A. Hukum Islam Merupakan Bagian Dari Agama
Beberapa terminologi Alquran yang identik berkaitan dengan Hukum Islam:
a.
Syariah
Kata Syariah
dalam pengertian aslinya adalah “jalan menuju sumber air". Dalam istilah Islam, syari’ah adalah jalan
yang ditetapkan Allah yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk
mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat. Menurut
Manna' al-Qaththan yang dimaksud Syariah adalah segala ketentuan Allah yang
disyariatkan bagi hamba-hamba-Nya baik yang menyangkut akidah, akhlak maupun
muamalah.
b. Fiqih
Fikih
berasal dari bahasa Arab “Faqiha – yafqahu – fiqhan – fiqh “, secara bahasa berarti mengerti, paham,
pintar, dalam arti pengertian atau pemahaman yang mendalam yang menghendaki
pengerahan potensi akal. Dalam pengertian yang lebih konkrit Fikih
adalah mengetahui hukum-hukum Islam ( syarak)
yang bersifat amali ( amalan ) melalui dalil-dalil yang terperinci yang terkodifikasi dalam ahkam al-khamsah
(Wajib, Sunnah, Haram, makruh dan mubah).
c.
ad-Din
ad-Din ( الدين ) artinya: tunduk;
patuh; undang-undang; kekuasaan;
pengelolaan; perhitungan; balasan; Utang. Khusus mengenai pengertian terakhir,
yakni: Utang, menarik sekali pendapat Prof.DR.M. Quraish Shihab: ad-Din
al-Islam ( الدين
الاسلام
) berarti: Utang seseorang yang hanya bisa dibayar dengan ketaatan dan
kepasrahan kepada Allah Swt dengan ber-Islam. Ibnu al-Manzur dalam kamusnya Lisan al-Arab mengartikan ad-Din dengan kesalehan,
ketaqwaan, pembalasan dan ketaatan.
d.
Hukum Islam
Kata hukum dan Islam, keduanya berasal dari bahasa Arab,
tetapi dalam al-Qur`an tidak pernah
menggunakan kedua kata ini secara bergandengan. Begitu juga dalam literatur
hukum Islam klasik, tidak pernah menggunakan kata hukum Islam. Ungkapan yang
digunakan biasanya adalah kata syarî’ah al-Islâm, hukum syara’, syarî’ah
atau syara’, dan fikih.
Satu waktu hukum Islam berarti syaria’h, di waktu yang
lain hukum Islam berarti fikih. Meskipun demikian, istilah hukum Islam
biasanya digunakan untuk makna fikih, bukan syari’ah.
Hubungan
antara Fiqih, Syariah, ad-Din adalah sebagai berikut:
Syariah adalah sumber
ad-Din dan Fiqih, Ad-Din adalah esensi Syariah, dan Fiqih
adalah metode memahami Syariah.
B.
Ruang
Lingkup Hukum Islam
Secara
garis besar terbagi 3, yaitu:
1.Hukum Ibadah
(hubungan manusia dengan Allah), seperti: tata cara bersuci, shalat, puasa,
zakat, haji, penyelenggaraan jenazah, jihad, kurban, nazar, sumpah dan
aktivitas sejenis,
2. Hukum Muamalah
(hubungan manusia dengan manusia lain),yang terdiri dari:
a.
hukum keluarga/hukum rumah tangga seperti: pernikahan, perceraian, nafkah
(ahwal as-syakhsiyah),
b.hukum
tentang perekonomian seperti: jual beli, utang piutang, pinjam meminjam,
pegadaian dan pengadilan (perdata),
c.
hukum yang berkaitan tentang pemerintahan, Negara dan politik (siyasah
syar'iyah),
3. Hukum Jinayat (hukum bagi orang yang berbuat
kesalahan) terdiri dari: hukum bagi pelanggaran, kejahatan, Qisas (pembalasan), diyat (denda),
hukum pembunuhan, hukum murtad, hukum zina,hukum pencuri, perampok, hukum
mabuk, harta rampasan perang, ta'zir, pemberontakan dan peperangan.
C.
Azas
dan Prinsip Hukum Islam
Azas secara etimologi memiliki makna dalah dasar, alas, pondamen
(Muhammad Ali, TT : 18). Adapun secara terminologinya Hasbi Ash-Shiddiqie
mengungkapkan bahwa hukum Islam sebagai hukum yang lain mempunyai azas dan
tiang pokok sebagai berikut :
1. Azas Nafyul Haraji --- meniadakan kepicikan, artinya hukum Islam dibuat dan diciptakan itu berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf. Namun bukan berarti tidak ada kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada tantangan, sehingga tatkala ada kesukaran yang muncul bukan hukum Islam itu digugurkan melainkan melahirkan hukum Rukhsah.
2. Azas Qillatu Taklif --- tidak membahayakan taklifi, artinya hukum Islam itu tidak memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan.
3. Azas Tadarruj --- bertahap (gradual), artinya pembinaan hukum Islam berjalan setahap demi setahap disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia.
4. Azas Kemuslihatan Manusia --- Hukum Islam seiring dengan dan mereduksi sesuatu yang ada dilingkungannya.
5. Azas Keadilan Merata --- artinya hukum Islam sama keadaannya tidak lebih melebihi bagi yang satu terhadap yang lainnya.
6. Azas Estetika --- artinya hukum Islam memperbolehkan bagi kita untuk mempergunakan/memperhatiakn segala sesuatu yang indah.
7. Azas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat --- Hukum Islam dalam penerapannya senantiasa memperhatikan adat/kebiasaan suatu masyarakat.
8. Azas Syara Menjadi Dzatiyah Islam --- artinya Hukum yang diturunkan secara mujmal memberikan lapangan yang luas kepada para filusuf untuk berijtihad dan guna memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum Islam menjadi elastis sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.
1. Azas Nafyul Haraji --- meniadakan kepicikan, artinya hukum Islam dibuat dan diciptakan itu berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf. Namun bukan berarti tidak ada kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada tantangan, sehingga tatkala ada kesukaran yang muncul bukan hukum Islam itu digugurkan melainkan melahirkan hukum Rukhsah.
2. Azas Qillatu Taklif --- tidak membahayakan taklifi, artinya hukum Islam itu tidak memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan.
3. Azas Tadarruj --- bertahap (gradual), artinya pembinaan hukum Islam berjalan setahap demi setahap disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia.
4. Azas Kemuslihatan Manusia --- Hukum Islam seiring dengan dan mereduksi sesuatu yang ada dilingkungannya.
5. Azas Keadilan Merata --- artinya hukum Islam sama keadaannya tidak lebih melebihi bagi yang satu terhadap yang lainnya.
6. Azas Estetika --- artinya hukum Islam memperbolehkan bagi kita untuk mempergunakan/memperhatiakn segala sesuatu yang indah.
7. Azas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat --- Hukum Islam dalam penerapannya senantiasa memperhatikan adat/kebiasaan suatu masyarakat.
8. Azas Syara Menjadi Dzatiyah Islam --- artinya Hukum yang diturunkan secara mujmal memberikan lapangan yang luas kepada para filusuf untuk berijtihad dan guna memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum Islam menjadi elastis sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.
D.
Karakteristik
Hukum Islam
Hukum
Islam memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan hukum lain,
misalnya hukum barat atau hukum adat. Hukum Islam yang memiliki
karakteristik-karakteristik sekaligus menempatkannya sebagai hukum yang
kompetitif alam merangkul kesadaran bahkan implementasinya dalam kehidupan
manusia. Terbukti dari keberadaan kuantitas penganutnya sampai saat ini masih terbilang eksis dan mendominasi.
Adapun
karekteistik hukum Islam dapat dikelompokkan dalam 3 sudut pandang, yaitu:
1.
Dari Segi
Penetapan Hukum
Dari
segi penetapan hukum, hukum Islam memiliki keistimewaan dengan memperhatikan
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.1.
Menghapuskan
kesulitan ('adam al haraj), sesuai dengan Firman Allah:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (Q.s. al-Baqarah/2: 185).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit
atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah
yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak
hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur". (Q.s. al-Maidah/5: 6).
Penerapan prinsip ini
dapat dilihat antara lain:
a.
Dibolehkannya
mengqasar dan menjamak shalat
b.
Mengqada puasa
c.
Dibolehkannya
tayamum sesuai firman Allah di atas
d.
Memakan bangkai
dalam keadaan darurat
1.2.
Keringanan
dalam Kewajiban/mudah pengamalannya (taqlil at-takalif).
Prinsip
ini menegaskan bahwa hukum Islam mudah dalam pengamalan kewajibannya. Hal ini
bisa dilihat pada isyarat-isyarat al-Quran dan Sunnah yang melarang kita untuk
selalu mempertanyakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah karena ditakutkan akan menyebabkan sebagaimana
peringatan Allah:
"Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al
Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu)
tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun".
Substansi
hukum Islam di atas senada dengan peringatan Rasul Muhammad Saw kepada Aqra'
bin Habis ketika menanyakan tentang
haji, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis an-Nasa'i:
"Wahai Rasulullah,
apakah kewajiban (haji) itu setiap tahun? Rasulullah menjawab, "seandainya
aku jawab iya, tentulah akan wajib hukumnya (melakukan haji setiap tahun), maka
berpeganglah kepada apa yang telah aku wasiatkan kepadamu (al-Quran dan Hadis),
sesunguhnya kehancuran umat sebelum kamu disebabkan karena
pertanyaan-pertanyaan mereka banyak dan mereka menentang nabi mereka".
Cukuplah
kisah Bani Israil sebegai contoh, ketika mereka diperintahkan Allah untuk
menyembelih sapi namun karena pertanyaan-pertanyaan mereka beruntun malah
menyebabkan hukum yang tadinya mudah menjadi susah. Hal ini dikisahkan Allah dalam
al-Quran pada surah al-Baqarah/2: 67-73.
Prinsip
ini jelas dalam penetapan hukum Islam tak ada
satupun perintah atau larangan Allah yang berada di luar kemampuan
manusia. Hukum Allah itu bertujuan untuk kemaslahan manusia sendiri dan
mengantarkan manusia untuk mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dengan prinsip ini sepatutnya tidak ada
lagi alasan bagi manusia untuk tidak menjalankan syariat.
1.3.
Ditetapkan
Secara Bertahap (tadarruj)
Salah
satu ciri hukum Islam adalah menetapkan suatu hukum secara berangsur-angsur.
Sebagai contoh bisa kita ambil dalam penetapan hukum minuman arak (minuman
keras). Kebiasaan minum arak sudah mendarah daging bagi bangsa arab jahiliyah.
Untuk
menetapkan keharamannya, Allah memulai dengan menyatakan bahwa mudarat minuman
keras lebih besar dari manfaatnya (Lihat: Q.S. al-Baqarah/2: 219) bahkan pada
periode Makkah, Allah menyebut minuman keras sebagai salah satu rahmat Tuhan
bersama-sama dengan susu dan madu (Lihat: Q.s an-Nahl/16: 66-69). Pada tahap
selanjutnya ketika para sahabat rasul
sudah 'teler' kemudian menjadi Imam shalat dan keliru bacaannya karena
mabuk, Allah menurunkan wahyu Q.s an-Nisa'/4: 43) yang melarang mereka shalat
dalam keadaan mabuk. Baru pada tahap selanjutnya ketika telah terjadi
pertengkaran antara golongan muhajirin dan anshar sehingga terjadi baku hantam
diantara mereka karena mabuk. Lalu peristiwa itu dilaporkan kepada Nabi Saw
turunlah wahyu yang secara tegas melarang minuman keras (Lihat:
Q.s.al-Maidah/5: 90).
2.
Dari Segi
Substansi, karakteristik hukum Islam memperhatikan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
2.1.
Komprehensif
Hukum
Islam bersifat sempurna karena mencakup semua aspek kehidupan. Tidak ada
satupun aspek kehidupan yang tidak disentuh dalam hukum Islam, mulai dari
hal-hal yang kecil seperti: makan, minum, tidur, buang air kecil/besar, mandi
sampai pada hal-hal yang besar seperti: mengelola negara dan bangsa. Oleh karena itulah, tidak heran
jika seorang otientalis semacam H.A.R. Gibb pun berkomentar: "Islam is
indeed much more than a system of theology, it is a complete
civilization"( Islam itu sesungguhnya lebih dari satu system agama saja, ia mencakup sistem peradaban yang lengkap).
Kesempurnaan
hukum Islam dapat dicermati bahwa dari sejak zaman Rasulullah Saw sampai saat ini (sudah 1400 tahun) bahkan hingga kapanpun hukum Islam tidak akan berubah karena yang
menjadi landasan hukum Islam, yaitu: al-Quran dan Hadis pun tidak berubah.
Berbeda sekali dengan hukum buatan manusia dalam bentuk Undang-Undang, misalnya
ataupun Peraturan Pemerintah dan lain-lain selalu mengalami bongkar pasang alias salah. Khusus untuk kita bangsa
Indonesia, UUD 1945 yang sudah berlaku selama 34 tahun pada masa orde baru dan
kita mengira tidak mungkin diubah tetapi mulaia tahun 1999 (orde
Reformasi) sudah diamandemen hingga
bunyinya dapat dilihat ssaat ini sudah jauh berubah.
Allah
menjelaskan kesempurnaan hukum Islam tersebut dalam Q.s. al-An'am/6: 115):
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا لا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
"Telah sempurnalah
kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang
dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi
Maha mengetahui".
2.2.
Manusiawi
dan Realistis
Selain
bersifat komprehensif, hukum Islam dari segi substansinya juga bersifat
manusiawi dan realistis. Prinsip ini
antara lain tercermin pada beberapa hal berikut:
a.
Hukum Islam
sesuai dengan fitrah, sifat dan keadaan manusia yaitu ketenangan diri dan jiwa,
b.
Hukum Islam
memerintahkan ibadah-ibadah yang
meskipun pada satu sisi kelihatannya bersifat individual tetapi pada
hakikatnya lebih bersifat manusiawi,
seperti: shalat, puasa, zakat dan haji,
c.
Hukum Islam
tidak mengharamkan sesuatu yang memang menjadi kebutuhan manusia, baik secara
psikologis, biologis dan jasmani dan sebaliknya hukum Islam tidak membolehkan
sesuatu yang menyebebkan kemudharatan manusia,
d.
Hukum Islam
mempertimbangkan naluri manusia yang condong pada kemewahan kesenangan, senda
gurau dan mengaturnya dalam batasan-batasan yang tidak membahayakan manusia itu
sendiri,
e.
Hukum Islam
mempetimbangkan keadaan darurat yang dialami manusia dan memberikan keringanan,
f.
Syariat Islam
mengakui dan menghormati hak-hak azasi manusia karena manusia menurut pandangan
Islam adalah makhluk yang mulia.Bentuk kemuliaan itu dapat dilihat antara lain
-
Manusia adalah
Khalifah di muka bumi,
-
Manusia
diciptakan sebagai makhluk yang sempurna,
-
Allah
menciptakan alam ini adalah untuk kemakmuran manusia,
-
Islam mengakui
adanya persamaan derajat manusia dan menjadikan taqwa sebagai pembedanya di
hadapan Allah.
2.3.
Logis
Tidak
satupun hukum Islam yang bertentangan dengan logika.Malah sebaliknya, Islam
mengajak umatnya untuk berpikir dan mendabburi ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat
Quraniyah. Dalam kaitannya dengan hukum Islam, konsep logika dapat diperhatikan
bahwa Islam menjadikan akal sebagai salah satu syarat dalam pelaksanaan
kewajiban (syurut at-taklif), sehingga kewajiban melaksanakan ibadah tidak
berlaku bagi orang yang mabuk, dalam keadaan tidur apalagi dalam keadaan gila.
Konsep
ini juga terlihat bahwa dalam hukum Islam dikenal adanya Qiyas (metode penetapan
hukum dengan analogi) sebagai salah satu
sumber hukum Islam. Hal ini disebabkan karena tidak semua solusi permasalahan
tercakup dalam al-Quran dan Hadis melainkan hanya sebagian kecil saja. Tugas
para Ulamalah untuk menganalogikan permasalahan yang tidak ada nashnya kepada
permasalahan yang ada nashnya dengan memperhatikan faktor-faktor kesamaan
ataupun isyarat-isyarat global dari nash tersebut.
3.
Dari Segi
Pengamalan, karakteristik hukum Islam dapat dicermati dengan prinsip-prinsip
sebagai berikut:
3.1.
Universal
Hukum
Islam bersifat universal dalam arti hukum Islam berlaku untuk semua zaman dari
zaman Rasulullah sampai akhir zaman, berlaku untuk semua tempat. Berlaku untuk
semua manusia tanpa mengenal ras dan golongan dan berlaku untuk manusia
sepanjang hidupnya, sesuai dengan firman Allah dalam Q.s. Saba'/34: 28:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
"Dan
Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan
manusia tiada mengetahui"
Pada
ayat yang lain Q.s. al-Anbiya'/21 : 107 :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
"Dan Tiadalah Kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam"
3.2.
Seimbang
dan Harmonis
Keseimbangan hukum
Islam dapat dilihat dari beberapa segi antara lain:
a.
Keseimbangan
hukum antara urusan dunia dan akhirat, hukum Islam tidak hanya mengatur hal-hal
yang berguna untuk manusia dalam urusan akhiratnya tetapi juga memperhatikan
kebutuhan di dunia. Misalnya: hukum Islam tidak hanya memerintahkan manusia
untuk shalat dan berdoa tetapi juga berusaha/bekerja, berpuasa dan juga
berbuka.
b. Keseimbangan
antara halal dan haram, bahkan menurut Abdurrazaq Naufal terdapat keseimbangan
istilah-istilah yang digunakan oleh
al-Quran. Diantaranya: Keseimbangan
jumlah bilangan kata dengan antonimnya: al-hayah
dan al-maut = 145 kali; as-Shalihat dan as-Sayyi’at= 167 kali; al-Iman
dan al-Kufr= 17 kali, Keseimbangan
jumlah bilangan kata dengan sinonimnya mis. Al-Quran, al-Wahyu, al-Islam = 70 kali; al-Aql dan an-Nur= 49 kali,
Keseimbangan jumlah kata dengan jumlah kata yang menunjuk akibatnya: al-Infaq dan ar-Ridha= 73 kali, az-Zakah
dan al-Barakah= 22 kali, al-Kafirun dan an-Nar= 154 kali.
Hal ini sesuai dengan
Firman Allah dalam Q.s. Al-Qasas/28 : 77
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
”Dan carilah pada apa
yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan".
3.3.
Tsubut
(konsisten) dan Tathawur (Dinamis)
Tsubut
artinya keteguhan (kekokohan atau kekonsistenan)
prinsip.
Artinya hukum Islam teguh, kokoh dan konsisten dalam apa yang harus kekal dan
lestari, ia merupakan tsubut pada sasaran dan tujuan, tsubut pada
prinsip-prinsip dasar dan kaidah-kaidah umum.
Dapat
dicontohkan bahwa hukum Islam tsubut dalam hal mengesakan Allah. Itulah prinsip
dasar Islam dan ajaran Islam yang lainnya pun akhirnya mengacu pada prinsip
dasar tauhid tersebut dan dalam al-Quran maupun hadis tetap konsisten untuk
mengikuti prinsip dasar tauhid itu pula.
Hukum Islam bersifat
dinamis dalam arti tidak kaku karena hukum Islam mengikuti perkembangan alam
pikiran manusia dan berpijak pada kaidah asasiyah, yaitu ijtihad. Ijtihadlah
yang akan menjawab segala tantangan masa, dapat memenuhi harapan zaman dengan
tetap memelihara kepribadian dan nilai-nilai asasinya.
Dengan kata lain, hukum Islam memiliki
karakteristik baku pada hukum asalnya dan dinamis pada hukum cabangnya. Meskipun
demikian perkembangan itu tidak berarti bahwa manusia memiliki otoritas yang
penuh dalam menentukan hukum bagi dirinya melainkan tetap berpijak pada
landasan-landasan yang sudah baku.
E.
Tujuan
Hukum Islam
Dalam khazanah ilmu ushul fikih, tujuan hukum Islam sering disebut maqashid al
syari’ah. tujuan akhir hukum Islam adalah satu, yaitu kemaslahatan atau kebaikan dan kesejahteraan
umat manusia.
Untuk mewujudkan tujuan akhir tersebut mesti dipelihara 5
kebutuhan pokok: Agama (hifzh ad-din), Akal ( hifzh ad-aql), jiwa (hifzh an-nafs), Keturunan (hifzh
an-nasb), dan Harta (hifzh al-mal).
Lima kebutuhan pokok di atas masih dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu dlaruriyyat
(kebutuhan primer), hajjiyyat(kebutuhan sekunder), dan tahsiniyyat
(kebutuhan tertier). Kebutuhan primer adalah sesuatu yang harus ada untuk kemaslahatan
manusia. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi kehidupan manusia akan menjadi kacau
balau, kemaslahatan tidak tercapai, dan kebahagiaan ukhrawi tidak bakal dapat
diraih. Kebutuhan sekunder merupakan kebutuhan yang sangat dibutuhkan manusia
bukan untuk memelihara salah satu dari kebutuhan pokok yang lima, tetapi untuk
menghilangkan kesulitan-kesulitan dan kesempitan atau kekhawatiran dalam
menjaga kelima kebutuhan pokok (Zahrah,1958: 371). Jika
kebutuhan ini tidak ada, tidak sampai membawa tata aturan hidup manusia
berantakan dan kacau, tetapi hanya membawa kesulitan. Oleh karena itu,prinsip
utama kebutuhan sekunder ini adalah untuk menghilangkan kesulitan,meringankan
beban taklif, dan memudahkan manusia dalam melakukan muamalahdan tukar-menukar
manfaat (Yahya dan Fathurrahman, 1993: 335).
Adapun kebutuhan tertier merupakan kebutuhan
pelengkap bagi manusia dalam menunjangpemenuhan kebutuhan primer dan sekunder.
Tujuannya bukan untuk mewujudkan
eksistensi kebutuhan yang lima atau menghindari kesulitan dalam
memeliharakebutuhan yang lima, akan tetapi untuk menghilangkan ketakutan dan
menjagakemuliaan dalam memelihara kebutuhan yang lima (Zahrah, 1958: 372).
Pemenuhan terhadap kebutuhan tertier ini tidak
berimplikasi adanya hukum wajib pada yang diperintah dan hukum haram pada yang
dilarang sebagaimana yang berlaku pada duatingkat lainnya (dlaruriyyat dan
hajjiyyat). Segala usaha untuk memenuhi kebutuhan tertier (tahsiniyyat)
ini menimbulkan hukum sunnah dan pengabaian kebutuhan ini menimbulkan hukum makruh.
Mengenai
keterkaitan antara 3 kebutuhan manusia tersebut diberikan contoh sebagai
berikut: Seseorang diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan untuk
memelihara eksistensi jiwanya. Manakala
suatu saat ia tidak mendapatkan makanan yang halal padahal ia akan mati
kalau tidak makan, maka dalam kondisi tersebut ia dibolehkan memakan makanan
yang diharamkan demi menjaga eksistensi jiwanya. Makan, dalam hal ini termasuk
menjaga jiwa dalam peringkat dlaruriyat. Jadi harus didahulukan
memelihara jiwa dalam peringkat dlaruriyat. Berburu binatang untuk menikmati
makanan yang lezat dan halal termasuk memelihara jiwa dalam tingkatan
hajiyat, karena jika hal ini tidak dilakukan, tidaklah mengancam eksistensi
jiwa melainkan hanya mempersulit hidup kita. Ditetapkannya tatacara makan dan minum termasuk dalam peringkat
tahsiniyat.
Demikian juga dalam memelihara keturunan (hifzh
an-nasb), memelihara keturunan pada tingkatan dlaruriyat adalah
dengan disyariatkannya nikah dan larangan berzina, pada tingkatan hajiyat
ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar pada waktu akad nikah sedangkan pada tingkatan
tahsiniyat adalah disyariatkannya khitbah dan walimah dalam pernikahan.
F.
Sumber
Hukum Islam
Sumber Hukum Islam
sesungguhnya hanya ada 2, yaitu Alquran dan Hadis. Dikarenakan hukum Islam
dimaknai sebagai Pengetahuan
tentang hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan
mukallaf, maka sumber Hukum Islam mesti ditambah satu lagi, yaitu: Ijtihad.
G.
Konstribusi
Umat Islam Dalam Perumusan Dan Penegakan Hukum Di Indonesia
Kontribusi
umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia diawali dengan
terbitnya Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang didalamnya terdapat rumusan
Pancasila yang orisinil. Rumusan Pancasila yang orisinil tersebut adalah sila
pertama Pancasila yang bunyi aslinya: Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dikarenakan adanya
tuntutan masyarakat Indonesia timur yang mayoritas non muslim yang diwakili
oleh salah seorang Panitia Sembilan, A.A. Maramis, maka atas usulan Dr.
Mohammad Hatta tujuh kata setelah kata Ketuhanan pun dihapus dan disetujui oleh
seluruh Panitia Sembilan. Jadilah bunyi
sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada
tahap selanjutnya diterbitkan pula banyak Undang-Undang yang mengatur tentang
kehidupan umat Islam Indonesia, antara lain:
1.
Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2.
Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama
3.
Undang-Undang
No.13 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
4.
Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
5.
Undang-Undang
No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh
- Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi
Daerah Istimewa Aceh
Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
7.
Undang-Undang
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
- Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan,
- UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
H.
Fungsi
Hukum Islam Dalam Kehidupan Bermasyarakat
Fungsi Hukum Islam
secara umum ada 4, yaitu:
1.
Fungsi Ibadah
Fungsi Ibadah maksudnya
adalah bahwa hukum Islam dalam arti Fiqih merupakan tuntunan tata cara
beribadah kepada Allah seperti: bersuci, shalat, puasa, zakat, haji,jihad,
penyelenggaraan jenazah, berzikir, membaca Alquran, nazar, dan sumpah. Adapun hubungan baik dengan sesama manusia
dipandang sebagai bentuk ibadah pula kepada Allah Swt seperti: Utang piutang,
pinjam meminjam, jual beli, pernikahan, penegakkan hukum dalam bentuk pidana maupun
perdata. Allah Swt. Berfirman Q.s. az-Zariyat/51: 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
"Dan aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku".
2.
Fungsi Amar
Ma’ruf Nahi Mungkar
Fungsi
ini ingin menjadikan manusia sebagai orang-orang yang selalu memberikan nasehat dengan menyuruh manusia lainnya untuk berbuat kebaikan dan
mencegah kemungkaran. Hal ini
dikarenakan sesungguhnya "Agama itu adalah nasehat" (ad-din
an-nashihah). Terminologi lain yang cukup popular adalah dakwah. Jadi, hukum
Islam mengendaki umat Islam menjadi umat yang terbaik dengan mendakwahkan
kebaikan terhadap orang lain. Allah Swt. berfirman dalam Q.s. Ali Imran/3: 104:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung".
3.
Fungsi Zawajir
(Hukuman untuk menjadikan Efek jera)
Sanski
dalam hukum Islam bukan hanya sanksi hukuman dunia tetapi juga dengan ancaman
sanksi akhirat dimaksudkan agar menjadikan efek jera dan takut dalam melakukan kejahatan serta menjadi
pelajaran bagi generasi sesudahnya.
4.
Fungsi tanzim
wa ishlah al-ummah (organisasi dan rehabilitasi masyarakat)
Ketentuan
hukum sanksi tersebut bukan sekedar sebagai batas ancaman dan untuk
menakut-nakuti masyarakat saja akan tetapi juga untuk rehabilitasi dan
pengorganisasian umat menjadi lebih baik. Dalam literature ilmu hukum hal ini
dikenal dengan istilah engineering social.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar