuatan yang ada dalam
tubuh umatnya. Dengan demikian ia akan dapat mengatur kesemuanya itu kematangan
pikirannya.(Syekh Ahmad Musafa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Maktabah Syamilah).
Mengacu pada tafsir di
atas, maka yang dimaksud keluasan ilmu adalah menguasai ilmu di bidangnya yang terdiri dari ontotologi, epistemologi dan aksiologisnya. Contoh: seorang sarjana
pendidikan mesti menguasai hakikat pendidikan, sumber-sumber/teori/pendekatan/metode
pendidikan dan nilai kegunaan pendidikan; seorang sarjana pertanian mesti
menguasai hakikat pertanian, sumber-sumber/teori/pendekatan/metode pertanian dan
nilai kegunaan pertanian dan seterusnya. Dalam konteks kepemimpinan, menguasai
ilmu di bidangnya saja tidaklah cukup disebabkan ia akan bersosialisasi dan
berinteraksi dengan banyak orang secara individu maupun kelompok yang multikultural. Oleh karena itu sangat
diperlukan ilmu kepemimpinan dan ilmu-ilmu yang mendukungnya yang bertujuan
untuk mengatur tatanan wilayah kekuasaannya dengan baik, merumuskan, menganalis
dan mencari solusi dari permasalahan wilayah kekuasaannya dengan mengalisis
kelemahan dan kekuatan sumber-sumber daya yang ada yang kesemuanya ditujukan
untuk kesejahteraan rakyat/bawahannya.
Dengan demikian makna بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ tidak ada hubungannya dengan akhlak apalagi
ilmu-ilmu keislaman, jadi lebih dimaknai
sebagai penguasaan acquired knowledge (ilmu-ilmu perolehan)
manusia. Adapun makna term basthatan fi al-jism, cermatilah
kembali penjelasan Syaikh Mustafa al-Maraghi dalam tafsir al-Maraghi-nya
sebagai berikut:
(3) بسطة الجسم وكمال قواه المستلزمة لصحة
الفكر ، فقد جاء في أمثالهم :
العقل السليم في الجسم السليم. وللشجاعة والقدرة على المدافعة
والهيبة والوقار.
'' Bertubuh kekar dan sehat merupakan
pertanda kesehatan pikirannya. Dalam
kata pepatah dikatakan: ''Akal yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat''.
Dengan kekekaran dan kesehatan tubuhnya itu memungkinkan bagi dirinya melakukan
bela diri sehingga dapat mempengaruhi orang lain dan dihormati''.
(Tafsir al-Maraghi, Maktabah Syamilah).
Untuk
memperoleh makna yang tepat dari term basthatan fi al-jismi di atas,
agaknya perlu saya kutipkan satu ayat lagi dalam al-Quran yang lebih
mengesankan yang juga menggunakan term basthah
ini terdapat dalam Q.s. al-A'raf/7: 69 :
أَوَعَجِبْتُمْ أَنْ جَاءَكُمْ ذِكْرٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَلَى رَجُلٍ مِنْكُمْ لِيُنْذِرَكُمْ وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِي الْخَلْقِ بَسْطَةً فَاذْكُرُوا آلَاءَ اللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apakah kamu (tidak
percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa
oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu? dan
ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai
pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah
melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka
ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Menurut ayat
Q.s.al-A'raf/7: 69 di atas dapat
dipahami bahwa untuk menjadi khalifah (pemimpin) kriterianya adalah fi
al-khalqi basthatan. Makna ini seolah-olah tidak ada kaitannya
dengan ilmu. Arti الْخَلْقِ
sejatinya bermakna penciptaan atau juga manusia. (M.Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, jilid 4: 170).
Dengan demikian, dapat
diambil kesimpulan bahwa Basthah fi al-khalqi dimaknai sebagai kelebihan
atau kesempurnaan penciptaan manusia. Kesempurnaan penciptaan manusia ada pada akalnya atau
ilmunya. Dimensi itulah yang menjadi keunggulan manusia dan membedakannya
dengan makhluk Allah yang lainnya. Artinya, tidak mungkin kriteria untuk
menjadi Khalifah (pemimpin) adalah
kekuatan jasmani an sich. Itulah
kaitan Q.s. al-Baqarah/2: 247 dengan Q.s. al-A'raf/7: 69.
Jadi, sekali lagi makna
keluasan ilmu adalah penguasaan ilmu di bidang kajiannya (basic keilmuannya) ditambah dengan ilmu yang menopang
kepemimpinannya dan ayat ini tidak ada kaitannya dengan akhlak. Saya kutipkan
kembali penjelasan Prof. Dr. Hasan Asari, MA tentang hubungan akhlak dan ilmu:
"tak seorangpun tahu baik dan buruk tanpa ilmu pengetahuan sehingga
mematuhi Tuhan dan melakukan amal saleh itu mensyaratkan ilmu
pengetahuan".(Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Islam Klasik: Gagasan
Pendidikan Abu Hamid Al-Ghazali), IAIN Press, Medan, Edisi revisi, 2012:
86-87).
Dengan demikian, ilmu
yang mesti dimiliki pemimpin adalah:
1.
Profesionalisme
pada basic keilmuannya,
2.
Ilmu
Kepemimpinan,
3.
Ilmu Manajemen,
4.
Ilmu Komunikasi,
5.
Ilmu Psikologi,
6.
Ilmu Sosiologi,
7.
Ilmu Antropologi
Adapun keilmuan yang bermakna akhlak bukan dijelaskan
pada ayat tersebut melainkan pada ayat yang lain lagi. Begitu pentingnya ilmu bagi seorang pemimpin, maka wajib bagi calon-calon pemimpin di tes/uji keilmuannya dengan cara seleksi. Seleksi adalah bagian yang tak boleh diabaikan dalam memilih pemimpin. Musyawarah mufakat melalui tim Formatur diperkenankan jika calon pemimpin yang akan dipilih tidak diragukan lagi keilmuannya.Jadi, untuk menghindari keraguan keilmuan calon pemimpin mesti diseleksi. Kita patut memuji Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara baru-baru ini yang melakukan seleksi Calon Kepala Kantor Kementerian Agama se- Provinsi Sumatera Utara untuk membuktikan keilmuan mereka. Kita berdoa agar budaya ini tetap dilanjutkan di masa depan bukan hanya dilakukan oleh Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara tapi juga oleh semua lembaga Pemerintah maupun swasta dalam rangka memilih pemimpin.Sebaliknya bukan dengan main angkat-angkat saja tanpa seleksi keilmuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar