Kepintaran
ternyata telah membawa malapetaka bagi bangsa kita. Malapetaka tersebut telah
menjalar dan meluas serta telah merontokkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Meskipun telah
silih berganti pemimpin bangsa ini tetapi akar malapetaka tersebut tetap saja tidak dapat diberangus dari bumi Indonesia yang kita cintai ini. Perilaku korupsi yang membudaya dikalangan pejabat, penyelenggara lembaga pemerintah bahkan lembaga swasta bukanlah sesuatu yang harus ditakuti apalagi opini mengenai pengebirian lembaga pemberantasan korupsi KPK akhir-akhir muncul ke permukaan. Spekulasi para koruptor barangkali, “untung-untung tidak ketahuan” dengan sendirinya aman.
silih berganti pemimpin bangsa ini tetapi akar malapetaka tersebut tetap saja tidak dapat diberangus dari bumi Indonesia yang kita cintai ini. Perilaku korupsi yang membudaya dikalangan pejabat, penyelenggara lembaga pemerintah bahkan lembaga swasta bukanlah sesuatu yang harus ditakuti apalagi opini mengenai pengebirian lembaga pemberantasan korupsi KPK akhir-akhir muncul ke permukaan. Spekulasi para koruptor barangkali, “untung-untung tidak ketahuan” dengan sendirinya aman.
Itulah
akibat dari kepintaran. Ia hanya pintar menjumlahkan dan mengkali-kalikan
berapa besar penghasilan apabila berhasil melakukan perbuatan laknat itu dengan
tujuan untuk memperkaya diri dan mempersiapkan kehidupan sampai tujuh
keturunan. Atas dasar itulah kita pantas bertanya: “Apa sebab orang pintar bisa
membawa malapetaka dan apakah manusia pintar atau manusia cerdas yang
dibutuhkan bangsa ini?” Bagaimana puasa Ramadhan dapat menjadikan orang beriman menjadi cerdas? Simaklak uraian berikut ini.
Masih
banyak rakyat miskin di negara yang kaya dan berlimpah dengan sumber daya alam ini. Menurut data dari BPS tahun
2014, penduduk miskin di Indonesia
mencapai 28,01 juta (10,86%) itu jika diukur dengan
standar biaya hidup 14.000/hari/orang. Apabila standar biaya hidup
diperbesar menjadi 16.000/hari/orang, maka jumlah rakyat miskin di Indonesia
lebih besar lagi yakni mencapai 96 juta lebih. Hal ini dikarenakan kekayaan
alam yang telah berbentuk sebagai pajak negara itu telah menjadi ladang rebutan
para pejabat untuk memperkaya diri sehingga sangat kecil yang mengalir kepada
rakyat. Selain itu, perilaku monopoli bisnis juga masih mendominasi aspek
ekonomi bangsa. Fenomena inilah yang
disebut dengan ‘kemiskinan’ struktural.
Negeri
yang kaya sepantasnyalah rakyatnya tidak bodoh dalam arti seharsunya berpendidikan. Tetapi
kita menyaksikan masih banyak anak yang putus sekolah, pendidikan terakhir
hanya sampai SD (Sekolah Dasar). Kemiskinan dan kebodohan mengakibatkan
keterbelakangan. Menurut Laporan UNDP (United Nation Development Program) tahun
2009 menempatkan Indonesia pada peringkat 111 dari 182 negara, sedang Singapura
pada peringkat 23, Brunei Darussalam peringkat 30, Malaysia peringkat 66, dan
Palestina negera yang masih berada dalam cengkeraman penjajah Israel berada
pada peringkat 110.
KEPINTARAN
VS KECERDASAN
Masih banyak orang menyangka bahwa kepintaran itu
sama dengan kecerdasan. Para orangtua pada
umumnya menginginkan anak-anaknya pintar dengan maksud supaya jadi orang
sukses: di bidang ekonomi bisnis, akademis, politis, profesional, seni maupun life skill. Padahal realitas hidup
menunjukkan bahwa banyak orang sukses bukanlah disebabkan karena ia pintar
dengan nilai-nilai akademis yang tinggi dan tidak sedikit orang yang pada waktu
sekolah meraih prestasi akademis tetapi
gagal dalam menempuh hidup.Yang dibutuhkan oleh bangsa kita adalah orang yang cerdas bukan pintar.
Kecerdasan sesungguhnya merupakan gabungan dari 3 kemampuan, yaitu kecerdasan spritual (SQ), Kecerdasan Emosional (EQ) dan Kecerdasan Intelektual (IQ). IQ inilah yang sebenarnya serupa dengan pintar.
Kecerdasan sesungguhnya merupakan gabungan dari 3 kemampuan, yaitu kecerdasan spritual (SQ), Kecerdasan Emosional (EQ) dan Kecerdasan Intelektual (IQ). IQ inilah yang sebenarnya serupa dengan pintar.
PUASA DAN KECERDASAN EMOSIONAL (EQ)
Puasa Ramadhan yang diwajibkan melaksanakannya bagi orang-orang yang
beriman seperti dimaksud dalam Alquran surah al-Baqarah: 183 memiliki makna
penting dalam membentuk manusia cerdas dan momentum paling tepat dalam
‘membaca’ diri apakah kita cerdas atau tidak. Hal ini dikarenakan pada saat
orang seseorang berpuasa dalam arti menahan diri dari makan, minum dan hawa
nafsu selalu dihadapkan dengan berbagai macam ujian. Ujian kejujuran adalah
yang terpenting. Meskipun tidak ada orang yang melihat kita ketika sedang
sendirian sementara minuman dan makanan ada di hadapan kita namun kita tidak
ingin merusak puasa dengan menyantapnya. Pemimpin yang jujur yang tidak mau memakan harta
rakyat selain yang menjadi haknya adalah pemimpin yang cerdas karena ia lebih
menginginkan namanya terus ‘hidup’ meskipun ia sudah mati kelak. Bukankah tidak
sedikit pemimpin baik nasional maupun daerah yang ‘mati’ namanya bersama dengan
kematiannya? Pejabat atau pemimpin pada
setiap strata lembaga baik Pemerintah maupun swasta yang peduli dengan rakyat
atau bawahannya dengan selalu memperhatikan dan memperbaiki kesejahteraan
mereka adalah pemimpin yang cerdas karena ia tahu benar bahwa dirinya adalah
pelayan yang bertugas melayani rakyat
sekaligus bertanggungjawab mensejahterakan rakyat/bawahannya. Kesabaran juga diuji ketika orang
berpuasa. Orang yang berpuasa harus mampu menahan amarah dan mengendalikan hawa nafsu rendah bukan saja dalam hal
menghindari jenis makanan dan minuman yang haram maupun yang syubhat, yang
halal pun mesti dibatasi.
Aturan berpuasa juga mesti dipatuhi.Tidak diperbolehkan makan, minum dan
melakukan hubungan suami isteri di siang hari. Malam hari waktu yang
diperbolehkan melakukan demikian. Orang yang berpuasa juga tidak boleh berkata
da berbuat yang sia-sia, lebih-lebih berkata dusta, seperti Hadis Rasulullah
Saw.: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan
sia-sia, maka Allah tidak butuh dengan lapar dan dahaga mereka”.
Hakikat puasa terletak pada munculnya sikap empati pada diri orang yang
berpuasa dengan tindakan nyata mau membantu meringankan nasib orang-orang yang
kurang mampu untuk mengangkat derajatnya menjadi lebih baik. Di sinilah fungsi puasa
menjadi bersifat sosial. Meskipun awalnya bersifat individual tetapi hakikat
puasa sebenarnya lebih bersifat sosial dikarenakan pada saat berpuasa dalam
arti berlapar-lapar hati selalu menunjukkan jalan terang untuk turut merasakan
betapa laparnya orang miskin yang sehari-harinya mengalami demikian.
PUASA DAN KECERDASAN SPRITUAL (SQ)
PUASA DAN KECERDASAN SPRITUAL (SQ)
Orang-orang yang memiliki sikap dan perilaku demikian adalah orang-orang yang cerdas secara emosional (EQ)
lebih-lebih jika EQ tersebut dibarengi dengan pemaknaan ibadah semata-mata
mengharap Ridha Allah Swt. maka meningkatlah Kecerdasan Emosional menjadi
Kecerdasan Spritual (SQ/Spritual Quotient). Oleh karena itu, orang kaya yang
suka berzakat dan berinfaq adalah orang cerdas karena ia melakukan transaksi bisnis
kepada Allah Yang Maha Kaya. .
Dengan puasa ramadhan, kita menjadi orang-orang yang aktif beribadah: shalat lima waktu yang menjadi prasyarat ibadah puasa diterima oleh Allah, shalat tarawih (qiyam ramadhan), membaca dan tadarus al-Quran, berzikir maupun shalat malam. Ibadah-ibadah itu dilakukan ikhlas semata-mata karena Allah Swt. Itulah orang yang cerdas spritual.
Dengan puasa ramadhan, kita menjadi orang-orang yang aktif beribadah: shalat lima waktu yang menjadi prasyarat ibadah puasa diterima oleh Allah, shalat tarawih (qiyam ramadhan), membaca dan tadarus al-Quran, berzikir maupun shalat malam. Ibadah-ibadah itu dilakukan ikhlas semata-mata karena Allah Swt. Itulah orang yang cerdas spritual.
PUASA DAN KECERDASAN INTELEKTUAL (IQ)
Untuk menjadi umat yang kuat diperlukan satu lagi kecerdasan yaitu: Kecerdasan Intelektual (IQ/Intelectual Quotient) atau pintar. IQ diperlukan dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat obyektif-empiris, seperti persoalan banjir, tanah longsor, ekses gempa bumi, wabah penyakit berulang maupun ketergantungan teknologi pada bangsa lain, tetapi dikarenakan orang-orang yang dipercayakan dan diberi tanggungjawab di bidang tersebut tidak cerdas emosional lebih-lebih spritual, maka persoalan-persoalan tersebut hingga kini terus terjadi.
Bagaimana mungkin puasa dapat menjadikan seseorang pintar. Pertanyaan ini memang agak sulit dijawab oleh ahli-ahli agama, yang lebih tepat menjawabnya adalah mereka yang ahli biologi maupun kedokteran. Mereka menjelaskan: Pada saat kita tidak berpuasa, tenaga dan aliran darah tertumpu ke perut untuk mengolah makanan, tetapi pada saat kita sedang berpuasa, tenaga dan aliran darah tertumpu ke otak untuk meningkatkan daya pikir dan ketajaman pikiran.
Untuk membuktikan pernyataan ini, cobalah setelah berlalu Ramadan, teruslah anjurkan putera-puteri kita rajin berpuasa sunnat dan terus belajar pula, lalu amatilah perubahannya, Insya Allah kita akan menemukan putera-puteri kita lebih cerdas dari sebelumnya.
KESIMPULAN
Untuk menjadi umat yang kuat diperlukan satu lagi kecerdasan yaitu: Kecerdasan Intelektual (IQ/Intelectual Quotient) atau pintar. IQ diperlukan dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat obyektif-empiris, seperti persoalan banjir, tanah longsor, ekses gempa bumi, wabah penyakit berulang maupun ketergantungan teknologi pada bangsa lain, tetapi dikarenakan orang-orang yang dipercayakan dan diberi tanggungjawab di bidang tersebut tidak cerdas emosional lebih-lebih spritual, maka persoalan-persoalan tersebut hingga kini terus terjadi.
Bagaimana mungkin puasa dapat menjadikan seseorang pintar. Pertanyaan ini memang agak sulit dijawab oleh ahli-ahli agama, yang lebih tepat menjawabnya adalah mereka yang ahli biologi maupun kedokteran. Mereka menjelaskan: Pada saat kita tidak berpuasa, tenaga dan aliran darah tertumpu ke perut untuk mengolah makanan, tetapi pada saat kita sedang berpuasa, tenaga dan aliran darah tertumpu ke otak untuk meningkatkan daya pikir dan ketajaman pikiran.
Untuk membuktikan pernyataan ini, cobalah setelah berlalu Ramadan, teruslah anjurkan putera-puteri kita rajin berpuasa sunnat dan terus belajar pula, lalu amatilah perubahannya, Insya Allah kita akan menemukan putera-puteri kita lebih cerdas dari sebelumnya.
KESIMPULAN
Oleh karena itu, prioritas pemberdayaan bangsa terutama melalui jalur
pendidikan adalah peningkatan Kecerdasan Spritual dan Emosional bukan Kecerdasan
Intelektual. Mungkin anda bertanya, bagaimana mungkin Kecerdasan Spritual dan emosional dapat menyelesaikan persoalan
banjir? Sebelum menjawabnya, saya akan kembali bertanya, “Bisakah orang pintar tanpa belajar?” Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menjawab, bisa. Dengan cara bagaimana? Yaitu dengan cara menggali ilmu ketuhanan dan ma'rifah diri kepada-Nya. Itulah yang disebut: Ilmu Ladunni.
Dengan ketaatan dan ma'rifah diri kepada-Nya, seseorang akan menjadi berakhlak mulia: sabar, tawaddhu', qanaah, wara', ridha, jujur, disiplin, rajin, empati, cinta kasih dan taqwa. Kita pasti masih ingat kebenaran pepatah yang berbunyi: “Rajin Pangkal Pandai” atau “Malas Pangkal Bodoh”. Ini berarti bahwa orang yang rajin belajar (cerdas emosional) akan menjadi orang pandai/pintar (cerdas intelektual). Demikian pula orang yang jujur, disiplin dan sabar dalam belajar ia juga akan menjadi orang yang pintar. Di sinilah persoalan banjir dapat diatasi.
Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence mengatakan bahwa kontribusi IQ (Intelectual Quotient) atau kepintaran itu dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang maksimal 20 persen sedangkan 80 persen sisanya ditentukan oleh Kecerdasan Emosional dan Spritual (ESQ). Ilmuan semacam Albert Enstein, orang terpintar di abad 20, sang penemu teori Relativitas yang terkenal itu berdasarkan penelitian baru berhasil mengaktualkan otaknya sebesar seperlima.
Dengan ketaatan dan ma'rifah diri kepada-Nya, seseorang akan menjadi berakhlak mulia: sabar, tawaddhu', qanaah, wara', ridha, jujur, disiplin, rajin, empati, cinta kasih dan taqwa. Kita pasti masih ingat kebenaran pepatah yang berbunyi: “Rajin Pangkal Pandai” atau “Malas Pangkal Bodoh”. Ini berarti bahwa orang yang rajin belajar (cerdas emosional) akan menjadi orang pandai/pintar (cerdas intelektual). Demikian pula orang yang jujur, disiplin dan sabar dalam belajar ia juga akan menjadi orang yang pintar. Di sinilah persoalan banjir dapat diatasi.
Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence mengatakan bahwa kontribusi IQ (Intelectual Quotient) atau kepintaran itu dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang maksimal 20 persen sedangkan 80 persen sisanya ditentukan oleh Kecerdasan Emosional dan Spritual (ESQ). Ilmuan semacam Albert Enstein, orang terpintar di abad 20, sang penemu teori Relativitas yang terkenal itu berdasarkan penelitian baru berhasil mengaktualkan otaknya sebesar seperlima.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar