Jumat, 28 Oktober 2016

Ilmu Yang Mesti Dimiliki Pemimpin

Berkaitan dengan keilmuan pemimpin, sedikitnya ada 2 ayat al-Quran yang membicarakan hal tersebut:
      1.        Q.s. al-Baqarah/2: 247:

 
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ


Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah Kami, Padahal Kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang Luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui.
Syaikh Musthafa al-Maraghi dalam tafsir al-Maraghi-nya menjelaskan makna  term بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ      sebagai berikut:
(1)  السعة في العلم الذي يكون به التدبير ، ومعرفة مواطن ضعف الأمة وقوتها وجودة الفكر في تدبير شئونها.                       

Artinya: Ia berilmu luas, sehingga memberikan kemungkinan bagi dirinya mengatur tatanan kerajaan yang dipegangnya. Dengan ilmunya itu, ia mengetahui titik kelemahan dan potensi kekuatan yang ada dalam tubuh umatnya. Dengan demikian ia akan dapat mengatur kesemuanya itu kematangan pikirannya.(Syekh Ahmad Musafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Maktabah Syamilah).
Mengacu pada tafsir di atas, maka yang dimaksud keluasan ilmu adalah menguasai ilmu di bidangnya yang  terdiri dari ontotologi, epistemologi  dan aksiologisnya. Contoh: seorang sarjana pendidikan mesti menguasai hakikat pendidikan, sumber-sumber/teori/pendekatan/metode pendidikan dan nilai kegunaan pendidikan; seorang sarjana pertanian mesti menguasai hakikat pertanian, sumber-sumber/teori/pendekatan/metode pertanian dan nilai kegunaan pertanian dan seterusnya. Dalam konteks kepemimpinan, menguasai ilmu di bidangnya saja tidaklah cukup disebabkan ia akan bersosialisasi dan berinteraksi dengan banyak orang secara individu maupun kelompok  yang multikultural. Oleh karena itu sangat diperlukan ilmu kepemimpinan dan ilmu-ilmu yang mendukungnya yang bertujuan untuk mengatur tatanan wilayah kekuasaannya dengan baik, merumuskan, menganalis dan mencari solusi dari permasalahan wilayah kekuasaannya dengan mengalisis kelemahan dan kekuatan sumber-sumber daya yang ada yang kesemuanya ditujukan untuk kesejahteraan rakyat/bawahannya.

Dengan demikian makna  بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ   tidak ada hubungannya dengan akhlak apalagi ilmu-ilmu keislaman,  jadi lebih dimaknai sebagai penguasaan acquired knowledge (ilmu-ilmu perolehan) manusia.  Adapun makna term  basthatan fi al-jism, cermatilah kembali penjelasan Syaikh Mustafa al-Maraghi dalam tafsir al-Maraghi-nya sebagai berikut:
(3) بسطة الجسم وكمال قواه المستلزمة لصحة الفكر ، فقد جاء في أمثالهم :                                               
العقل السليم في الجسم السليم. وللشجاعة والقدرة على المدافعة والهيبة والوقار.
'' Bertubuh kekar dan sehat merupakan pertanda kesehatan pikirannya.  Dalam kata pepatah dikatakan: ''Akal yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat''. Dengan kekekaran dan kesehatan tubuhnya itu memungkinkan bagi dirinya melakukan bela diri sehingga dapat mempengaruhi orang lain dan dihormati''. (Tafsir al-Maraghi, Maktabah Syamilah).
            Untuk memperoleh makna yang tepat dari term basthatan fi al-jismi di atas, agaknya perlu saya kutipkan satu ayat lagi dalam al-Quran yang lebih mengesankan yang juga  menggunakan term basthah ini  terdapat dalam Q.s.  al-A'raf/7: 69 :
 أَوَعَجِبْتُمْ أَنْ جَاءَكُمْ ذِكْرٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَلَى رَجُلٍ مِنْكُمْ لِيُنْذِرَكُمْ وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِي الْخَلْقِ بَسْطَةً فَاذْكُرُوا آلَاءَ اللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 


 Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu? dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

Menurut ayat Q.s.al-A'raf/7: 69  di atas dapat dipahami bahwa untuk menjadi khalifah (pemimpin) kriterianya adalah fi al-khalqi basthatan. Makna ini seolah-olah tidak ada kaitannya dengan ilmu. Arti الْخَلْقِ sejatinya bermakna penciptaan atau juga manusia. (M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid 4: 170).
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa Basthah fi al-khalqi dimaknai sebagai kelebihan atau kesempurnaan penciptaan manusia. Kesempurnaan  penciptaan manusia ada pada akalnya atau ilmunya. Dimensi itulah yang menjadi keunggulan manusia dan membedakannya dengan makhluk Allah yang lainnya. Artinya, tidak mungkin kriteria untuk menjadi Khalifah (pemimpin)  adalah kekuatan jasmani an sich.  Itulah kaitan Q.s. al-Baqarah/2: 247 dengan Q.s. al-A'raf/7: 69.

Jadi, sekali lagi makna keluasan ilmu adalah penguasaan ilmu di bidang  kajiannya (basic keilmuannya)  ditambah dengan ilmu yang menopang kepemimpinannya dan ayat ini tidak ada kaitannya dengan akhlak. Saya kutipkan kembali penjelasan Prof. Dr. Hasan Asari, MA tentang hubungan akhlak dan ilmu: "tak seorangpun tahu baik dan buruk tanpa ilmu pengetahuan sehingga mematuhi Tuhan dan melakukan amal saleh itu mensyaratkan ilmu pengetahuan".(Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Islam Klasik: Gagasan Pendidikan Abu Hamid Al-Ghazali), IAIN Press, Medan, Edisi revisi, 2012: 86-87).
Dengan demikian, ilmu yang mesti dimiliki pemimpin adalah:
1.      Profesionalisme pada basic keilmuannya,
2.      Ilmu Kepemimpinan,
3.      Ilmu Manajemen,
4.      Ilmu Komunikasi,
5.      Ilmu Psikologi,
6.      Ilmu Sosiologi,
7.      Ilmu Antropologi
Adapun  keilmuan yang bermakna akhlak bukan dijelaskan pada ayat tersebut melainkan pada ayat yang lain lagi. Begitu pentingnya ilmu bagi seorang pemimpin, maka wajib bagi calon-calon pemimpin di tes/uji keilmuannya dengan cara seleksi. Seleksi adalah bagian yang tak boleh diabaikan dalam memilih pemimpin. Musyawarah mufakat melalui tim Formatur diperkenankan jika calon pemimpin yang akan dipilih tidak diragukan lagi keilmuannya.Jadi, untuk menghindari keraguan keilmuan calon pemimpin mesti diseleksi. Kita patut memuji Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara baru-baru ini yang melakukan seleksi Calon Kepala Kantor Kementerian Agama se- Provinsi Sumatera Utara untuk membuktikan keilmuan mereka. Kita berdoa agar budaya ini tetap dilanjutkan di masa depan bukan hanya dilakukan oleh Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara tapi juga oleh semua lembaga Pemerintah maupun swasta dalam rangka memilih pemimpin.Sebaliknya bukan dengan main angkat-angkat saja tanpa seleksi keilmuan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar