A. Pendahuluan
Dalam
konstelasi ilmu-ilmu keislaman tradisonal yang paling banyak dikaji dan
mempengaruhi pemikiran keislaman di dunia Islam bahkan yang menarik untuk
diteliti oleh pemiikir-pemikir barat adalah Ilmu
Kalam, Ilmu Tasawuf, Ilmu Filsafat dan Ilmu
Fikih. Ketertarikan mereka selain
karena keempat disiplin keilmuan tersebut telah mencakup seluruh aspek
kehidupan dimulai dari keyakinan kepada adanya sesuatu yang ghaib ( Tuhan ) yang menguasai kehidupan manusia dan alam
semesta yang dikaji melalui ilmu Kalam. Aspek pemikiran dan penalaran yang
menjadi titik sentral penggunaan akal merupakan obyek kajian Filsafat, aspek penghayatan dari pengamalan agama untuk
mensucikan diri menjadi bagian kajian ilmu Tasawuf dan tatacara pengamalan
agama itu sendiri yang bersifat eksoterik menjadi hak ilmu Fikih.
Keempat
disiplin keilmuan Islam tradisional tersebut juga menjadi polemik yang tidak
kalah menariknya untuk dicermati karena diduga sistem keilmuan tersebut sejarah
munculnya tidakkah berdiri sendiri melainkan mendapat pengaruh baik secara
langsung maupun tidak langsung dengan berbagai budaya luar Islam yang notabene
memang telah lebih maju terlebih dahulu dari Agama Islam, seperti kebudayaan
Yunani, Persia, agama Budha, Hindu dan Kristen.
Dalam
kajian pemikiran keislaman, sejarah munculnya keempat disiplin keilmuan Islam
tersebut boleh dibilang hampir bersamaan terutama pada saat terkodifiksi dan
justifikasi dari umat Islam yakni pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dan
putranya Al-Makmun di Baghdad karena pada masa ini
terjadi puncak kejayaan Islam setelah melalui berbagai proses yang
panjang dalam untuk mencapai kesempurnaannya.
Makalah
ini akan menelusuri lebih jauh sejarah munculnya pemikiran keempat disiplin
keilmuan Islam tersebut.
B.
Kajian Historis Timbulnya Pemikiran Teologi di Dunia Islam
1 ). Defenisi Istilah Kunci : Teologi Islam, Ilmu Kalam, Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Aqaid.
Secara etimologi
kata Teologi berasal dari bahasa
Yunani Theology : “Theos” artinya Tuhan dan “Logos” artinya ilmu
(science, studi, discourse). Jadi Teologi
berarti ilmu tentang Tuhan atau ilmu “Ketuhanan”.1
Sehingga secara terminologi Teologi
adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia,
baik berdasarkan kebenaran wahyu ataupun berdasarkan penyelidikan akal murni.[1]
Kata Kalam dalam bahasa Arab berarti “kata” ( baik perkataan itu sedikit
atau banyak untuk setiap pembicaraan ) ; perkataan, berupa lafazh untuk mengemukakan alasan atau
argumen rasional. Menurut istilah Ulama
Kalam, Ilmu Kalam adalah ilmu yang
membicarakan tentang perkataan atau Firman Allah yang temaktub dalam Al-Qur’an apakah dia
azali atau baru. Ia juga merupakan kemampuan mengemukakan dalil-dalil secara
rasional dengan pembuktian yang menyerupai logika dan filsafat yang nampak
melalui pembicaraan tetapi tidak diwujudkan ke dalam kenyataan atau diamalkan
dengan anggota.[2]
Sedangkan kata Tauhid dalam bahasa Arab berasal dari Tawhid artinya mengesakan, meyakini
bahwa Allah Swt itu Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya Dengan demikan Ilmu
Tauhid berarti ilmu yang membicaraan tentang cara-cara menetapkan cara-cara
menetapkan aqidah agama dengan mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan, baik
berupa dalili naqli maupun dalil aqli ataupun dalil wijdani (perasaan halus).[3]
Teologi Islam, Ilmu Kalam
dan Ilmu Tauhid yang merupakan istilah-istilah yang identik di atas disebut juga dengan ilmu Ushuluddin sebab ilmu tersebut menguraikan pokok-pokok atau
dasar-dasar agama. Istilah lainnya adalah ilmu
Aqaid (keyakinan) karena ilmu tersebut membahas masalah-masalah yang
berhubungan dengan keyakinan yang harus terpatri dalam hati secara kuat. [4]
2). Sejarah Munculnya Pemikiran Teologi dalam
Islam
Teologi Islam atau Ilmu
Kalam seperti yang sudah diketahui sekarang ini tidaklah timbul begitu saja
secara sempurna tetapi kemunculannya melalui proses yang panjang. Ketika Rasulullah Muhammad Saw wafat pada tahun 632
M/11 maka muncullah persoalan khilafah, yakni
persoalan siapa pengganti Rasulullah sebagai pemimpin umat Islam ataupun kepala
Negara. Setelah melewati perdebatan yang cukup sengit antara golongan
Muhajirin, Anshar dan Bani Hasyim di balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah, akhirnya terpilihlah sahabat Abu Bakar
sebagai Khalifah ( pengganti
Rasulullah Saw ).
Abu
Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun ( 632-634 M ). Setelah ia wafat kedudukannya digantikan oleh
Umar bin Khattab ( 634-644 M ). Sampai pada kepemimpinan Khalifah III Utsman bin Affan ( 644 – 656 M ) persoalan
teologis di kalangan umat Islam belum muncul. Akan tetapi peristiwa pembunuhan
Utsman bin Affan merupakan pangkal persoalan politik yang memicu munculnya
persoalan teologi dalam Islam dan puncak persoalan itu terjadi ketika umat
Islam di bawah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib,
Khalifah Rasyidin IV. Pada saat Ali
menjadi Khalifah ( 656 – 661 M), Ali segera mendapat tantangan terutama Thalhah dan Zubair dari Mekkah yang
mendapat sokongan dari Aisyah. Maka terjadilah Perang Jamal tahun 656 M. Perang ini merepresentasikan antara
kekuatan Ali di satu pihak dan kekuatan Aisyah ( janda Rasulullah Saw ) di pihak lain.
Perang ini berakhir dengan kemenangan Ali.
Tantangan
berikutnya datang dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Damaskus dan
keluarga terdekat dengan Utsman ditambah
lagi orang-orang yang telah kehilangan jabatannya karena dipecat oleh Ali
diawal pemerintahannya. Mereka juga tidak mau mengakui Ali sebagai Khalifah.
Mu’awiyah menuntut kepada Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Utsman bahkan
ia menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu. Pergolakan ini berujung
pada peperangan pula yang disebut Perang
Shiffin. Kedua perang ini dikatakan sebagai al-Fitnatul Kubra II.[5]
Dalam
pertempuran di Shiffin tepatnya di dekat sungai Furat,[6] Mu’awiyah dan tentaranya sudah terdesak dan
hampir kalah, tetapi dengan cepat tangan kanan Mu’awiyah yaitu ‘Amr bin Ash
segera mengangkat Al-Qur’an di ujung tombak sebagai tanda perdamaian. Khalifah
Ali pada saat itu tidak yakin akan ketulusan Mu’awiyah melalui politisinya ‘Amr
bin Ash untuk berdamai tetapi atas desakan sebagian besar pasukan Ali untuk
menerima perdamaian tersebut maka Ali pun tidak dapat menolak permintaan
pasukannya. Terjadilah perdamaian antara kedua pasukan yang disebut “Tahkim” atau “Arbitrase” yang mana kedua kubu mengutus ‘hakim’ masing-masing
dari pihak Mu’awiyah yaitu ‘Amr bin Ash
yang dikenal ahli siasat yang ulung sedang dari pihak Ali diutuslah Abu Musa
Al-Asy’ari yang dikenal sebagai orang ‘alim dan tawadhu’. Kedua utusan sepakat
untuk menjatuhkan jabatan pimpinan masing-masing. Sesuai tradisi, maka yang
lebih tualah yang tampil terlebih dahulu untuk mendeklarasikan penjatuhan
khalifah yaitu Ali bin Abi Thalib. Kini giliran ‘Amr bin Ash berorasi untuk
menjatuhkan Mu’awiyah, tetapi ternyata ‘Amr bin Ash bukanlah menjatuhkan
Mu’awiyah bahkan mengangkatnya menjadi Khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.[7]
Perang
Shiffin berakhir dengan kekalahan politik di pihak Ali. Secara militer pasukan Ali lebih
unggul daripada pasukan Muawwiyah. Tetapi karena kecerdasan politis Muawiyah
melalui jurubicaranya Amr Bin Ash yang licik di atas maka kursi kekhalifahan
secara tidak langsung diserahkan kepada Muawiyah tahun 661 M. Peristiwa ini
langsung mendapat respon dari sebagian tentara Ali. Mereka memandang Ali telah
berbuat salah karena telah menerima tahkim yang tidak didasarkan atas Hukum
Allah. Mereka bersemboyan : La hukma illa
Allah ( tidak ada hukum selain
hukum Allah ) yang menyandarkan pada ayat Al-Qur’an surah Al-Ma’idah/5 : 44
berbunyi :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.
Oleh
karena sebagian pasukan Ali memandang Ali tidak melakukan keputusan berdasarkan
Hukum Allah maka Ali telah berdosa besar dam kafir. Akhirnya mereka keluar dari barisan Ali.
Golongan yang keluar dari barisan Ali inilah
dalam sejarah Islam dikenal dengan nama al-Khawarij berasal dari kata
kharaja ( keluar ), yaitu orang
yang keluar dan memisahkan diri. .
Sedangkan pasukan yang masih setia mengikut Ali disebut Syi’ah. Khawarij memandang bahwa orang-orang yang terlibat
dalam Tahkim telah kafir termasuk
Mu’awiyah, Amr bin ‘Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari. Kemudian mereka merencanakan
pembunuhan terhadap keempatnya. Tetapi yang berhasil dibunuh hanyalah Ali.
Dalam
perkembangan selanjutnya muncul aliran teologi Murji’ah yang berpandangan bahwa orang yang berdosa besar tetap
masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosanya terserah Allah untuk
mengampuni atau tidak mengampuninya. Kaum Mu’tazilah sebagai aliran ketiga
berbeda pula dengan pendapat-pendapat di atas. Mu’tazilah berpendirian bahwa
orang-orang yang berdosa besar tidaklah disebut mukmin dan tidak pula disebut
kafir. Posisinya berada diantara mukmin dan kafir,yaitu fasiq. Mereka mengistilahkannya dengan al-Manzilah bain al-Manzilatain ( posisi
diantara dua posisi ).
Keadaan
seperti ini membuka peluang ke arah
penakwilan Al-Qur’an dan Hadits. Bersamaan dengan meluasnya wilayah kekuasaan
Islam dimana pemeluk-pemeluk agama lain
memeluk agama Islam namun cara berpikir mereka masih dipengaruhi oleh unsur-unsur
kepercayaan yang pernah mereka anut. Muncullah polemik tentang persoalan Kadar Allah sehingga menimbulkan dua aliran besar dalam konstelasi
pemikiran teologi Islam tersebut, yaitu Kadariah dan Jabbariyah.[8]
Kaum
Mu’tazilah yang terpengaruh oleh
penggunaan rasio atau akal untuk
berpikir yang dibawa kebudayaan Yunani, mendapat
sokongan dari Khalifah Bani Abbasiyah di Baghdad bahkan dikatakan alirannya
dinobatkan sebagai mazhab resmi negara.
Hal ini berdampak pada corak pemikiran mereka khususnya di bidang Tauhid yang
mendahulukan penggunaan nalar meskipun tidak meninggalkan wahyu. Dikarenakan
telah menjadi aliran resmi Negara, maka kum Mu’tazilah menyiarkan ajaran-ajaran itu secara paksa,
terutama tentang paham mereka yang memandang Al-Qur’an sebagai makhluk dalam
arti Al-Qur’an itu baru atau diciptakan. Pada masa Khalifah Al-Makmun sebutan Ilmu Kalam lahir untuk suatu disiplin
yang berdiri sendiri, sebagaimana dikenal sekarang.
Persoalan-persoalan
yang terjadi dalam lapangan politik sebagaimana tergambar di ataslah akhirnya
membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa dalam Islam persoalan yang pertama sekali muncul adalah dalam
bidang politik bukan bidang teologi.[9] Atau
faktor
politik telah menyebabkan munculnya pemikiran teologi dalam Islam.
Dan jika ditelusuri lebih dalam maka bukan saja faktor politik yang menyebabkan munculnya pemikiran teologi
tetapi juga faktor psikologis, dalam
arti tidak terakomodasinya berbagai
kepentingan dalam kepemimpinan Islam khususnya di masa Khalifah Utsman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi pada masa Khalifah Utsman yang
berakhir dengan terbunuhnya Utsman oleh sekelompok orang yang sampai saat ini
tidak diketahui juga turut mempengaruhi munculnya pemikiran teologi dalam Islam.
C . Kajian Historis Munculnya Pemikiran Tasawuf Dalam Islam
1 ).
Defenisi Istilah Kunci : Tasawuf, Sufi, Tarekat
Istilah
Tasawuf dalam Islam berasal dari berbagai kata yang dapat dikelompokkan asal
usulnya kedalam dua kelompok, yaitu : Pertama,
berasal dari bahasa Arab, yaitu :
1.
Saff, berarti barisan,
2.
Suf artinya wol atau kain bulu kasar,..
3.
Safa atau safw artinya bersih atau suci,
4. Suffah artinya pelana.
Suffah juga berarti suatu kamar di
samping Masjid Nabawi yang disediakan untuk para sahabat Nabi Saw golongan muhajirin yang miskin. Penghuni
suffah ini disebut ahl as-suffah.
Kedua, berasal dari bahasa Yunani, yaitu Theosophi ( theo artinya Tuhan dan
sophos artinya hikmat ) sehingga Theosophi berarti hikmat ketuhanan. Merujuk
pada asal usul dari bahasa Yunani ini dikatakan bahwa Tasawuf banyak
membicarakan masalah ketuhanan.[10]
Dari
segi istilah, tasawuf dapat didefenisikan dari tiga sudut pandang. Pertama, sudut pandang manusia sebagai
makhluk terbatas, kedua, sudut
pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan.
Jika
dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka tasawuf
dapat didefenisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan
pengaruh kehidupan dunia akan memusatkan perhatian hanya kepada Allah.
Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan adalah pandangan bahwa manusia
sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefenisikan sebagai
upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah. Dan jika sudut pandang yang digunakan
adalah manusia sebagai makhluk bertuhan, maka tasawuf dapat didefenisikan
sebagai keadaan fitrah (perasaan percaya kepada Tuhan) yang dapat mengarahkan
jiwa agar selalu tertuju pada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan
manusia dengan Tuhan.[11]
Kata
Sufi atau Sufiah diartikan sebagai orang yang selalu mengamalkan ajaran
tasawuf dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, Sufi berarti orang yang
telah mensucikan hatinya dengan mengingat Allah ( dzikrullah ), menempuh jalan kembali kepada Allah dan sampai pada
pengetahuan hakiki ( ma’rifah ).[12]
Kata
Tarikat berasal dari kata al-Tariq yang berarti jalan, cara,
garis, kedudukan, keyakinan dan agama.[13]
Menurut istilah Tarekat upaya untuk memperoleh berkah dan keutamaa dengan cara
mengurangi ketergandungan kepada kehidupan dunia dan senantiasa mengikatkan
diri kepada Allah dengan mencerminkan sikap tawadhu’ dalam segala hal seperti
dalam perkataan dan perbuatan.[14]
2 ). Sejarah Munculnya Pemikiran Tasawuf Dalam Islam
Secara
historis cikal bakal Tasawuf sebenarnya sudah ada sejak
Rasulullah Muhammad Saw masih hidup. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan
peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi sendiri. Perilaku Nabi Saw
sebelum diangkat menjadi Rasul beliau sering
berkhalwat atau tahannus di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan dimana
Nabi berzikir dan bertafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Pengasingan Nabi Saw di Gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan
kegiatan tasawufnya. Puncak kedekatan Nabi Saw sebagai pengalaman Tasawuf
tertinggi dialaminya pada peristiwa bersejarah dalam Islam yaitu Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw dimana
Nabi Saw telah menemui Allah di Sidratil Muntaha dan melakukan dialog langsung
di langit ketujuh itu.
Dalam
hal ibadah, Rasulullah Saw adalah orang yang paling tekun dan khusyu’ dalam
shalatnya dan dalam pribadi Nabi Saw tertanam kepribadian yang mulia yang tak
ada bandingannya. Allah Swt sendiri memuji akhlak Nabi Saw yang tertulis dalam
Al-Qur’an surah Al-Qalam/68 : 4 yang artinya : “Dan sesungguhnya kamu
benar-benar berbudi pekerti yang agung”.[15]
Begitu
juga sahabat besar Nabi yaitu Khalifah
Rasyidin ( Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ) mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw
dalam perilaku, ibadah dan kepribadiannya sampai pula keteladanan Nabi masih
melekat pada jiwa para sahabat kecil diantaranya Abu Hurairah, Abu Zar
al-Ghiffari, Salman al-Farisi, Mu’az bin
Jabal, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan lain-lain. Tetapi situasi
berubah ketika terjadi konflik-konflik politik yang bermula dari pembunuhan
Utsman bin Affan dan mencapai puncak persoalan politik terjadi pada masa
Khalifah Ali seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Mu’awiyah
bin Sufyan menggantikan kedudukan Ali sebagai Khalifah pada tahun 661 M/41 H. Mu’awiyah menerapkan sistem pemerintahan monarchi ( kerajaan ) yang
kepemimpinannya dilaksanakan secara turun temurun. Selain itu Mu’awiyah sebagai
Khalifah tampaknya juga sudah jauh dari tradisi kehidupan Rasulullah Saw dan para sahabat. Keluarga istana lebih
banyak hidup bermewah-mewah dan jauh dari kehidupan religius. Apalagi setelah
jabatan Khalifah diturunkan kepada putranya Yazid ( 680 M/61 H – 683 M/64 H )
yang dikenal sebagai khalifah yang tidak memperdulikan ajaran-ajaran agama
bahkan dikenal sebagai seorang pemabuk melancarkan kekejamannya dengan
melakukan pembunuhan terhadap cucu Rasulullah Saw Husein bin Ali dengan memenggal kepalanya di Karbala, Irak. Dengan
sistem monarchi ini khalifah-khalifah Bani Umayyah bebas melakukan
kezaliman-kezaliman terutama terhadap kelompok Syi’ah yang sejak peristiwa
Tahkim sebagai kelompok yang menentang Mu’awiyah.
Situasi
konflik politik dan perubahan kehidupan sosial yang sedemikian itu membuat kaum
muslimin hidup menjauhi konflik dan berbagai bentuk kezaliman yang akan menimpa
mereka lebih jauh dalam bentuk pengasingan diri dan mengisi kehidupan sepenuhnya
dengan ibadah, zikir, hidup zuhud, sederhana dan saleh. Gerakan ini dapat dicermati pada tiga bentuk,
yaitu :
1)
Kelompok yang mengasingkan diri
dikarenakan adanya rasa penyesalan dari golongan syi’ah sebab merasa telah
mengkhiati Husein bin Ali dan memberi dukungan kepada pihak yang melawan Husein,
yaitu Mu’awiyah. Mereka menyebut
kelompoknya dengan Tawwabun ( kaum tawabun
atau kaum yang bertaubat ) dengan membersihkan diri dari apa yang telah
dilakukan melalui kehidupan ibadah sepenuhnya.
2)
Kelompok yang menghindari konflik
dan beroposisi dengan rezim Bani Umayyah yang telah jauh dari perilaku religius
dan kesederhanaan keempat Khalifah Rasyidin yang diwakili oleh tokoh sufi
terkenal Hasan al-Bashri di Basra (
642 – 728 M ). Ia dibesarkan dalam asuhan Ali bin Abi Thalib. Hasan al-Bashri
masyhur dengan kezuhudannya yang berlandaskan Khauf dan Raja’. Al-Bashri mengajarkan : “Jauhilah dunia ini karena
ia sebenarnya serupa dengan ular, licin pada perasaan tangan tetapi racunnya
mematikan”[16]
3)
Kelompok yang melaksanakan kegiatan ‘uzlah dan zuhud
sebagai reaksi terhdap paham al-Khawarij dalam bentuk isolasionisme yang
mengajarkan orang untuk berlepas tangan dari kegiatan politik, administrasi
pemerintahan dan masalah-,asalah umum masyarakat.[17]
Dengan
demikian jelaslah bahwa pemikiran dan praktek Tasawuf dalam Islam secara
historis juga dilatarbelakangi oleh faktor-faktor politik dengan tujuan untuk
menghindarkan konflik dengan penguasa terutama dengan Khalifah Bani Umayyah.
Faktor psikologis juga turut menjadi pemicu
munculnya gerakan tasawuf ini yakni rasa penyesalan terhadap
kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan dan untuk menjauhkan diri dari kezaliman-kezaliman
yang dilancarkan oleh penguasa Bani Umayyah.
D. Kajian
Historis Munculnya Pemikiran Filsafat Dalam Islam
1 ).
Defenisi Istilah Kunci : Filsafat,
Filsafat Islam, Al-Hikmah
Kata
filsafat atau falsafat sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yaitu :
“philosophia” yang terbentuk dari “philos” yang berarti cinta dan “sophia” yang
berarti pengetahun. Jadi “philosophia” bermakna cinta kepada pengetahuan. Orang
yang cinta kepada pengetahuan disebut philosophos atau failasuf[18]
Dari
defenisi filsafat secara etimologis
tersebut dapat dikembangkan pengertiannya secara termonologis. Jujun S.
Suriasumantri menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan filsafat adalah suatu aktivitas berpikir yang memiliki
karakteristik menyeluruh, mendasar dan spekulatif. Filsafat menurut Sidi
Gazalba adalah berpikir secara mendalam,
sistematis, radikal dan universal dalam mencari kebenaran, inti atau hakikat
segala sesuatu yang ada.[19]
DR.
Ahmad Fuad Al-Ahwani mengemukakan bahwa filsafat
Islam ialah pembahasan yang meliputi berbagai soal alam semesta dan
bermacam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama
lahirnya ajaran Islam,[20] DR. Ibrahim Madkour berpendapat bahwa filsafat Islam adalah segala studi
filsafat yang ditulis di dalam dunia Islam, baik penulisnya seorang muslim,
nasrani maupun yahudi. [21]
Menurut
Syekh Mustafa Abdurraziq Al-Hikmah
merupakan terminologi dalam Al-Qur’an yang sepadan dengan filsafat. Al-Hikmah
menurut bahasa artinya mencegah, dalam arti mencegah manusia dari perbuatan
zalim.[22]
Syekh Muhammad Abduh mendefenisikan Hikmah
sebagai mengetahui rahasia dan faedah di dalam tiap-tiap hal.[23]
2 )
Sejarah Munculnya Pemikiran Filsafat Dalam Islam
Berdasarkan
fakta sejarah Filsafat muncul di
dunia Islam setelah mengalami interaksi dengan filsafat Yunani yang dijumpai kaum muslimin pada abad ke-8 M
atau abad ke-2 H. terutama interaksi dengan pemikiran Aristoteles. Seseorang
yang membawa pemikiran Aristoteles ke dunia muslim tidak lain adalah Alexander Yang Agung, Raja Macedonia (
336-323 SM ) yang melakukan ekspansi ke dunia timur pada abad ke 4 SM. Politik Alexander
untuk menyatukan kebudayaan Yunani
dengan kebudayaan Persia telah meninggalkan bekas besar di daerah-daerah yang
pernah dikuasainya dan timbullah pusat-pusat kebudayaan Yunani di timur,
seperti Alexandria di Mesir, Antioch di
Suria, Jundisyapur di Messopotamia dan Bactra di Persia.[24]
Meskipun pemikiran Aristoteles yang banyak
dipelajarari oleh dunia Islam tetapi yang sampai ke orang-orang muslim sudah tidak orisinil lagi melainkan
sudah mengalami tafsiran-tafsiran dari orang lain terhadap ajaran Aristoteles.
Menurut F.E. Peters, paham Kristen-lah yang telah mencuci bersih tendensi eksistensial filsafat Yunani
tersebut.[25] Oleh
karenanya pemikiran Aristoteles yang berpengaruh bagi dunia Islam lebih tepat disebut Aristotelianisme.
Ajaran
Plotinus ( 205-270 M ) tentang Enneades, yaitu ajaran filsafat yang
menjelaskan tentang terjadinya pelimpahan dari Yang Satu ( supreme in material force ) sangat berpengaruh bagi filosof muslim
terutama bagi al-Farabi. Tetapi Plotinus yang note bene adalah filosof yang memperoleh pendidikan di Alexandria (
Iskandariyah ), Mesir, pemikiran
filsafatnya sebenarnya banyak diilhami oleh Plato ( 427-347 SM ).
Pemikiran filsafat yang merupakan
sintesa ajaran Plotinus dan Plato ini melahirkan filsafat Neoplatonisme. Terlepas dari persamaan dan perbedaan ketiga
pemikiran filsafat tersebut, yang pasti ketiganya mempengaruhi pemikiran di
dunia muslim[26]
Terjadinya
kontak kaum muslimin dengan filsafat Yunani tersebut terjadi dalam dua tahap,
yaitu :
Pertama,
kontak kaum muslimin dengan
filsafat Yunani secara individu yang dilakukan sejak zaman Rasululaah Saw masih
hidup. Filsafat masuk ke dunia Islam
dibawa oleh ahli-ahli pikir Islam yang mempelajari kebudayaan dan filsafat
Yunani.. Ahli-ahli pikir Islam yang
pernah belajar dari pusat-pusat kebudayaan Yunani diantaranya adalah : al-Harits bin Kaldah ats-Ttsaqafi, seorang sahabat Nabi Saw yang
mempelajari ilmu kedokteran di
Jundisyapur dan dikenal sebagai seorang dokter arab.[27] Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah ( 680 –
683 M ) dan Ja’far al-Shadiq ( 700 –
765 M ) juga sempat mendalami ilmu kimia[28]
Bahkan Marwan bin Hakam, salah
seorang Khalifah Bani Umayyah yang
ke 4 ( 683 – 685 M ) pernah
memerintahkan agar buku kedokteran karya Harun, seorang dokter dari Alexandria,
Mesir agar diterjemahkan dari bahasa suryani ke bahasa arab.[29]
Masa inilah kontak pertama yang terjadi antara kebudayaan Yunani ( filsafat
Yunani ) dengan dunia Islam. Sungguh menarik untuk diketahui bahwa pada masa-masa awal perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan dan cabang-cabangnya masih merupakan bagian dari filsafat itu
sendiri. Berbagai macam ilmu seperti fisika, astronomi, ilmu bumi, matematika,
sejarah, kedokteran lebih populer
disebut dengan disebutlah filsafat fisika, filsafat astronomi, filsafat
geografi, filsafat matematika, filsafat sejarah dan filsafat kedokteran,
sehingga tidak salah dikatakan bahwa ilmu kedokteran yang dipelajari al-Harits
bin Kaldah ats-Saqafi dan ilmu kimia yang dipelajari Yazid bin Mu’awiyah dan
Ja’far al-Shadiq juga berarti bahwa mereka mempelajari filsafat.
Kedua,
kontak kaum muslimin dengan filsafat Yunani secara kolektif dikarenakan umat
Islam telah menguasai daerah-daerah yang ditaklukkan kaum muslimin ( Futuhat
) seperti Suriah, Palestina, Mesir,
Messopotamia dan Persia pada pertengahan abad VII M. Kota-kota yang
merupakan pusat-pusat kebudayaan Yunani
tersebut jatuh ke pangkuan kaum muslimin sejak masa Khalifah Umar bin Khattab.
Damaskus, ibu kota Suria dikuasai pada tahun 635 M, Messopotamia dan Persia
jatuh pada tahun 637 M Alexandria, ibu
kota Mesir dan juga Palestina jatuh pada tahun 641 M.[30]
Kontak yang intensif antar dua kebudayaan ( Islam dan Yunani ) itu memang
mendapat justifikasi dari Al-qur’an dan Hadits yang memberikan kedudukan tinggi pada akal. Al-Qur’an medorong manusia untuk mempergunakan akalnya dengan cara memikirkan ( ( ﺗﻔﮝﺭ
memperhatikan ( ﺗدﺑﺭ ),
memahami ( ﺗﻔﻗﮫ
), mengamati dan meneliti ( ﺗﺑﺼﺭ )
alam semesta.[31]
Demikianlah
awal mula terjadinya kontak atau interaksi antara kebudayaan Yunani (
filsafat Yunani ) dengan dunia muslim. Puncak dari perkembangan filsafat dalam Islam
terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Harun
Al-Rasyid ( 785 – 809 M ) dan puteranya Al-Makmun ( 813 – 833 M ). Pada masa ini utusan-utusan dikirim ke
Kerajaan Bizantium untuk mencari manuskrip yang kemudian dibawa ke Bagdad untuk
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Untuk keperluan penerjemahan itu Al-Makmun
mendirikan Bait Al-Hikmah di Baghdad.[32]
Dari sinilah lahir filosof-filosof muslim kenamaan diantaranya Al-Kindi (
801-866 M ), Al-Farabi ( 872-950 M), Al-Ghazali ( 1058-1111 M), Ibnu Sina ( 980-1036 M ) dan lain-lain.
E. Kajian Historis Munculnya Pemikiran Hukum
Islam
1 ). Defenisi Istilah Kunci : Fikih, Syariat, Ad-Din
Hukum Islam, atau yang lebih populer dikenal dengan Fikih berasal dari bahasa Arab “Faqiha
– yafqahu – fiqhan – fiqh “, secara
bahasa berarti mengerti, paham, pintar,[33]
dalam arti pengertian atau pemahaman yang mendalam yang menghendaki pengerahan
potensi akal. Dalam pengertian yang lebih konkrit Fikih adalah mengetahui hukum-hukum Islam ( syarak ) yang bersifat
amali ( amalan ) melalui dalil-dalil yang terperinci.[34]
Dari defenisi tersebut dapat dipahami bahwa fikih merupakan aktivitas
akal untuk memahami Syarak atau Syariah.
Kata Syariah dalam pengertian aslinya
adalah “jalan menuju sumber air”[35] Kita
tahu bahwa jasmani manusia bahkan seluruh makhluk hidup sangat membutuhkan
air demi kelangsungan hidupnya. Ruhani
pun, demikian M. Quraish Syihab berkata, membutuhkan air kehidupan, [36] yakni
air kehidupan yang dibutuhkan untuk kebahagian di dunia dan akhirat. Itulah Syariah. Terkadang Syariah juga diartikan dengan Hukum Selanjutnya, istilah
dalam Al-Qur’an yang identik dengan Syariah
adalah Ad-Din. Secara harfiah Ad-Din berarti kepatuhan ; ketaatan, yakni kepatuhan dan
ketaatan kepada Pembuat Syariah atau Pembuat Hukum, yaitu Allah SWT. Dari ketiga istilah tersebut ( Syariah,
Ad-Din dan Fiqh ), Fazlur Rahman mengatakan bahwa Syariah dan Ad-Din
adalah identik dan bisa saling dipertukarkan selama menyangkut kandungan agama
dan Ad-Din adalah esensi dari Syariah. Tetapi sedikit ada perbedaan diantara
keduanya : kalau Syariah merupakan penentuan jalan dan subyeknya sendiri adalah
Tuhan, maka Ad-Din adalah tindakan mengikuti jalan tersebut dan subyeknya
adalah manusia. Sedangkan Fiqh merupakan
metode untuk menjelaskan Syariah dengan cara memahaminya lewat akal ( nalar ).
Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumbernya.[37]
2 ).
Sejarah Munculnya Pemikiran Hukum Islam
Hukum Islam seperti yang kita
pahami sampai sekarang ini dengan istilah
Fiqh Islam tidaklah tumbuh menjadi sempurna sekaligus apalagi sampai ia
menjadi sebuah disiplin ilmu yang membatasi diri hanya pada persoalan hukum :
halal, haram, sunnah, makruh, mubah, sah dan batal . Sesungguhnya ia melewati
beberapa tahap untuk mencapai pada tataran itu.
Pada zaman Rasulullah Muhammad Saw masih hidup sebenarnya sudah tumbuh
apa yang disebut dengan Fikih. Akan tetapi Fikih pada mulanya mencakup segala
yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits. Sebagaimana dijelaskan pada bagian
sebelumnya, Al-Qur’an dan Hadits berfungsi untuk menjelaskan Syariah, jalan
yang ditetapkan oleh Tuhan, Hukum dan Undang-Undang-Nya. Hukum dan
Undang-Undang Tuhan tersebut dibumikan oleh para Nabi dan Rasulullah Saw
sebagai Utusan Tuhan pengemban Risalah-Nya dalam bentuk Ad-Din. Meskipun Fikih pada
dasarnya merupakan sebuah aktivitas memahami Syariah tetapi pemahaman
Rasulullah Saw bersumber pada Al-Qur’an dan Hadts pula. Sehingga dapat
dikatakan tidak ada yang menyimpang dari jalan yang benar Fikih yang ditetapkannya. Ketetapan hukum dalam arti pola
pengaturan masyarakat yang meliputi segala aspek kehidupan individu dan
kelompok baik dalam ibadah, jihad, pidana, waris, wasiat, pernikahan, sumpah,
peradilan dan segala hal yang dicakup oleh ilmu fikih, secara fungsional baru dilakukan oleh Rasul
setelah hijrah ke Madinah. Sedangkan pada saat sebelum hijrah atau periode
Mekkah, jikapun dapat dikatakan hukum, ketetapan hukumnya lebih berorientasi
pada perbaikan akidah atau tauhid, soal kepercayaan adanya Allah, penolakan
syirik, hal-ihwal azab dan nikmat dihari kemudian serta urusan-urusan kebaikan.
Karakteristik risalah Rasul ini
merupakan tanda-tanda turunnya ayat-ayat Al-Qur’an periode Makkiyah. Sedangkan
ayat-ayat Hukum kebanyakan diturunkan pada periode Madaniyah.[38]
Lebih jelasnya dapat dikatakan bahwa proses pembentukan hukum pada masa
kerasulan ( periode Makkah dan Madinah ) berjalan bersama kenyataan bahwa kaum muslimin apabila menghadapi suatu
masalah yang menghendaki penjelasan hukumnya, mereka langsung mempertanyakannya
kepada Rasul. Terkadang Rasul memberi fatwa dengan wahyu yang diturunkan Allah
atau dengan Hadits dan terkadang pula Rasul menjelaskan hukum lewat perbuatannya atau sebagian mereka
melakukan suatu perbuatan lalu Rasul menyetujuinya. Disini Rasul berperan
sebagai Sahib at-Tasyri’ ( pemegang Syariat ). Kedudukan Rasulullah Saw
sebagai pemegang Syariat atau pemutus
perkara ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surah An-Nisa/4 : 65
sebagai berikut :
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمَا
Artinya : “Maka demi Tuhanmu,
mereka ( pada hakikatnya ) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
dalam hati mereka suatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.[39]
Setelah
Rasulullah Saw wafat, tidak ada lagi tempat bertanya tentang hukum terhadap
suatu masalah yang tidak diatur secara
tegas dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, maka mulailah sahabat ( Khalifah
Rasyidin ) memberanikan diri untuk berijtihad. Motivasi berijtihad sebenarnya dikarenakan pada masa
ini wilayah kekuasaan Islam sudah semakin luas telah mencapai semenanjung
Arabia, Syiria, Mesir, Persia, Palestina dan Irak dimulai sejak Khalifah
Rasyidin II Umar bin Khattab. Persoalan
hukum menjadi semakin kompleks yang
disebabkan oleh struktur masyarakatnya yang heterogen dan adanya persentuhan
Islam dengan tradisi dan budaya baru. [40] Lebih-lebih
pada masa Khalifah Usman bin Affan dimana para sahabat Nabi sudah berpencar ke
daerah-daerah futuhat ( taklukkan ). [41]
Hal ini mengakibatkan meluasnya usaha
periwayatan Hadits dan usaha pendalaman Al-Qur’an serta penggalian hukum-hukum
yang mereka butuhkan dari kedua sumber itu. Mengenai penggalian hukum
berdasarkan Hadits, tak jarang para sahabatpun satu sama lain berbeda. Satu
Hadits terkadang dinilai shahih oleh sebagian sahabat sedang sebagian yang lain
menilainya tidak shahih.[42] Pada
masa inilah dimulai penggunaan Ra’yu ( pendapat ) dan Qiyas dalam berijtihad terutama diterapkan oleh sahabat Nabi Umar
bin Khattab dan Ibnu Mas’ud.
Maka
muncullah golongan-golongan yang saling berbeda dalam menetapkan hukum, yakni
golongan Ahlur Ra’yi dan Ahlul Hadits. Julukan Ahlur Ra’yi dan
Ahlul AHadits yang sebenarnya disandang oleh para Tabi’in. Ibrahim
An-Nakha’i adalah Ulama Ahlur Ra’yi
yang terkemuka di Kufah. Ia adalah murid dari Alqamah bin Qais yang berguru
pada Ibnu Mas’ud.[43] Ibrahim An-Nakha’i adalah guru dari Hammad
bin Abu Sulaiman gurunya Imam Abu Hanifah, yang nantinya sebagai
pendiri Mazhab Hanafi. Sedangkan Ulama Ahlul Hadits disandang oleh Sayyid bin Al-Musayyab, Ulama terkemuka
di Madinah, menantu sahabat Rasul Abu
Hurairah.[44]
Demikianlah,
Fikih Islam mulai terbentuk dan sumber-sumbernya, yakni Al-Qur’an, Sunnah, Qiyas dan Ijma’ mulai diketahui. Meskipun
demikian gencarnya persoalan-persoalan hukum dan proses penetapannya oleh para
sahabat di masa Khalifah Rasyidin sampai pada masa Bani Umayyah namum Fikih belum juga merupakan bidang ilmu yang
terkodifikasi.
Kodifikasi
ilmu Fikih dimulai pada masa Khalifah Bani Abbasiyah oleh murid-murid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah ( pendiri
Mazhab Hanafi ). Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (699 M/80 H – 767 M/150 H ) menjadi terkenal karena kedalamannya dalam
ilmu Tafsir dan Hadits dan penguasaannya terhadap Hukum-Hukum Islam ( Fikih ).
Ia diangkat menjadi Mufti di kota
Kufah ( Irak ) menggantikan Imam Ibrahim An-Nakha’i. Ia tergolong Ulama Ahlur
Ra’yi karena ia lebih banyak menggunakan akal ( nalar )dalam bentuk Qiyas daripada Ijma’ Ulama. Selain itu ia berguru
kepada muridnya Imam Ibrahim An-Nakha’i, tokoh Ahlur Ra’yi pula dan jika diteruskan silsilah keguruannya akan
sampai pada Ibnu Ma’ud dan Umar bin Khattab. Imam Abu Hanifah meninggalkan
karya berupa kitab-kitab diantaranya : al-Faraid
( membicarakan masalah waris ), asy-Syurut ( membahas mengenai
perjanjian ) dan al-Fiqh al-Akbar ( membahas
ilmu kalam atau teologi dan diberi syarah oleh
Imam al-Maturidi dan Imam Abu al-Muntaha).[45]
Murid-murid
sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah yang terkenal adalah Imam Abu Yusuf Ya’qub bin
Ibrahim Al-Anshari ( 113-182 H ) dan Imam
Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (132-189 H ). Imam Abu Yusuf-lah orang yang
pertama menyusun kitab dan dianggap yang melanggengkan Mazhab Hanafi. Kitab
yang disusunnya antara lain :
Mazhab
kedua yang hidup sesudah Hanafi adalah Mazhab Maliki yang didirikan oleh Imam
Malik bin Anas ( 716 M/94 H – 795 M/179 H ). Ia lahir dan dibesarkan di
Madinah. Sebuah kota tempat Rasul hijrah yang dikenal Kota Sunnah. Dalam riwayatnya ia tidak pernah keluar ( hijrah
) dari kota itu, sehingga ia tahu benar
mengenai Sunnah Rasulullah Saw yang dianut orang-orang Madinah. Oleh karena
itulah dalam memutuskan suatu perkara hukum setelah Al-Qur’an dan Hadits, ia
mendasarkan diri pada Praktek penduduk Madinah (Amal ahli al-Madinah) ,
Fatwa Sahabat, Qiyas dan al-Maslahah
al-Mursalah. Karya Imam Malik yang
terkenal adalah al-Muwaththa’ ( jalan
yang rata ), merupakan Kitab Hadits dan Fikih sekaligus. [46]
Demikianlah
Mazhab Imam Malik, namun sebagaimana yang berlaku pada Mazhab Hanafi, Mazhab
ini juga yang mengembangkan dan
mengkodifikasikan menjadi sebuah ilmu adalah para muridnya yang terkenal
diantaranya Abdurrahman bin Al-Qasim yang menulis Kitab Al-Mudawanah , Abu Muhammad Abdullah bin Wahhab
termasuk Imam asy-Syafi’i. Filosof Ibnu Rusyd pengarang Kitab Bidayat al-Mujtahid juga termasuk
pengikut Imam Malik [47]
Berikutnya
muncul pula Mazhab Syafi’i yang didirikan oleh Muhammad Idris asy-Syafi’I ( 767 M/150 H – 820 M/204 H ). Kitabnya yang terkenal adalah al-Umm ( Induk
Kitab ) yakni sebuah kitab fikih yang komprehensif ). Dasar-dasar dalam
penetapan hukum Mazhab asy-Syafi’i ada 5 ( lima ), yaitu : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istidlal ( penalaran ). [48]
Terakhir
Mazhab dalam bidang Fikih ( Hukum Islam ) adalah Mazhab Hambali dengan
pendirinya bernama Imam Ahmad bin
Muhammad bin Hambal ( 780 M/164 H – 855 M/241 H ). Ia adalah murid dari
Imam Syafi’i yang tertua dari kalangan orang-orang Baghdad. Ia juga belajar
pada Imam Abu Yusuf, muridnya Imam Hanafi. Dasar-dasar penetapan hukum pada Mazhab
Hambali ini adalah : Nash (Al-Qur’an dan
Hadits Marfu’ ), Fatwa Sahabat, Hadits Mursal serta Hadits
Dhaif, dan Qiyas . [49]
Dari
landasan hukum tersebut tampak bahwa Imam Ahmad lebih mendahulukan Hadits
Mursal dan Dhaif daripada Qiyas. Hal ini mengisyaratkan bahwa ia memang seorang
yang tergolong Ulama Ahlul Hadits. Kitab Hadits terkenal yang disusunnya adalah Musnad Ahmad ibn Hambal.
Imam Ahmad bin Hambal tidak ada menulis kitab dalam bidang Fikih, kecuali
beberapa catatan yang tidak disebarluaskan. Murid-murid Imam Ahmad diantaranya
anaknya sendiri Saleh bin Ahmad dan Abdullah bin Ahmad. Muridnya yang lain
adalah, Abu Bakar al-Asram, Abdul Malik al-Maimuni dan Abu Bakar al-Marwazi.
Dari murid-murid Imam Hambali ini, fikih Ahmad bin Hambal dibukukan oleh Abu Bakar al-Khalal. Muridnya yang lain
yang tak dapat dilupakan adalah Imam perawi hadits yaitu Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam
Abu Daud.[50]
Sebagai
penutup dalam kajian historis munculnya Hukum Islam ini, perlu kita simak apa
yang dikatakan oleh Fazlur Rahman, yaitu bahwa dasar sesungguhnya dari seluruh
struktur Hukum Islam yang sudah dibahas
di atas adalah ide bahwa Tuhan adalah Penguasa Yang Berdaulat yang ‘Perintah dan Kehendaknya adalah Hukum’.
Dari tataran ini bisa kita pahami bahwa untuk maksud ide itu, Hukum Islam lebih merupakan sebuah sistem
kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan daripada kode hukum yang spesifik.
Itulah sebabnya setiap buku tentang Hukum Islam selalu dimulai dengan
pembahasan tentang kewajiban-kewajiban agama dan secara etis tindakan-tindakan
manusia diklasifikasikan dalam lima kategori : Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh dan
Haram.[51]
F. PENUTUP
Dari
keempat disiplin Keilmuan Islam
Tradisional di atas yakni Kajian
Teologi (
Ilmu Kalam ), Kajian Ilmu Filsafat, Kajian Ilmu Tasawuf dan Ilmu Fikih tampak
dengan jelas bahwa sejarah muncul
keempatnya di dunia Islam sangat kompleks dan berjalin berkelindan. Hal
ini barangkali disebabkan karena orientasi bidang keilmuan para tokoh-tokoh
muslim berbeda-beda sehingga melahirkan tokoh-tokoh keilmuan yang berbeda-beda
pula. Tokoh Ilmu Kalam disebut Ulama Kalam ( Mutakallimin ), tokoh
Tasawuf disebut Sufi, tokoh filsafat
disebut Filosof dan tokoh fikih
disebut Faqih. Kemunculan tokoh-tokoh di atas dalam
bidangnya pada dasarnya hampir bersamaan yaitu pada masa puncak kejayaan Islam
Bani Abbasiyah ( 750 M/ 132 H - 1258 M/656 H ) di Baghdad.
Bila
dicermati secara mendalam dari keempat disiplin Keilmuan Islam tersebut tampak
jelas sisi-sisi perbedaannya. Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya secara
rasional pada segi-segi mengenai Tuhan dan derivasinya dengan tetap lebih
mengutamakan pada wahyu, Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan
pengalaman keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya
bersifat esoterik, Filsafat menggarap segi-segi spekulatif dengan kecenderungan
kepada metode interpretasi metaforis kepada teks-teks suci dan Ilmu Fikih
merupakan disiplin dengan bidang garapan segi-segi eksoterik ( lahiriah ) agama
terutama aspek hukum dari amalan keagamaan.[52]
*Makalah dipresentasikan pada Mahasiswa PPs
S.2 IAIN Sumatera Utara Tahun 2008.
*Penulis saat ini menjadi Dosen Pendidikan Agama Islam Yayasan
Universitas Labuhanbatu (Y-ULB) Rantauprapat
1 A. Hanafi, Pengantar Theology Islam,
(Jakarta: Pustaka Al Husna, 1980), h. 11.
[1] Ibid, h. 12.
[2]
Taufik Abdullah, dkk ( Ed. ), Ensiklopedi
Islam, ( Jakarta : PT. Ichtiar Van Hoeve, 2002 ),
jilid II, h. 345-346.
[3] M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam ( Jakarta : Bulan Bintang, 1973 ), h. 1.
[4]
Abdullah, dkk (ed.), Ensiklopedi,
jilid V, h. 91.
[5] Menurut Nurcholish Madjid, al-Fitnatul Kubra I
terjadi pada peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan. Lihat Nurcholish Madjid,
“Menegakkan Faham Ahlus Sunnah Wal-jama’ah Baru” dalam Haidar Bagir (
Peny.), Satu Islam Sebuah Dilema, ( Bandung
: Mizan, 1992 ), h. 14.
[6]
Ibn Atsir, Al-Kamil fi al-Tarikh, (
Beirut : Daar al-Ashwar, 1965 ), h. 108.
[7] A.
Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Cet. 2
( Jakarta : PT. Al-Husna Zikra, 2000 ), jilid
I, h. 300-302.
[8]
Aliran Kadariyah berpendirian bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak
dalam arti perbuatannya tidak ditentukan oleh Tuhan ( free will and free act ).
Tokoh pendiriya adalah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Al-Dimasyqi. Sedangkan Aliran atau paham Jabbariyah
berpendapat bahwa semua perbuatan atau
kehendak manusia ditentukan oleh Tuhan. Tokoh pendirinya adalah Al-Ja’d
Ibn Dirham dan Jahm Ibn Safwan. Lihat
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya ,
( Jakarta : UI-Press, 1985 ), jilid II, h 37..
[9]
Harun Nasution, Teologi Islam :
Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan
( Jakarta : UI-Press, 1986 ), h.
1.
[10] Harun
Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam
Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1983), hal. 56.
[11]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
hal. 181
[12]
M.S. Nasrullah, Kunci Memasuki Dunia
Tasawuf ( Bandung : MIzan, 1996 ), h. 289.
[13]
Fuad Said, Hakikat Tarekat Naqsabandiyah
( Jakarta : AlHusna Zikra, 1993 ), h. 1.
[14]
Syarkawi, Mu’jam Al-Fadz Thariqah (
Mesir : Mausasah Mukhtar, 1992 ), h. 200.
[15]
Taufik Abdullah, dkk ( Ed. ), Ensiklopedi, h. 77-78.
[16] Ibid, h. 82.
[17] Fazlur Rahman, Islam,
( Chicago : The University of Chicago Press, 1979 ), h. 180.
[18]
Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam ( Jakarta : Bulan Bintang, 1996 ), h. 3
[19] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Cet. 2, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1967 ), jilid
I, h. 15.
[20]
Ahmad Fuad Al-Ahwani, Al-Falsafatul
Islamiyah ( Kairo : Daar al-Qalam, tp.tt ), h. 5.
[21]
Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah
al-Islamiyah, ( Kairo : Isa al-Halaby, 1947 ), h. 5.
[22]
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab ( Beirut : Dar as-Sadir, t.t
), 12.
[25] F.E. Peters, Aristotle and the Arabs (
New York : New York University Press, 1986 ), h. xx – xxxi.
[26] Ian Richard Netton, A Popular Dictionary of Islam ( USA : First Published by Curzon
Press, 1997 ), h. 78 – 79.
[27]
Ahwani, Al-Falsafatul, h. 35.
[28]
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan
Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan
Keindonesiaan, Cet. I ( Jakarta : Paramadina, 1992 ), h. 223.
[29] C.A. Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World ( London : Croom Helm,
1988 ), h.34.
[31]
Harun Nasution, “Agama Yang Diperlukan Manusia Abad XXI dan Seterusnya” dalam
Endang Basri Ananda (Peny.), 70 Tahun
Prof.DR.H.M.Rasyidi ( Jakarta : Pelita, 1985 ), h. 282. Lihat juga Syahrin
Harahap, Al-Qur’an Dan Sekularisasi : Kajian Terhadap Pemikiran Thaha Husein
( Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994 ), h. 84.
[32]
Nasution, Islam, jilid II, h. 46-47.
[33]
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia ( Jakarta
: PT. Hidakarya Agung, 1972 ), h. 321.
[34]
Abdullah, dkk (ed.), Ensiklopedi, jilid II, h. 8
[35]
M. Quraish Syihab, Membumikan Al-Qur’an :
Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat ( Bandung : MIzan, 1992
), h. 27.
[36] Ibid.
[37] Rahman, Islam, h.
135-136.
[38]
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu A-Qur’an/Tafsir , cet. 12 ( Jakarta : Bulan Bintang, 1989 ),
h. 57.
[40]
Abdullah, dkk ( ed. ), Ensiklopedi,
h. 11.
[41]
Berbeda dengan masa Khalifah Usman, sahabat-sahabat Rasulullah Saw pada masa
Khalifah Umar bin Khattab tidak
diperkenankan oleh Umar untuk hijrah ke luar dari Madinah, kecuali ada
kebutuhan mendesak. sehingga memudahkan bagi Umar untuk melakukan penetapan
hukum berdasarkan Ijma’, yaitu Konsensus Sahabat ( Mujtahid ). Lihat, Syekh
Muhammad Ali As-Sayis, Tarikh Al-Fiqh Al-Islami ( Beirut : Dar
Al-Kutub, 1990 ), h. 72
[42]Muhammad
Yusuf Musa, Islam : Suatu Kajian
Komprehensif ( Jakarta : Rajawali, 1988 ), h. 146.
[43]
Abdullah, dkk ( ed.), Ensiklopedi,
jilid III, h. 76.
[44]
As-Sayis, Tarikh, h. 97-113. Lihat
juga, Musa, Islam, h. 155.
[45]
Abdullah, dkk (ed.), Ensiklopedi, jilid II, h. 81.
[46] Ibid, jilid III, h. 140.
[47]
As-Sayis, Tarikh, h. 147. Lihat juga
Nasution, Islam, jilid II, h. 16.
[48]
Abdullah, dkk (ed.), Ensiklopedi, jilid
IV, h. 329-330.
[49]
As-Sayis, Tarikh, h. 158-159.
[50]
Abdullah, dkk (ed.), Ensiklopedi,
jilid II, h. 84-86.
[51]
Rahman, Islam, h. 101.
[52]
Madjid, Islam Doktrin, h. 201, 208.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad , Al-Islam
Din Al-Ilm wa Al-Madaniah, Kairo :
Dar Al-Hilal, 1963
Abdullah, Taufik, dkk ( Ed. ), Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Van Hoeve, 2002 , jilid II
Al-Ahwani, Ahmad Fuad,
Al-Falsafatul Islamiyah, Kairo : Daar al-Qalam, tp.tt
Ash-Shiddieqy, M.hasbi, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973
Ash-Shiddieqy, M.Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
A-Qur’an/Tafsir , cet. 12, Jakarta :
Bulan Bintang, 1989
As-Sayis, Syekh Muhammad Ali, Tarikh
Al-Fiqh Al-Islami, Beirut : Dar
Al-Kutub, 1990
Atsir, Ibnu, Al-Kamil fi al-Tarikh, Beirut : Daar
al-Ashwar, 1965
Departemen
Agama R.I., Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Semarang
: CV. Toha Putra, 1989
Endang Basri Ananda, Endang Basri, (Peny.), 70
Tahun Prof.DR.H.M.Rasyidi / Jakarta : Pelita, 1985
Gazalba, Sidi,
Sistematika Filsafat, Cet. 2,
Jakarta : Bulan Bintang, 1967 , jilid I,
Haidar Bagir, Haidar, ( Peny.),
Satu Islam Sebuah Dilema, Bandung : Mizan, 1992
Hanafi, A. Pengantar Theology Islam, Jakarta:
Pustaka Al Husna, 1980
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam , Jakarta : Bulan Bintang, 1996
Harahap, Syahrin, Al-Qur’an Dan Sekularisasi :
Kajian Terhadap Pemikiran Thaha Husein, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab , Beirut : Dar as-Sadir, t.t
Madjid, Nurcholish, Islam
Doktrin Dan Peradaban, Sebuah Telaah
Kritis Tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan dan Keindonesiaan, Cet. I .
Jakarta : Paramadina, 1992
Madkour,
Ibrahim, Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Kairo : Isa
al-Halaby, 1947
Musa, Muhammad Yusuf, Islam : Suatu Kajian Komprehensif, Jakarta : Rajawali, 1988
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya , Jakarta : UI-Press, 1985 , jilid II
Nasution,
Harun, Teologi Islam : Aliran-Aliran,
Sejarah Analisa Perbandingan
Jakarta : UI-Press, 1986
Nasution,
Harun, Filsafat dan Mistisisme
Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1983,
Nasrullah,
M.S. Kunci Memasuki Dunia Tasawuf
, Bandung : MIzan, 1996
Nata, Abduddin, Akhlak
Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996)
Netton, Ian Ricahard, A Popular Dictionary of Islam, USA :
First Published by Curzon Press, 1997
Peters, F.E., Aristotle and the Arabs , New York : New York University Press,
1986
Rahman,
Fazlur, Islam, Chicago : The
University of Chicago Press, 1979
Said, Fuad,
Hakikat Tarekat Naqsabandiyah , Jakarta : AlHusna Zikra, 1993
Syalabi, A.,
Sejarah Kebudayaan Islam, Cet.
2 Jakarta : PT. Al-Husna Zikra, 2000 , jilid I.
Syarkawi, Mu’jam
Al-Fadz Thariqah , Mesir : Mausasah Mukhtar, 1992
Syihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi
dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat,
Bandung : MIzan, 1992
Yunus, Mahmud, Kamus
Arab-Indonesia , Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1972