Rabu, 15 Juli 2015

Puasa Dan Kecerdasan

Kepintaran ternyata telah membawa malapetaka bagi bangsa kita. Malapetaka tersebut telah menjalar dan meluas serta telah merontokkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun telah
silih berganti pemimpin bangsa ini tetapi akar malapetaka tersebut tetap saja tidak dapat diberangus dari bumi Indonesia yang kita cintai ini. Perilaku korupsi yang membudaya dikalangan pejabat, penyelenggara lembaga pemerintah bahkan lembaga swasta bukanlah sesuatu yang harus ditakuti apalagi opini mengenai pengebirian lembaga pemberantasan korupsi KPK akhir-akhir muncul ke permukaan.  Spekulasi para koruptor barangkali, “untung-untung  tidak ketahuan” dengan sendirinya aman.
Itulah akibat dari kepintaran. Ia hanya pintar menjumlahkan dan mengkali-kalikan berapa besar penghasilan apabila berhasil melakukan perbuatan laknat itu dengan tujuan untuk memperkaya diri dan mempersiapkan kehidupan sampai tujuh keturunan. Atas dasar itulah kita pantas bertanya: “Apa sebab orang pintar bisa membawa malapetaka dan apakah manusia pintar atau manusia cerdas yang dibutuhkan bangsa ini?” Bagaimana puasa Ramadhan dapat menjadikan orang beriman menjadi cerdas? Simaklak uraian berikut ini.

Masih banyak rakyat miskin di negara yang kaya dan berlimpah  dengan sumber daya alam ini. Menurut data dari BPS tahun 2014, penduduk miskin di Indonesia mencapai  28,01 juta (10,86%) itu jika diukur dengan standar biaya hidup 14.000/hari/orang. Apabila standar biaya hidup diperbesar menjadi 16.000/hari/orang, maka jumlah rakyat miskin di Indonesia lebih besar lagi yakni mencapai 96 juta lebih. Hal ini dikarenakan kekayaan alam yang telah berbentuk sebagai pajak negara itu telah menjadi ladang rebutan para pejabat untuk memperkaya diri sehingga sangat kecil yang mengalir kepada rakyat. Selain itu, perilaku monopoli bisnis juga masih mendominasi aspek ekonomi bangsa. Fenomena inilah yang  disebut dengan ‘kemiskinan’ struktural.
Negeri yang kaya sepantasnyalah rakyatnya tidak bodoh dalam arti seharsunya berpendidikan. Tetapi kita menyaksikan masih banyak anak yang putus sekolah, pendidikan terakhir hanya sampai SD (Sekolah Dasar). Kemiskinan dan kebodohan mengakibatkan keterbelakangan. Menurut Laporan UNDP (United Nation Development Program) tahun 2009 menempatkan Indonesia pada peringkat 111 dari 182 negara, sedang Singapura pada peringkat 23, Brunei Darussalam peringkat 30, Malaysia peringkat 66, dan Palestina negera yang masih berada dalam cengkeraman penjajah Israel berada pada peringkat 110.
KEPINTARAN VS KECERDASAN
Masih  banyak orang menyangka bahwa kepintaran itu sama dengan kecerdasan. Para orangtua pada umumnya menginginkan anak-anaknya pintar dengan maksud supaya jadi orang sukses: di bidang ekonomi bisnis, akademis, politis, profesional, seni maupun life skill. Padahal realitas hidup menunjukkan bahwa banyak orang sukses bukanlah disebabkan karena ia pintar dengan nilai-nilai akademis yang tinggi dan tidak sedikit orang yang pada waktu sekolah  meraih prestasi akademis tetapi gagal dalam menempuh hidup.Yang dibutuhkan oleh bangsa kita adalah orang yang cerdas bukan pintar.
Kecerdasan sesungguhnya merupakan gabungan dari 3 kemampuan, yaitu kecerdasan spritual (SQ), Kecerdasan Emosional (EQ) dan Kecerdasan Intelektual (IQ). IQ inilah yang sebenarnya serupa dengan pintar.

PUASA DAN KECERDASAN EMOSIONAL (EQ)
Puasa Ramadhan yang diwajibkan melaksanakannya bagi orang-orang yang beriman seperti dimaksud dalam Alquran surah al-Baqarah: 183 memiliki makna penting dalam membentuk manusia cerdas dan momentum paling tepat dalam ‘membaca’ diri apakah kita cerdas atau tidak. Hal ini dikarenakan pada saat orang seseorang berpuasa dalam arti menahan diri dari makan, minum dan hawa nafsu selalu dihadapkan dengan berbagai macam ujian. Ujian kejujuran adalah yang terpenting. Meskipun tidak ada orang yang melihat kita ketika sedang sendirian sementara minuman dan makanan ada di hadapan kita namun kita tidak ingin merusak puasa dengan menyantapnya. Pemimpin yang jujur yang tidak mau memakan harta rakyat selain yang menjadi haknya adalah pemimpin yang cerdas karena ia lebih menginginkan namanya terus ‘hidup’ meskipun ia sudah mati kelak. Bukankah tidak sedikit pemimpin baik nasional maupun daerah yang ‘mati’ namanya bersama dengan kematiannya?  Pejabat atau pemimpin pada setiap strata lembaga baik Pemerintah maupun swasta yang peduli dengan rakyat atau bawahannya dengan selalu memperhatikan dan memperbaiki kesejahteraan mereka adalah pemimpin yang cerdas karena ia tahu benar bahwa dirinya adalah pelayan  yang bertugas melayani rakyat sekaligus bertanggungjawab mensejahterakan rakyat/bawahannya. Kesabaran juga diuji ketika orang berpuasa. Orang yang berpuasa harus mampu menahan amarah dan mengendalikan  hawa nafsu rendah bukan saja dalam hal menghindari jenis makanan dan minuman yang haram maupun yang syubhat, yang halal pun mesti dibatasi.
Aturan berpuasa juga mesti dipatuhi.Tidak diperbolehkan makan, minum dan melakukan hubungan suami isteri di siang hari. Malam hari waktu yang diperbolehkan melakukan demikian. Orang yang berpuasa juga tidak boleh berkata da berbuat yang sia-sia, lebih-lebih berkata dusta, seperti Hadis Rasulullah Saw.: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan sia-sia, maka Allah tidak butuh dengan lapar dan dahaga mereka”. 
Hakikat puasa terletak pada munculnya sikap empati pada diri orang yang berpuasa dengan tindakan nyata mau membantu meringankan nasib orang-orang yang kurang mampu untuk mengangkat derajatnya menjadi lebih baik. Di sinilah fungsi puasa menjadi bersifat sosial. Meskipun awalnya bersifat individual tetapi hakikat puasa sebenarnya lebih bersifat sosial dikarenakan pada saat berpuasa dalam arti berlapar-lapar hati selalu menunjukkan jalan terang untuk turut merasakan betapa laparnya orang miskin yang sehari-harinya mengalami demikian.

PUASA DAN KECERDASAN SPRITUAL (SQ)
Orang-orang yang memiliki sikap dan perilaku demikian adalah  orang-orang yang cerdas secara emosional (EQ) lebih-lebih jika EQ tersebut dibarengi dengan pemaknaan ibadah semata-mata mengharap Ridha Allah Swt. maka meningkatlah Kecerdasan Emosional menjadi Kecerdasan Spritual (SQ/Spritual Quotient). Oleh karena itu, orang kaya yang suka berzakat dan berinfaq adalah orang cerdas karena ia melakukan transaksi bisnis kepada Allah Yang Maha Kaya. .
Dengan puasa ramadhan, kita menjadi orang-orang yang aktif beribadah: shalat lima waktu yang menjadi prasyarat ibadah puasa diterima oleh Allah,  shalat tarawih (qiyam ramadhan), membaca dan tadarus al-Quran, berzikir maupun shalat malam. Ibadah-ibadah itu dilakukan ikhlas semata-mata karena Allah Swt. Itulah orang yang cerdas spritual.
PUASA DAN KECERDASAN INTELEKTUAL (IQ)
Untuk menjadi umat yang kuat diperlukan satu lagi kecerdasan yaitu: Kecerdasan Intelektual (IQ/Intelectual Quotient) atau pintar.  IQ diperlukan dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat obyektif-empiris, seperti persoalan banjir, tanah longsor, ekses gempa bumi, wabah penyakit berulang maupun ketergantungan teknologi pada bangsa lain, tetapi dikarenakan orang-orang yang dipercayakan dan diberi tanggungjawab di bidang tersebut tidak cerdas emosional lebih-lebih spritual, maka persoalan-persoalan tersebut hingga kini terus terjadi.
Bagaimana mungkin puasa dapat menjadikan seseorang pintar. Pertanyaan ini memang agak sulit dijawab oleh ahli-ahli agama, yang lebih tepat menjawabnya adalah mereka yang ahli biologi maupun kedokteran. Mereka menjelaskan: Pada saat kita tidak berpuasa, tenaga dan aliran darah tertumpu ke perut untuk mengolah makanan, tetapi pada saat kita sedang berpuasa, tenaga dan aliran darah tertumpu ke otak untuk meningkatkan daya pikir dan ketajaman pikiran.
Untuk membuktikan pernyataan ini, cobalah setelah berlalu Ramadan, teruslah anjurkan putera-puteri kita  rajin berpuasa sunnat dan terus belajar pula, lalu amatilah perubahannya, Insya Allah kita akan menemukan putera-puteri kita lebih cerdas dari sebelumnya.

KESIMPULAN
Oleh karena itu, prioritas pemberdayaan bangsa terutama melalui jalur pendidikan adalah peningkatan Kecerdasan Spritual dan Emosional bukan Kecerdasan Intelektual. Mungkin anda bertanya, bagaimana mungkin Kecerdasan Spritual dan emosional dapat menyelesaikan  persoalan banjir? Sebelum menjawabnya, saya akan kembali bertanya, “Bisakah orang pintar tanpa belajar?” Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menjawab, bisa. Dengan cara bagaimana? Yaitu dengan cara menggali ilmu ketuhanan dan ma'rifah  diri kepada-Nya. Itulah yang disebut: Ilmu Ladunni.
Dengan ketaatan dan ma'rifah diri kepada-Nya, seseorang akan menjadi berakhlak mulia: sabar, tawaddhu', qanaah, wara', ridha,  jujur, disiplin, rajin, empati, cinta kasih dan taqwa. Kita pasti masih ingat kebenaran pepatah yang berbunyi: “Rajin  Pangkal Pandai” atau “Malas Pangkal Bodoh”. Ini berarti bahwa orang yang rajin belajar (cerdas emosional) akan  menjadi orang pandai/pintar (cerdas intelektual). Demikian pula orang yang jujur, disiplin dan sabar dalam belajar ia juga akan menjadi orang yang pintar. Di sinilah persoalan banjir dapat diatasi.
 Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence mengatakan bahwa kontribusi IQ (Intelectual Quotient) atau kepintaran itu dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang maksimal 20 persen sedangkan 80 persen sisanya ditentukan oleh Kecerdasan Emosional dan Spritual (ESQ). Ilmuan semacam Albert Enstein, orang terpintar di abad 20, sang penemu teori Relativitas yang terkenal itu berdasarkan penelitian baru berhasil mengaktualkan otaknya sebesar seperlima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar