Selasa, 28 Juli 2015

KAJIAN HISTORIS MUNCULNYA PEMIKIRAN TEOLOGI, TASAWUF, FILSAFAT DAN FIKIH


A. Pendahuluan
Dalam konstelasi ilmu-ilmu keislaman tradisonal yang paling banyak dikaji dan mempengaruhi pemikiran keislaman di dunia Islam bahkan yang menarik untuk diteliti oleh pemiikir-pemikir barat adalah Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf, Ilmu Filsafat dan Ilmu Fikih.  Ketertarikan mereka selain karena keempat disiplin keilmuan tersebut telah mencakup seluruh aspek kehidupan dimulai dari keyakinan kepada adanya sesuatu yang ghaib ( Tuhan )  yang menguasai kehidupan manusia dan alam semesta yang dikaji melalui ilmu Kalam. Aspek pemikiran dan penalaran yang menjadi titik sentral penggunaan akal merupakan obyek kajian Filsafat,  aspek penghayatan dari pengamalan agama untuk mensucikan diri menjadi bagian kajian ilmu Tasawuf dan tatacara pengamalan agama itu sendiri yang bersifat eksoterik menjadi hak ilmu Fikih.
Keempat disiplin keilmuan Islam tradisional tersebut juga menjadi polemik yang tidak kalah menariknya untuk dicermati karena diduga sistem keilmuan tersebut sejarah munculnya tidakkah berdiri sendiri melainkan mendapat pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berbagai budaya luar Islam yang notabene memang telah lebih maju terlebih dahulu dari Agama Islam, seperti kebudayaan Yunani, Persia, agama Budha, Hindu dan Kristen.
Dalam kajian pemikiran keislaman, sejarah munculnya keempat disiplin keilmuan Islam tersebut boleh dibilang hampir bersamaan terutama pada saat terkodifiksi dan justifikasi dari umat Islam yakni pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dan putranya Al-Makmun di Baghdad karena  pada masa ini  terjadi puncak kejayaan Islam setelah melalui berbagai proses yang panjang dalam untuk mencapai kesempurnaannya.
Makalah ini akan menelusuri lebih jauh sejarah munculnya pemikiran keempat disiplin keilmuan Islam tersebut.

B.           Kajian Historis Timbulnya Pemikiran Teologi di Dunia Islam
1 ).   Defenisi Istilah Kunci : Teologi Islam, Ilmu Kalam, Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Aqaid.
 Secara etimologi kata Teologi berasal dari bahasa Yunani Theology :   “Theos” artinya Tuhan dan “Logos” artinya ilmu (science, studi, discourse). Jadi Teologi berarti ilmu tentang Tuhan atau ilmu “Ketuhanan”.1 Sehingga secara terminologi Teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu ataupun berdasarkan penyelidikan akal murni.[1]
Kata Kalam dalam bahasa Arab berarti “kata” ( baik perkataan itu sedikit atau   banyak  untuk setiap pembicaraan ) ;  perkataan,  berupa lafazh untuk mengemukakan alasan atau argumen  rasional. Menurut istilah Ulama Kalam, Ilmu Kalam adalah  ilmu yang membicarakan tentang perkataan atau Firman Allah  yang temaktub dalam Al-Qur’an apakah dia azali atau baru. Ia juga merupakan kemampuan mengemukakan dalil-dalil secara rasional dengan pembuktian yang menyerupai logika dan filsafat yang nampak melalui pembicaraan tetapi tidak diwujudkan ke dalam kenyataan atau diamalkan dengan anggota.[2]
Sedangkan kata Tauhid dalam bahasa Arab berasal dari Tawhid artinya mengesakan, meyakini bahwa Allah Swt itu Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya Dengan demikan Ilmu Tauhid berarti ilmu yang membicaraan tentang cara-cara menetapkan cara-cara menetapkan aqidah agama dengan mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan, baik berupa dalili naqli maupun dalil aqli ataupun dalil wijdani (perasaan halus).[3]
Teologi Islam, Ilmu Kalam dan Ilmu Tauhid yang merupakan istilah-istilah yang identik di atas  disebut juga dengan ilmu Ushuluddin sebab ilmu tersebut menguraikan pokok-pokok atau dasar-dasar agama. Istilah lainnya adalah ilmu Aqaid (keyakinan) karena ilmu tersebut membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan keyakinan yang harus terpatri dalam hati secara kuat. [4]

2).    Sejarah Munculnya Pemikiran Teologi dalam Islam
Teologi Islam atau Ilmu Kalam seperti yang sudah diketahui sekarang ini tidaklah timbul begitu saja secara sempurna tetapi kemunculannya melalui proses yang panjang. Ketika  Rasulullah Muhammad Saw wafat pada tahun 632 M/11 maka muncullah persoalan khilafah, yakni persoalan siapa pengganti Rasulullah sebagai pemimpin umat Islam ataupun kepala Negara. Setelah melewati perdebatan yang cukup sengit antara golongan Muhajirin, Anshar dan Bani Hasyim di balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah, akhirnya terpilihlah sahabat Abu Bakar sebagai Khalifah ( pengganti Rasulullah Saw ).
Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun ( 632-634 M ).  Setelah ia wafat kedudukannya digantikan oleh Umar bin Khattab ( 634-644 M ). Sampai pada kepemimpinan Khalifah III  Utsman bin Affan ( 644 – 656 M ) persoalan teologis di kalangan umat Islam belum muncul. Akan tetapi peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan merupakan pangkal persoalan politik yang memicu munculnya persoalan teologi dalam Islam dan puncak persoalan itu terjadi ketika umat Islam   di bawah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, Khalifah Rasyidin IV.  Pada saat Ali menjadi Khalifah ( 656 – 661 M), Ali segera mendapat tantangan  terutama Thalhah dan Zubair dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Maka terjadilah Perang Jamal tahun 656 M. Perang ini merepresentasikan antara kekuatan Ali di satu pihak dan kekuatan Aisyah     ( janda Rasulullah Saw ) di pihak lain. Perang ini berakhir dengan kemenangan Ali.
Tantangan berikutnya datang dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Damaskus dan keluarga  terdekat dengan Utsman ditambah lagi orang-orang yang telah kehilangan jabatannya karena dipecat oleh Ali diawal pemerintahannya. Mereka juga tidak mau mengakui Ali sebagai Khalifah. Mu’awiyah menuntut kepada Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Utsman bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu. Pergolakan ini berujung pada peperangan pula yang disebut Perang Shiffin. Kedua perang ini dikatakan sebagai  al-Fitnatul Kubra II.[5]
Dalam pertempuran di Shiffin tepatnya di dekat sungai Furat,[6]  Mu’awiyah dan tentaranya sudah terdesak dan hampir kalah, tetapi dengan cepat tangan kanan Mu’awiyah yaitu ‘Amr bin Ash segera mengangkat Al-Qur’an di ujung tombak sebagai tanda perdamaian. Khalifah Ali pada saat itu tidak yakin akan ketulusan Mu’awiyah melalui politisinya ‘Amr bin Ash untuk berdamai tetapi atas desakan sebagian besar pasukan Ali untuk menerima perdamaian tersebut maka Ali pun tidak dapat menolak permintaan pasukannya. Terjadilah perdamaian antara kedua pasukan yang disebut “Tahkim” atau “Arbitrase” yang mana kedua kubu mengutus ‘hakim’ masing-masing dari  pihak Mu’awiyah yaitu ‘Amr bin Ash yang dikenal ahli siasat yang ulung sedang dari pihak Ali diutuslah Abu Musa Al-Asy’ari yang dikenal sebagai orang ‘alim dan tawadhu’. Kedua utusan sepakat untuk menjatuhkan jabatan pimpinan masing-masing. Sesuai tradisi, maka yang lebih tualah yang tampil terlebih dahulu untuk mendeklarasikan penjatuhan khalifah yaitu Ali bin Abi Thalib. Kini giliran ‘Amr bin Ash berorasi untuk menjatuhkan Mu’awiyah, tetapi ternyata ‘Amr bin Ash bukanlah menjatuhkan Mu’awiyah bahkan mengangkatnya menjadi Khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.[7]
Perang Shiffin berakhir dengan kekalahan politik  di pihak Ali. Secara militer pasukan Ali lebih unggul daripada pasukan Muawwiyah. Tetapi karena kecerdasan politis Muawiyah melalui jurubicaranya Amr Bin Ash yang licik di atas maka kursi kekhalifahan secara tidak langsung diserahkan kepada Muawiyah tahun 661 M. Peristiwa ini langsung mendapat respon dari sebagian tentara Ali. Mereka memandang Ali telah berbuat salah karena telah menerima tahkim yang tidak didasarkan atas Hukum Allah. Mereka bersemboyan : La hukma illa Allah   ( tidak ada hukum selain hukum Allah ) yang menyandarkan pada ayat Al-Qur’an surah Al-Ma’idah/5 : 44 berbunyi :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.
Oleh karena sebagian pasukan Ali memandang Ali tidak melakukan keputusan berdasarkan Hukum Allah maka Ali telah  berdosa besar dam kafir.  Akhirnya mereka keluar dari barisan Ali. Golongan yang keluar dari barisan Ali inilah  dalam sejarah Islam dikenal dengan nama al-Khawarij berasal dari kata kharaja    ( keluar ), yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri. .  Sedangkan pasukan yang masih setia mengikut  Ali disebut Syi’ah. Khawarij memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam  Tahkim telah kafir termasuk Mu’awiyah, Amr bin ‘Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari. Kemudian mereka merencanakan pembunuhan terhadap keempatnya. Tetapi yang berhasil dibunuh hanyalah Ali.
Dalam perkembangan selanjutnya muncul aliran teologi Murji’ah yang berpandangan bahwa orang yang berdosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosanya terserah Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Kaum Mu’tazilah sebagai aliran ketiga berbeda pula dengan pendapat-pendapat di atas. Mu’tazilah berpendirian bahwa orang-orang yang berdosa besar tidaklah disebut mukmin dan tidak pula disebut kafir. Posisinya berada diantara mukmin dan kafir,yaitu fasiq.  Mereka mengistilahkannya dengan al-Manzilah bain al-Manzilatain ( posisi diantara dua posisi ).
Keadaan seperti ini membuka peluang  ke arah penakwilan Al-Qur’an dan Hadits. Bersamaan dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam dimana  pemeluk-pemeluk agama lain memeluk agama Islam  namun cara berpikir  mereka masih dipengaruhi oleh unsur-unsur kepercayaan yang pernah mereka anut. Muncullah polemik tentang persoalan Kadar Allah sehingga  menimbulkan dua aliran besar dalam konstelasi pemikiran teologi Islam  tersebut, yaitu Kadariah dan Jabbariyah.[8]
Kaum Mu’tazilah yang terpengaruh  oleh penggunaan rasio atau  akal untuk berpikir yang dibawa kebudayaan Yunani,  mendapat sokongan dari Khalifah Bani Abbasiyah di Baghdad bahkan dikatakan alirannya dinobatkan sebagai  mazhab resmi negara. Hal ini berdampak pada corak pemikiran mereka khususnya di bidang Tauhid yang mendahulukan penggunaan nalar meskipun tidak meninggalkan wahyu. Dikarenakan telah menjadi aliran resmi Negara, maka kum Mu’tazilah  menyiarkan ajaran-ajaran itu secara paksa, terutama tentang paham mereka yang memandang Al-Qur’an sebagai makhluk dalam arti Al-Qur’an itu baru atau diciptakan. Pada masa Khalifah Al-Makmun sebutan Ilmu Kalam lahir untuk suatu disiplin yang berdiri sendiri, sebagaimana dikenal sekarang.
Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagaimana tergambar di ataslah akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dalam Islam persoalan yang pertama sekali muncul adalah dalam bidang politik bukan bidang teologi.[9] Atau faktor  politik telah menyebabkan munculnya pemikiran teologi dalam Islam. Dan jika ditelusuri lebih dalam maka bukan saja faktor politik  yang menyebabkan munculnya pemikiran teologi tetapi juga faktor psikologis, dalam arti tidak terakomodasinya berbagai  kepentingan dalam kepemimpinan Islam khususnya di masa Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi pada masa Khalifah Utsman yang berakhir dengan terbunuhnya Utsman oleh sekelompok orang yang sampai saat ini tidak diketahui juga turut mempengaruhi munculnya pemikiran teologi dalam Islam.

C . Kajian Historis Munculnya Pemikiran Tasawuf Dalam Islam
1 ).   Defenisi Istilah Kunci : Tasawuf, Sufi, Tarekat
Istilah Tasawuf dalam Islam berasal dari berbagai kata yang dapat dikelompokkan asal usulnya kedalam dua kelompok, yaitu : Pertama, berasal dari bahasa Arab, yaitu :
1.      Saff,  berarti barisan,
2.      Suf artinya wol atau kain bulu kasar,..
3.      Safa atau safw artinya bersih atau suci,
4.      Suffah artinya pelana. Suffah juga berarti suatu kamar di samping Masjid Nabawi yang disediakan untuk para sahabat Nabi Saw  golongan muhajirin yang miskin. Penghuni suffah ini disebut ahl as-suffah.
Kedua, berasal dari bahasa Yunani, yaitu Theosophi ( theo artinya Tuhan dan sophos artinya hikmat ) sehingga Theosophi berarti hikmat ketuhanan. Merujuk pada asal usul dari bahasa Yunani ini dikatakan bahwa Tasawuf banyak membicarakan masalah ketuhanan.[10]
Dari segi istilah, tasawuf dapat didefenisikan dari tiga sudut pandang. Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan.
Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka tasawuf dapat didefenisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia akan memusatkan perhatian hanya kepada Allah. Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan adalah pandangan bahwa manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefenisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Dan jika sudut pandang yang digunakan adalah manusia sebagai makhluk bertuhan, maka tasawuf dapat didefenisikan sebagai keadaan fitrah (perasaan percaya kepada Tuhan) yang dapat mengarahkan jiwa agar selalu tertuju pada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.[11]
Kata Sufi atau Sufiah diartikan sebagai orang yang selalu mengamalkan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, Sufi berarti orang yang telah mensucikan hatinya dengan mengingat Allah ( dzikrullah ), menempuh jalan kembali kepada Allah dan sampai pada pengetahuan hakiki ( ma’rifah ).[12]
Kata Tarikat berasal dari kata al-Tariq yang berarti jalan, cara, garis, kedudukan, keyakinan dan agama.[13] Menurut istilah Tarekat upaya untuk memperoleh berkah dan keutamaa dengan cara mengurangi ketergandungan kepada kehidupan dunia dan senantiasa mengikatkan diri kepada Allah dengan mencerminkan sikap tawadhu’ dalam segala hal seperti dalam perkataan dan perbuatan.[14]
2 ). Sejarah Munculnya Pemikiran Tasawuf Dalam Islam
Secara historis cikal  bakal Tasawuf sebenarnya sudah ada sejak Rasulullah Muhammad Saw masih hidup. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi sendiri. Perilaku Nabi Saw sebelum diangkat menjadi Rasul beliau sering berkhalwat atau tahannus di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan dimana Nabi berzikir dan bertafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pengasingan Nabi Saw di Gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan kegiatan tasawufnya. Puncak kedekatan Nabi Saw sebagai pengalaman Tasawuf tertinggi dialaminya pada peristiwa bersejarah dalam Islam yaitu Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw dimana Nabi Saw telah menemui Allah di Sidratil Muntaha dan melakukan dialog langsung di langit ketujuh itu.
Dalam hal ibadah, Rasulullah Saw adalah orang yang paling tekun dan khusyu’ dalam shalatnya dan dalam pribadi Nabi Saw tertanam kepribadian yang mulia yang tak ada bandingannya. Allah Swt sendiri memuji akhlak Nabi Saw yang tertulis dalam Al-Qur’an surah Al-Qalam/68 : 4 yang artinya : “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.[15]
Begitu juga sahabat besar Nabi yaitu  Khalifah Rasyidin ( Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ) mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw dalam perilaku, ibadah dan kepribadiannya sampai pula keteladanan Nabi masih melekat pada jiwa para sahabat kecil diantaranya Abu Hurairah, Abu Zar al-Ghiffari, Salman al-Farisi,  Mu’az bin Jabal, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan lain-lain. Tetapi situasi berubah ketika terjadi konflik-konflik politik yang bermula dari pembunuhan Utsman bin Affan dan mencapai puncak persoalan politik terjadi pada masa Khalifah Ali seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Mu’awiyah bin Sufyan menggantikan kedudukan Ali sebagai Khalifah pada tahun 661 M/41 H.  Mu’awiyah menerapkan sistem pemerintahan monarchi ( kerajaan ) yang kepemimpinannya dilaksanakan secara turun temurun. Selain itu Mu’awiyah sebagai Khalifah tampaknya juga sudah jauh dari tradisi kehidupan Rasulullah Saw  dan para sahabat. Keluarga istana lebih banyak hidup bermewah-mewah dan jauh dari kehidupan religius. Apalagi setelah jabatan Khalifah diturunkan kepada putranya Yazid ( 680 M/61 H – 683 M/64 H ) yang dikenal sebagai khalifah yang tidak memperdulikan ajaran-ajaran agama bahkan dikenal sebagai seorang pemabuk melancarkan kekejamannya dengan melakukan pembunuhan terhadap cucu Rasulullah Saw Husein bin Ali dengan memenggal kepalanya di Karbala, Irak. Dengan sistem monarchi ini khalifah-khalifah Bani Umayyah bebas melakukan kezaliman-kezaliman terutama terhadap kelompok Syi’ah yang sejak peristiwa Tahkim sebagai kelompok yang menentang Mu’awiyah.
Situasi konflik politik dan perubahan kehidupan sosial yang sedemikian itu membuat kaum muslimin hidup menjauhi konflik dan berbagai bentuk kezaliman yang akan menimpa mereka lebih jauh dalam bentuk pengasingan diri dan mengisi kehidupan sepenuhnya dengan ibadah, zikir, hidup zuhud, sederhana dan  saleh.  Gerakan ini dapat dicermati pada tiga bentuk, yaitu :
1)      Kelompok yang mengasingkan diri dikarenakan adanya rasa penyesalan dari golongan syi’ah sebab merasa telah mengkhiati Husein bin Ali dan memberi dukungan kepada pihak yang melawan Husein, yaitu Mu’awiyah.  Mereka menyebut kelompoknya dengan Tawwabun ( kaum tawabun atau kaum yang bertaubat ) dengan membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan melalui kehidupan ibadah sepenuhnya.
2)      Kelompok yang menghindari konflik dan beroposisi dengan rezim Bani Umayyah yang telah jauh dari perilaku religius dan kesederhanaan keempat Khalifah Rasyidin yang diwakili oleh tokoh sufi terkenal Hasan al-Bashri di Basra ( 642 – 728 M ). Ia dibesarkan dalam asuhan Ali bin Abi Thalib. Hasan al-Bashri masyhur dengan kezuhudannya yang berlandaskan Khauf dan Raja’. Al-Bashri mengajarkan : “Jauhilah dunia ini karena ia sebenarnya serupa dengan ular, licin pada perasaan tangan tetapi racunnya mematikan”[16]
3)      Kelompok yang  melaksanakan kegiatan ‘uzlah dan zuhud sebagai reaksi terhdap paham al-Khawarij dalam bentuk isolasionisme yang mengajarkan orang untuk berlepas tangan dari kegiatan politik, administrasi pemerintahan dan masalah-,asalah umum masyarakat.[17]
Dengan demikian jelaslah bahwa pemikiran dan praktek Tasawuf dalam Islam secara historis juga dilatarbelakangi oleh faktor-faktor politik dengan tujuan untuk menghindarkan konflik dengan penguasa terutama dengan Khalifah Bani Umayyah. Faktor psikologis juga turut menjadi pemicu  munculnya gerakan tasawuf ini yakni rasa penyesalan terhadap kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan dan  untuk menjauhkan diri dari kezaliman-kezaliman yang dilancarkan oleh penguasa Bani Umayyah.

D.    Kajian Historis Munculnya Pemikiran Filsafat Dalam Islam
1 ).   Defenisi Istilah Kunci : Filsafat, Filsafat Islam, Al-Hikmah
Kata filsafat atau falsafat sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yaitu : “philosophia” yang terbentuk dari “philos” yang berarti cinta dan “sophia” yang berarti pengetahun. Jadi “philosophia” bermakna cinta kepada pengetahuan. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut  philosophos atau failasuf[18]
Dari defenisi filsafat secara etimologis tersebut dapat dikembangkan pengertiannya secara termonologis. Jujun S. Suriasumantri menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan filsafat adalah suatu aktivitas berpikir yang memiliki karakteristik menyeluruh, mendasar dan spekulatif. Filsafat menurut Sidi Gazalba  adalah berpikir secara mendalam, sistematis, radikal dan universal dalam mencari kebenaran, inti atau hakikat segala sesuatu yang ada.[19]
DR. Ahmad Fuad Al-Ahwani mengemukakan bahwa filsafat Islam ialah pembahasan yang meliputi berbagai soal alam semesta dan bermacam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya ajaran Islam,[20]   DR. Ibrahim Madkour berpendapat bahwa filsafat Islam adalah segala studi filsafat yang ditulis di dalam dunia Islam, baik penulisnya seorang muslim, nasrani maupun yahudi. [21]
Menurut Syekh Mustafa Abdurraziq Al-Hikmah merupakan terminologi dalam Al-Qur’an yang sepadan dengan filsafat. Al-Hikmah menurut bahasa artinya mencegah, dalam arti mencegah manusia dari perbuatan zalim.[22] Syekh Muhammad Abduh mendefenisikan Hikmah sebagai mengetahui rahasia dan faedah di dalam tiap-tiap hal.[23]

2 )   Sejarah Munculnya Pemikiran Filsafat Dalam Islam
Berdasarkan fakta sejarah Filsafat muncul di dunia Islam setelah mengalami interaksi dengan filsafat Yunani  yang dijumpai kaum muslimin pada abad ke-8 M atau abad ke-2 H. terutama interaksi dengan pemikiran Aristoteles. Seseorang yang membawa pemikiran Aristoteles ke dunia muslim tidak lain adalah Alexander Yang Agung, Raja Macedonia ( 336-323 SM ) yang melakukan ekspansi ke dunia timur  pada abad ke 4 SM. Politik Alexander untuk  menyatukan kebudayaan Yunani dengan kebudayaan Persia telah meninggalkan bekas besar di daerah-daerah yang pernah dikuasainya dan timbullah pusat-pusat kebudayaan Yunani di timur, seperti Alexandria di Mesir, Antioch di Suria, Jundisyapur di Messopotamia dan Bactra di Persia.[24]
 Meskipun pemikiran Aristoteles yang banyak dipelajarari oleh dunia Islam tetapi yang sampai ke orang-orang  muslim sudah tidak orisinil lagi melainkan sudah mengalami tafsiran-tafsiran dari orang lain terhadap ajaran Aristoteles. Menurut F.E. Peters, paham Kristen-lah yang telah mencuci  bersih tendensi eksistensial filsafat Yunani tersebut.[25] Oleh karenanya pemikiran Aristoteles yang berpengaruh bagi dunia Islam  lebih tepat disebut Aristotelianisme.
Ajaran Plotinus ( 205-270 M )  tentang Enneades, yaitu ajaran filsafat yang menjelaskan tentang terjadinya pelimpahan dari Yang Satu ( supreme in material force ) sangat berpengaruh bagi filosof muslim terutama bagi al-Farabi. Tetapi Plotinus yang note bene adalah filosof  yang memperoleh pendidikan di Alexandria ( Iskandariyah ), Mesir,  pemikiran filsafatnya sebenarnya banyak diilhami oleh Plato ( 427-347 SM ). Pemikiran  filsafat yang merupakan sintesa ajaran Plotinus dan Plato ini melahirkan filsafat Neoplatonisme. Terlepas dari persamaan dan perbedaan ketiga pemikiran filsafat tersebut, yang pasti ketiganya mempengaruhi pemikiran di dunia muslim[26]
Terjadinya kontak kaum muslimin dengan filsafat Yunani tersebut terjadi dalam dua tahap, yaitu :
Pertama,  kontak kaum muslimin dengan filsafat Yunani secara individu yang dilakukan sejak zaman Rasululaah Saw masih hidup.  Filsafat masuk ke dunia Islam dibawa oleh ahli-ahli pikir Islam yang mempelajari kebudayaan dan filsafat Yunani..  Ahli-ahli pikir Islam yang pernah belajar dari pusat-pusat kebudayaan Yunani  diantaranya adalah : al-Harits bin Kaldah ats-Ttsaqafi, seorang sahabat Nabi Saw yang mempelajari ilmu kedokteran di  Jundisyapur dan dikenal sebagai seorang dokter arab.[27] Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah ( 680 – 683 M ) dan Ja’far al-Shadiq ( 700 – 765 M ) juga sempat mendalami ilmu kimia[28] Bahkan Marwan bin Hakam, salah seorang Khalifah Bani  Umayyah  yang    ke 4   ( 683 – 685 M ) pernah memerintahkan agar buku kedokteran karya Harun, seorang dokter dari Alexandria, Mesir agar diterjemahkan dari bahasa suryani ke bahasa arab.[29] Masa inilah kontak pertama yang terjadi antara kebudayaan Yunani ( filsafat Yunani ) dengan dunia Islam. Sungguh menarik untuk  diketahui bahwa pada masa-masa awal  perkembangan filsafat,  ilmu pengetahuan dan cabang-cabangnya  masih merupakan bagian dari filsafat itu sendiri. Berbagai macam ilmu seperti fisika, astronomi, ilmu bumi, matematika, sejarah, kedokteran  lebih populer disebut dengan disebutlah filsafat fisika, filsafat astronomi, filsafat geografi, filsafat matematika, filsafat sejarah dan filsafat kedokteran, sehingga tidak salah dikatakan bahwa ilmu kedokteran yang dipelajari al-Harits bin Kaldah ats-Saqafi dan ilmu kimia yang dipelajari Yazid bin Mu’awiyah dan Ja’far al-Shadiq juga berarti bahwa mereka mempelajari filsafat.
Kedua, kontak kaum muslimin dengan filsafat Yunani secara kolektif dikarenakan umat Islam telah menguasai daerah-daerah yang ditaklukkan kaum muslimin   ( Futuhat )  seperti Suriah, Palestina, Mesir, Messopotamia dan Persia pada pertengahan abad VII M. Kota-kota yang merupakan  pusat-pusat kebudayaan Yunani tersebut jatuh ke pangkuan kaum muslimin sejak masa Khalifah Umar bin Khattab. Damaskus, ibu kota Suria dikuasai pada tahun 635 M, Messopotamia dan Persia jatuh pada tahun  637 M Alexandria, ibu kota Mesir dan juga Palestina jatuh pada tahun 641 M.[30] Kontak yang intensif antar dua kebudayaan ( Islam dan Yunani ) itu memang mendapat justifikasi dari Al-qur’an dan Hadits yang memberikan kedudukan  tinggi pada akal.  Al-Qur’an medorong manusia untuk  mempergunakan akalnya dengan cara memikirkan   ( (   ﺗﻔﮝﺭ   memperhatikan  (   ﺗدﺑﺭ  ), memahami (   ﺗﻔﻗﮫ     ), mengamati  dan meneliti (   ﺗﺑﺼﺭ   ) alam semesta.[31]
Demikianlah awal mula terjadinya kontak atau interaksi antara kebudayaan Yunani      ( filsafat Yunani ) dengan dunia muslim.  Puncak dari perkembangan filsafat dalam Islam terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid ( 785 – 809 M )   dan puteranya Al-Makmun ( 813 – 833 M ). Pada masa ini utusan-utusan dikirim ke Kerajaan Bizantium untuk mencari manuskrip yang kemudian dibawa ke Bagdad untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Untuk keperluan penerjemahan itu Al-Makmun mendirikan Bait Al-Hikmah di Baghdad.[32] Dari sinilah lahir filosof-filosof muslim kenamaan diantaranya Al-Kindi ( 801-866 M ), Al-Farabi ( 872-950 M), Al-Ghazali ( 1058-1111 M), Ibnu Sina         ( 980-1036 M ) dan lain-lain.

E.  Kajian Historis Munculnya Pemikiran Hukum Islam
1 ). Defenisi  Istilah Kunci : Fikih, Syariat, Ad-Din
Hukum Islam, atau yang lebih populer dikenal dengan Fikih berasal dari bahasa Arab “Faqiha – yafqahu – fiqhan – fiqh “,  secara bahasa berarti mengerti, paham, pintar,[33] dalam arti pengertian atau pemahaman yang mendalam yang menghendaki pengerahan potensi akal. Dalam pengertian yang lebih konkrit Fikih adalah mengetahui hukum-hukum Islam ( syarak ) yang bersifat amali ( amalan ) melalui dalil-dalil yang terperinci.[34]
Dari defenisi tersebut dapat dipahami bahwa fikih merupakan aktivitas akal untuk memahami Syarak atau Syariah. Kata Syariah dalam pengertian aslinya adalah “jalan menuju sumber air”[35] Kita tahu bahwa jasmani manusia bahkan seluruh makhluk hidup sangat membutuhkan air  demi kelangsungan hidupnya. Ruhani pun, demikian M. Quraish Syihab berkata, membutuhkan air kehidupan, [36] yakni air kehidupan yang dibutuhkan untuk kebahagian di dunia dan  akhirat. Itulah Syariah.  Terkadang Syariah  juga diartikan dengan Hukum   Selanjutnya, istilah dalam Al-Qur’an yang identik dengan Syariah adalah Ad-Din. Secara harfiah Ad-Din berarti  kepatuhan ; ketaatan, yakni kepatuhan dan ketaatan kepada Pembuat Syariah atau Pembuat Hukum, yaitu  Allah SWT. Dari ketiga istilah tersebut             ( Syariah, Ad-Din dan Fiqh ), Fazlur Rahman mengatakan bahwa Syariah dan Ad-Din adalah identik dan bisa saling dipertukarkan selama menyangkut kandungan agama dan Ad-Din adalah esensi dari Syariah. Tetapi sedikit ada perbedaan diantara keduanya : kalau Syariah merupakan penentuan jalan dan subyeknya sendiri adalah Tuhan, maka Ad-Din adalah tindakan mengikuti jalan tersebut dan subyeknya adalah manusia. Sedangkan Fiqh merupakan metode untuk menjelaskan Syariah dengan cara memahaminya lewat akal ( nalar ). Al-Qur’an dan Sunnah  merupakan sumbernya.[37]

2 ).  Sejarah Munculnya Pemikiran Hukum Islam
 Hukum Islam seperti yang kita pahami sampai sekarang ini dengan istilah Fiqh Islam tidaklah tumbuh menjadi sempurna sekaligus apalagi sampai ia menjadi sebuah disiplin ilmu yang membatasi diri hanya pada persoalan hukum : halal, haram, sunnah, makruh, mubah, sah dan batal . Sesungguhnya ia melewati beberapa tahap untuk mencapai pada tataran itu.
Pada zaman Rasulullah Muhammad Saw masih hidup sebenarnya sudah tumbuh apa yang disebut dengan Fikih. Akan tetapi Fikih pada mulanya mencakup segala yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, Al-Qur’an dan Hadits berfungsi untuk menjelaskan Syariah, jalan yang ditetapkan oleh Tuhan, Hukum dan Undang-Undang-Nya. Hukum dan Undang-Undang Tuhan tersebut dibumikan oleh para Nabi dan Rasulullah Saw sebagai Utusan Tuhan pengemban Risalah-Nya dalam bentuk Ad-Din. Meskipun  Fikih pada dasarnya merupakan sebuah aktivitas memahami Syariah tetapi pemahaman Rasulullah Saw bersumber pada Al-Qur’an dan Hadts pula. Sehingga dapat dikatakan tidak ada yang menyimpang dari jalan yang benar Fikih yang ditetapkannya. Ketetapan hukum dalam arti pola pengaturan masyarakat yang meliputi segala aspek kehidupan individu dan kelompok baik dalam ibadah, jihad, pidana, waris, wasiat, pernikahan, sumpah, peradilan dan segala hal yang dicakup oleh ilmu fikih,  secara fungsional baru dilakukan oleh Rasul setelah hijrah ke Madinah. Sedangkan pada saat sebelum hijrah atau periode Mekkah, jikapun dapat dikatakan hukum, ketetapan hukumnya lebih berorientasi pada perbaikan akidah atau tauhid, soal kepercayaan adanya Allah, penolakan syirik, hal-ihwal azab dan nikmat dihari kemudian serta urusan-urusan kebaikan.
 Karakteristik risalah Rasul ini merupakan tanda-tanda turunnya ayat-ayat Al-Qur’an periode Makkiyah. Sedangkan ayat-ayat Hukum kebanyakan diturunkan pada periode Madaniyah.[38] Lebih jelasnya dapat dikatakan bahwa proses pembentukan hukum pada masa kerasulan ( periode Makkah dan Madinah ) berjalan bersama kenyataan  bahwa kaum muslimin apabila menghadapi suatu masalah yang menghendaki penjelasan hukumnya, mereka langsung mempertanyakannya kepada Rasul. Terkadang Rasul memberi fatwa dengan wahyu yang diturunkan Allah atau dengan Hadits dan terkadang pula Rasul menjelaskan hukum  lewat perbuatannya atau sebagian mereka melakukan suatu perbuatan lalu Rasul menyetujuinya. Disini Rasul berperan sebagai  Sahib at-Tasyri’ ( pemegang Syariat ). Kedudukan Rasulullah Saw sebagai pemegang Syariat  atau pemutus perkara ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surah An-Nisa/4 : 65 sebagai berikut :
Ÿ فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمَا
Artinya :  “Maka demi Tuhanmu, mereka ( pada hakikatnya ) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam  hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.[39]
Setelah Rasulullah Saw wafat, tidak ada lagi tempat bertanya tentang hukum terhadap suatu masalah yang tidak diatur secara  tegas dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, maka mulailah sahabat ( Khalifah Rasyidin ) memberanikan diri untuk berijtihad. Motivasi  berijtihad sebenarnya dikarenakan pada masa ini wilayah kekuasaan Islam sudah semakin luas telah mencapai semenanjung Arabia, Syiria, Mesir, Persia, Palestina dan Irak dimulai sejak Khalifah Rasyidin II Umar bin Khattab.  Persoalan hukum menjadi  semakin kompleks yang disebabkan oleh struktur masyarakatnya yang heterogen dan adanya persentuhan Islam dengan tradisi dan budaya baru. [40] Lebih-lebih pada masa Khalifah Usman bin Affan dimana para sahabat Nabi sudah berpencar ke daerah-daerah futuhat        ( taklukkan ). [41]
 Hal ini mengakibatkan meluasnya usaha periwayatan Hadits dan usaha pendalaman Al-Qur’an serta penggalian hukum-hukum yang mereka butuhkan dari kedua sumber itu. Mengenai penggalian hukum berdasarkan Hadits, tak jarang para sahabatpun satu sama lain berbeda. Satu Hadits terkadang dinilai shahih oleh sebagian sahabat sedang sebagian yang lain menilainya tidak shahih.[42] Pada masa inilah dimulai penggunaan  Ra’yu  ( pendapat ) dan Qiyas dalam berijtihad terutama diterapkan oleh sahabat Nabi Umar bin Khattab dan Ibnu Mas’ud.
Maka muncullah golongan-golongan yang saling berbeda dalam menetapkan hukum, yakni golongan Ahlur Ra’yi dan Ahlul Hadits. Julukan Ahlur Ra’yi dan Ahlul AHadits yang sebenarnya disandang oleh para Tabi’in.  Ibrahim An-Nakha’i adalah Ulama  Ahlur Ra’yi yang terkemuka di Kufah. Ia adalah murid dari Alqamah bin Qais yang berguru pada Ibnu Mas’ud.[43]   Ibrahim An-Nakha’i adalah guru dari Hammad  bin Abu Sulaiman gurunya Imam Abu Hanifah, yang nantinya sebagai pendiri Mazhab Hanafi. Sedangkan Ulama Ahlul Hadits disandang oleh Sayyid bin Al-Musayyab, Ulama terkemuka di Madinah, menantu sahabat  Rasul Abu Hurairah.[44]
Demikianlah, Fikih Islam mulai terbentuk dan sumber-sumbernya, yakni Al-Qur’an, Sunnah, Qiyas dan Ijma’ mulai diketahui. Meskipun demikian gencarnya persoalan-persoalan hukum dan proses penetapannya oleh para sahabat di masa Khalifah Rasyidin sampai pada masa Bani Umayyah namum Fikih  belum juga merupakan bidang ilmu yang terkodifikasi.
Kodifikasi ilmu Fikih dimulai pada masa Khalifah Bani Abbasiyah oleh murid-murid  sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah ( pendiri Mazhab Hanafi ). Abu Hanifah         Nu’man bin Tsabit  (699 M/80 H – 767 M/150 H )  menjadi terkenal karena kedalamannya dalam ilmu Tafsir dan Hadits dan penguasaannya terhadap Hukum-Hukum Islam ( Fikih ). Ia diangkat menjadi Mufti di kota Kufah ( Irak ) menggantikan Imam Ibrahim An-Nakha’i. Ia tergolong Ulama Ahlur Ra’yi karena ia lebih banyak menggunakan akal ( nalar )dalam bentuk Qiyas  daripada Ijma’ Ulama. Selain itu ia berguru kepada muridnya Imam Ibrahim An-Nakha’i, tokoh Ahlur Ra’yi pula dan  jika diteruskan silsilah keguruannya akan sampai pada Ibnu Ma’ud dan Umar bin Khattab. Imam Abu Hanifah meninggalkan karya berupa kitab-kitab diantaranya : al-Faraid ( membicarakan masalah waris ), asy-Syurut                  ( membahas mengenai perjanjian ) dan al-Fiqh al-Akbar ( membahas ilmu kalam atau teologi dan diberi syarah oleh  Imam al-Maturidi dan Imam Abu al-Muntaha).[45]
Murid-murid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah yang terkenal adalah  Imam Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari ( 113-182 H ) dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (132-189 H ). Imam Abu Yusuf-lah orang yang pertama menyusun kitab dan dianggap yang melanggengkan Mazhab Hanafi. Kitab yang disusunnya antara lain :
Mazhab kedua yang hidup sesudah Hanafi adalah Mazhab Maliki yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas ( 716 M/94 H – 795 M/179 H ). Ia lahir dan dibesarkan di Madinah. Sebuah kota tempat Rasul hijrah yang dikenal Kota Sunnah. Dalam riwayatnya ia tidak pernah keluar ( hijrah )  dari kota itu, sehingga ia tahu benar mengenai Sunnah Rasulullah Saw yang dianut orang-orang Madinah. Oleh karena itulah dalam memutuskan suatu perkara hukum setelah Al-Qur’an dan Hadits, ia mendasarkan diri pada Praktek penduduk Madinah (Amal ahli al-Madinah) , Fatwa Sahabat,  Qiyas dan al-Maslahah al-Mursalah.  Karya Imam Malik yang terkenal adalah al-Muwaththa’ ( jalan yang rata ), merupakan Kitab Hadits dan Fikih sekaligus. [46]
Demikianlah Mazhab Imam Malik, namun sebagaimana yang berlaku pada Mazhab Hanafi, Mazhab ini juga  yang mengembangkan dan mengkodifikasikan menjadi sebuah ilmu adalah para muridnya yang terkenal diantaranya Abdurrahman bin Al-Qasim  yang menulis Kitab Al-Mudawanah , Abu Muhammad Abdullah bin Wahhab termasuk Imam asy-Syafi’i. Filosof Ibnu Rusyd pengarang Kitab Bidayat al-Mujtahid juga termasuk pengikut Imam Malik [47]
Berikutnya muncul pula Mazhab Syafi’i yang didirikan oleh Muhammad Idris asy-Syafi’I ( 767 M/150 H – 820 M/204 H ).  Kitabnya yang terkenal adalah al-Umm ( Induk Kitab ) yakni sebuah kitab fikih yang komprehensif ). Dasar-dasar dalam penetapan hukum Mazhab asy-Syafi’i ada 5 ( lima ), yaitu : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istidlal ( penalaran ). [48]
Terakhir Mazhab dalam bidang Fikih ( Hukum Islam ) adalah Mazhab Hambali dengan pendirinya bernama Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal ( 780 M/164 H – 855 M/241 H ). Ia adalah murid dari Imam Syafi’i yang tertua dari kalangan orang-orang Baghdad. Ia juga belajar pada Imam Abu Yusuf, muridnya Imam Hanafi.  Dasar-dasar penetapan hukum pada Mazhab Hambali ini adalah : Nash (Al-Qur’an dan Hadits    Marfu’ ),  Fatwa Sahabat, Hadits Mursal serta Hadits Dhaif, dan  Qiyas . [49]  
Dari landasan hukum tersebut tampak bahwa Imam Ahmad lebih mendahulukan Hadits Mursal dan Dhaif daripada Qiyas. Hal ini mengisyaratkan bahwa ia memang seorang yang tergolong Ulama Ahlul Hadits. Kitab Hadits terkenal yang  disusunnya adalah Musnad  Ahmad ibn Hambal. Imam Ahmad bin Hambal tidak ada menulis kitab dalam bidang Fikih, kecuali beberapa catatan yang tidak disebarluaskan. Murid-murid Imam Ahmad diantaranya anaknya sendiri Saleh bin Ahmad dan Abdullah bin Ahmad. Muridnya yang lain adalah, Abu Bakar al-Asram, Abdul Malik al-Maimuni dan Abu Bakar al-Marwazi. Dari murid-murid Imam Hambali ini, fikih Ahmad bin Hambal dibukukan oleh Abu Bakar al-Khalal. Muridnya yang lain yang tak dapat dilupakan adalah Imam perawi hadits yaitu Imam Bukhari, Imam Muslim dan  Imam Abu Daud.[50]
Sebagai penutup dalam kajian historis munculnya Hukum Islam ini, perlu kita simak apa yang dikatakan oleh Fazlur Rahman, yaitu bahwa dasar sesungguhnya dari seluruh struktur Hukum Islam yang sudah  dibahas di atas adalah ide bahwa Tuhan adalah Penguasa Yang Berdaulat yang ‘Perintah dan Kehendaknya adalah Hukum’. Dari tataran ini bisa kita pahami bahwa untuk maksud ide itu,  Hukum Islam  lebih merupakan sebuah sistem kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan daripada kode hukum yang spesifik. Itulah sebabnya setiap buku tentang Hukum Islam selalu dimulai dengan pembahasan tentang kewajiban-kewajiban agama dan secara etis tindakan-tindakan manusia diklasifikasikan dalam lima kategori : Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh dan Haram.[51]

F.  PENUTUP
Dari keempat disiplin  Keilmuan Islam Tradisional di atas yakni  Kajian Teologi          ( Ilmu Kalam ), Kajian Ilmu Filsafat, Kajian Ilmu Tasawuf dan Ilmu Fikih tampak dengan jelas bahwa sejarah muncul  keempatnya di dunia Islam sangat kompleks dan berjalin berkelindan. Hal ini barangkali disebabkan karena orientasi bidang keilmuan para tokoh-tokoh muslim berbeda-beda sehingga melahirkan tokoh-tokoh keilmuan yang berbeda-beda pula.   Tokoh Ilmu Kalam disebut Ulama Kalam ( Mutakallimin ), tokoh Tasawuf disebut Sufi, tokoh filsafat disebut Filosof dan tokoh fikih disebut Faqih.  Kemunculan tokoh-tokoh di atas dalam bidangnya pada dasarnya hampir bersamaan yaitu pada masa puncak kejayaan Islam Bani Abbasiyah ( 750 M/ 132 H - 1258 M/656 H ) di Baghdad.
Bila dicermati secara mendalam dari keempat disiplin Keilmuan Islam tersebut tampak jelas sisi-sisi perbedaannya. Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya secara rasional pada segi-segi mengenai Tuhan dan derivasinya dengan tetap lebih mengutamakan pada wahyu, Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengalaman keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya bersifat esoterik, Filsafat menggarap segi-segi spekulatif dengan kecenderungan kepada metode interpretasi metaforis kepada teks-teks suci dan Ilmu Fikih merupakan disiplin dengan bidang garapan segi-segi eksoterik ( lahiriah ) agama terutama aspek hukum dari amalan keagamaan.[52]
*Makalah  dipresentasikan pada Mahasiswa  PPs S.2  IAIN Sumatera Utara Tahun 2008.
*Penulis saat ini menjadi  Dosen Pendidikan Agama Islam Yayasan Universitas Labuhanbatu (Y-ULB) Rantauprapat




1 A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1980), h. 11.
[1] Ibid, h. 12.
[2] Taufik Abdullah, dkk ( Ed. ), Ensiklopedi Islam,  ( Jakarta : PT. Ichtiar Van Hoeve, 2002 ), jilid  II, h. 345-346.
[3] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam ( Jakarta : Bulan Bintang,    1973 ), h. 1.
[4] Abdullah, dkk (ed.), Ensiklopedi, jilid V, h. 91.
[5] Menurut Nurcholish Madjid, al-Fitnatul Kubra I terjadi pada peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan. Lihat Nurcholish Madjid, “Menegakkan Faham Ahlus Sunnah Wal-jama’ah Baru” dalam Haidar  Bagir    ( Peny.), Satu Islam Sebuah Dilema, ( Bandung : Mizan, 1992 ), h. 14.
[6] Ibn Atsir, Al-Kamil fi al-Tarikh, ( Beirut : Daar al-Ashwar, 1965 ), h. 108.
[7] A. Syalabi,  Sejarah Kebudayaan Islam, Cet. 2  (  Jakarta : PT. Al-Husna Zikra, 2000 ), jilid I, h. 300-302.
[8] Aliran Kadariyah berpendirian bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dalam arti perbuatannya tidak ditentukan oleh Tuhan ( free will and free act ). Tokoh pendiriya adalah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Al-Dimasyqi.  Sedangkan Aliran atau paham Jabbariyah berpendapat bahwa semua perbuatan  atau kehendak manusia ditentukan oleh Tuhan. Tokoh pendirinya adalah  Al-Ja’d  Ibn Dirham dan Jahm Ibn Safwan. Lihat  Harun  Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya , ( Jakarta : UI-Press, 1985 ), jilid II, h 37..
[9] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan  (  Jakarta : UI-Press, 1986 ), h. 1.
[10] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hal. 56.
[11] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf  (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 181
[12] M.S. Nasrullah, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf ( Bandung : MIzan, 1996 ), h. 289.
[13] Fuad Said, Hakikat Tarekat Naqsabandiyah ( Jakarta : AlHusna Zikra, 1993 ), h. 1.
[14] Syarkawi, Mu’jam Al-Fadz Thariqah ( Mesir : Mausasah Mukhtar, 1992 ), h. 200.
[15] Taufik Abdullah, dkk ( Ed. ), Ensiklopedi,     h. 77-78.
[16] Ibid, h. 82.
[17] Fazlur Rahman, Islam, ( Chicago : The University of Chicago Press, 1979 ), h. 180.
[18] Ahmad  Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam ( Jakarta : Bulan Bintang, 1996 ), h. 3
[19]  Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Cet. 2, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1967 ), jilid I, h. 15.
[20] Ahmad Fuad Al-Ahwani, Al-Falsafatul Islamiyah ( Kairo : Daar al-Qalam, tp.tt ), h. 5.
[21] Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyah, ( Kairo : Isa al-Halaby, 1947 ), h. 5.
[22] Ibnu Manzur, Lisan al-Arab ( Beirut : Dar as-Sadir, t.t ), 12.
[23] Muhammad Abduh, , Al-Islam Din Al-Ilm wa Al-Madaniah,( Kairo :  Dar Al-Hilal, 1963 ), h. 97.
[24] Nasution, Islam,   h. 46.
[25]  F.E. Peters, Aristotle and the Arabs  ( New York : New York University Press, 1986 ), h. xx – xxxi.
[26]  Ian Richard Netton, A Popular Dictionary of Islam ( USA : First Published by Curzon Press, 1997 ), h. 78 – 79.
[27] Ahwani, Al-Falsafatul,  h. 35.
[28] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban,  Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Keindonesiaan, Cet. I ( Jakarta : Paramadina, 1992 ),  h. 223.
[29]  C.A. Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World ( London : Croom Helm, 1988 ), h.34.
[30]  Harun  Nasution, Islam jilid I, h. 57-58.
[31] Harun Nasution, “Agama Yang Diperlukan Manusia Abad XXI dan Seterusnya” dalam Endang Basri Ananda (Peny.), 70 Tahun Prof.DR.H.M.Rasyidi ( Jakarta : Pelita, 1985 ), h. 282. Lihat juga Syahrin Harahap, Al-Qur’an Dan Sekularisasi : Kajian Terhadap Pemikiran Thaha Husein ( Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994 ), h. 84.
[32] Nasution, Islam, jilid II, h. 46-47.
[33] Mahmud Yunus,  Kamus Arab-Indonesia ( Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1972 ), h. 321.
[34] Abdullah, dkk  (ed.), Ensiklopedi, jilid II, h. 8
[35] M. Quraish Syihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat ( Bandung : MIzan, 1992 ), h. 27.
[36] Ibid.
[37] Rahman, Islam, h. 135-136.

[38] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu A-Qur’an/Tafsir , cet. 12 ( Jakarta : Bulan Bintang, 1989 ), h. 57.
[39] Departemen Agama R.I., Al-Qur’an Dan Terjemahnya,  ( Semarang : CV. Toha Putra, 1989 ),      h. 129.
[40] Abdullah, dkk ( ed. ), Ensiklopedi, h. 11.
[41] Berbeda dengan masa Khalifah Usman, sahabat-sahabat Rasulullah Saw pada masa Khalifah Umar bin Khattab  tidak diperkenankan oleh Umar untuk hijrah ke luar dari Madinah, kecuali ada kebutuhan mendesak. sehingga memudahkan bagi Umar untuk melakukan penetapan hukum berdasarkan Ijma’, yaitu Konsensus Sahabat ( Mujtahid ). Lihat, Syekh Muhammad Ali  As-Sayis, Tarikh Al-Fiqh Al-Islami ( Beirut : Dar Al-Kutub, 1990 ), h. 72
[42]Muhammad Yusuf Musa, Islam : Suatu Kajian Komprehensif ( Jakarta : Rajawali, 1988 ), h. 146.
[43] Abdullah, dkk ( ed.), Ensiklopedi, jilid III, h. 76.
[44] As-Sayis, Tarikh, h. 97-113. Lihat juga, Musa, Islam, h. 155.
[45] Abdullah, dkk (ed.), Ensiklopedi,  jilid II, h. 81.
[46] Ibid, jilid III, h. 140.
[47] As-Sayis, Tarikh, h. 147. Lihat juga Nasution, Islam, jilid II, h. 16.
[48] Abdullah, dkk (ed.), Ensiklopedi, jilid IV, h. 329-330.
[49] As-Sayis, Tarikh, h. 158-159.
[50] Abdullah, dkk (ed.), Ensiklopedi, jilid II, h. 84-86.
[51] Rahman, Islam, h. 101.
[52] Madjid, Islam Doktrin, h. 201, 208.


DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad  , Al-Islam Din Al-Ilm wa Al-Madaniah, Kairo :  Dar Al-Hilal, 1963
Abdullah, Taufik,  dkk ( Ed. ), Ensiklopedi Islam,   Jakarta : PT. Ichtiar Van Hoeve, 2002 , jilid  II
Al-Ahwani, Ahmad Fuad,  Al-Falsafatul Islamiyah,  Kairo : Daar al-Qalam, tp.tt
Ash-Shiddieqy, M.hasbi,  Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam,  Jakarta : Bulan Bintang, 1973
Ash-Shiddieqy, M.Hasbi,  Sejarah dan Pengantar Ilmu A-Qur’an/Tafsir , cet. 12,  Jakarta : Bulan Bintang, 1989
As-Sayis, Syekh Muhammad Ali,  Tarikh Al-Fiqh Al-Islami,  Beirut : Dar Al-Kutub, 1990
Atsir, Ibnu,  Al-Kamil fi al-Tarikh, Beirut : Daar al-Ashwar, 1965
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an Dan Terjemahnya,   Semarang : CV. Toha Putra, 1989    
Endang Basri Ananda, Endang Basri,  (Peny.), 70 Tahun Prof.DR.H.M.Rasyidi / Jakarta : Pelita, 1985
Gazalba, Sidi,  Sistematika Filsafat, Cet. 2, Jakarta : Bulan Bintang, 1967 , jilid I,
Haidar  Bagir, Haidar,    ( Peny.), Satu Islam Sebuah Dilema, Bandung : Mizan, 1992
Hanafi, A.  Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1980
Hanafi, Ahmad,  Pengantar Filsafat Islam ,  Jakarta : Bulan Bintang, 1996
Harahap, Syahrin, Al-Qur’an Dan Sekularisasi : Kajian Terhadap Pemikiran Thaha Husein, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab ,  Beirut : Dar as-Sadir, t.t
Madjid, Nurcholish,  Islam Doktrin Dan Peradaban,  Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Keindonesiaan, Cet. I .  Jakarta : Paramadina, 1992
Madkour, Ibrahim,  Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Kairo : Isa al-Halaby, 1947
Musa, Muhammad Yusuf, Islam : Suatu Kajian Komprehensif,  Jakarta : Rajawali, 1988
    Nasution, Harun,  Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya ,  Jakarta : UI-Press, 1985 , jilid II
 Nasution, Harun, Teologi Islam : Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan   Jakarta : UI-Press, 1986
Nasution,  Harun, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam,  Jakarta: Bulan Bintang, 1983,
Nasrullah,  M.S.  Kunci Memasuki Dunia Tasawuf , Bandung : MIzan, 1996
Nata, Abduddin, Akhlak Tasawuf,   Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996)
Netton, Ian Ricahard, A Popular Dictionary of Islam, USA : First Published by Curzon Press, 1997
Peters, F.E., Aristotle and the Arabs , New York : New York University Press, 1986
Rahman, Fazlur, Islam, Chicago : The University of Chicago Press, 1979
Said, Fuad,  Hakikat Tarekat Naqsabandiyah ,  Jakarta : AlHusna Zikra, 1993

 Syalabi, A.,  Sejarah Kebudayaan Islam, Cet. 2   Jakarta : PT. Al-Husna Zikra, 2000 , jilid I.
Syarkawi, Mu’jam Al-Fadz Thariqah , Mesir : Mausasah Mukhtar, 1992
Syihab, M. Quraish,  Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat,  Bandung : MIzan, 1992
Yunus, Mahmud,  Kamus Arab-Indonesia , Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1972