Selasa, 01 Desember 2015

Paradigma Hukum Islam



A.    Hukum Islam Merupakan Bagian Dari Agama
Beberapa terminologi  Alquran yang       identik berkaitan  dengan Hukum Islam:
a.       Syariah
Kata Syariah dalam pengertian aslinya adalah “jalan menuju sumber air". Dalam istilah Islam, syari’ah adalah jalan yang ditetapkan Allah yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat. Menurut Manna' al-Qaththan yang dimaksud Syariah adalah segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hamba-Nya baik yang menyangkut akidah, akhlak maupun muamalah.
b.      Fiqih
Fikih berasal dari bahasa Arab “Faqiha – yafqahu – fiqhan – fiqh “,  secara bahasa berarti mengerti, paham, pintar, dalam arti pengertian atau pemahaman yang mendalam yang menghendaki pengerahan potensi akal. Dalam pengertian yang lebih konkrit Fikih adalah mengetahui hukum-hukum Islam ( syarak)  yang bersifat amali ( amalan ) melalui dalil-dalil yang terperinci  yang terkodifikasi dalam ahkam al-khamsah (Wajib, Sunnah, Haram, makruh dan mubah).
c.       ad-Din
ad-Din (  الدين   ) artinya: tunduk; patuh;  undang-undang; kekuasaan; pengelolaan; perhitungan; balasan; Utang. Khusus mengenai pengertian terakhir, yakni: Utang, menarik sekali pendapat Prof.DR.M. Quraish Shihab: ad-Din al-Islam (      الدين الاسلام    ) berarti: Utang seseorang yang hanya bisa dibayar dengan ketaatan dan kepasrahan kepada Allah Swt dengan ber-Islam. Ibnu al-Manzur dalam kamusnya Lisan al-Arab mengartikan ad-Din dengan kesalehan, ketaqwaan, pembalasan dan ketaatan. 
d.      Hukum Islam
Kata hukum dan Islam, keduanya berasal dari bahasa Arab, tetapi dalam  al-Qur`an tidak pernah menggunakan kedua kata ini secara bergandengan. Begitu juga dalam literatur hukum Islam klasik, tidak pernah menggunakan kata hukum Islam. Ungkapan yang digunakan biasanya adalah kata syarî’ah al-Islâm, hukum syara’, syarî’ah atau syara’, dan fikih.
Satu waktu hukum Islam berarti syaria’h, di waktu yang lain hukum Islam berarti fikih. Meskipun demikian, istilah hukum Islam biasanya digunakan untuk makna fikih, bukan syari’ah.
Hubungan antara Fiqih, Syariah, ad-Din adalah sebagai berikut:
Syariah adalah sumber ad-Din dan Fiqih, Ad-Din adalah esensi Syariah,  dan  Fiqih     adalah metode memahami Syariah.
B.     Ruang Lingkup Hukum Islam
Secara garis besar  terbagi 3, yaitu:
1.Hukum Ibadah (hubungan manusia dengan Allah), seperti: tata cara bersuci, shalat, puasa, zakat, haji, penyelenggaraan jenazah, jihad, kurban, nazar, sumpah dan aktivitas sejenis,
2. Hukum Muamalah (hubungan manusia dengan manusia lain),yang terdiri dari:
a. hukum keluarga/hukum rumah tangga seperti: pernikahan, perceraian, nafkah (ahwal as-syakhsiyah),
b.hukum tentang perekonomian seperti: jual beli, utang piutang, pinjam meminjam, pegadaian dan pengadilan (perdata),
c. hukum yang berkaitan tentang pemerintahan, Negara dan politik (siyasah syar'iyah),
3.  Hukum Jinayat (hukum bagi orang yang berbuat kesalahan) terdiri dari: hukum bagi pelanggaran,  kejahatan, Qisas (pembalasan), diyat (denda), hukum pembunuhan, hukum murtad, hukum zina,hukum pencuri, perampok, hukum mabuk, harta rampasan perang, ta'zir, pemberontakan dan peperangan.
C.    Azas dan Prinsip Hukum Islam
  Azas secara etimologi memiliki makna dalah dasar, alas, pondamen (Muhammad Ali, TT : 18). Adapun secara terminologinya Hasbi Ash-Shiddiqie mengungkapkan bahwa hukum Islam sebagai hukum yang lain mempunyai azas dan tiang pokok sebagai berikut :

1. Azas Nafyul Haraji --- meniadakan kepicikan, artinya hukum Islam dibuat dan diciptakan itu berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf. Namun bukan berarti tidak ada kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada tantangan, sehingga tatkala ada kesukaran yang muncul bukan hukum Islam itu digugurkan melainkan melahirkan hukum Rukhsah.
2. Azas Qillatu Taklif --- tidak membahayakan taklifi, artinya hukum Islam itu tidak memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan.
3. Azas Tadarruj --- bertahap (gradual), artinya pembinaan hukum Islam berjalan setahap demi setahap disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia.
4. Azas Kemuslihatan Manusia --- Hukum Islam seiring dengan dan mereduksi sesuatu yang ada dilingkungannya.
5. Azas Keadilan Merata --- artinya hukum Islam sama keadaannya tidak lebih melebihi bagi yang satu terhadap yang lainnya.
6. Azas Estetika --- artinya hukum Islam memperbolehkan bagi kita untuk mempergunakan/memperhatiakn segala sesuatu yang indah.
7. Azas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat --- Hukum Islam dalam penerapannya senantiasa memperhatikan adat/kebiasaan suatu masyarakat.
8. Azas Syara Menjadi Dzatiyah Islam --- artinya Hukum yang diturunkan secara mujmal memberikan lapangan yang luas kepada para filusuf untuk berijtihad dan guna memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum Islam menjadi elastis sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.
D.    Karakteristik Hukum Islam
Hukum Islam memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan hukum lain, misalnya hukum barat atau hukum adat. Hukum Islam yang memiliki karakteristik-karakteristik sekaligus menempatkannya sebagai hukum yang kompetitif alam merangkul kesadaran bahkan implementasinya dalam kehidupan manusia. Terbukti dari keberadaan kuantitas penganutnya sampai saat ini  masih terbilang eksis dan mendominasi.
Adapun karekteistik hukum Islam dapat dikelompokkan dalam 3 sudut pandang, yaitu:
1.         Dari Segi Penetapan Hukum
Dari segi penetapan hukum, hukum Islam memiliki keistimewaan dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.1.         Menghapuskan kesulitan ('adam al haraj), sesuai dengan Firman Allah:
 يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (Q.s. al-Baqarah/2: 185).
  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ    
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur". (Q.s. al-Maidah/5: 6).
Penerapan prinsip ini dapat dilihat antara lain:
a.       Dibolehkannya mengqasar dan menjamak shalat
b.      Mengqada puasa
c.       Dibolehkannya tayamum sesuai firman Allah di atas
d.      Memakan bangkai dalam keadaan darurat
1.2.     Keringanan dalam Kewajiban/mudah pengamalannya (taqlil at-takalif).
Prinsip ini menegaskan bahwa hukum Islam   mudah dalam pengamalan kewajibannya. Hal ini bisa dilihat pada isyarat-isyarat al-Quran dan Sunnah yang melarang kita untuk selalu mempertanyakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah karena  ditakutkan akan menyebabkan sebagaimana peringatan Allah:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun".
Substansi hukum Islam di atas senada dengan peringatan Rasul Muhammad Saw kepada Aqra' bin Habis ketika menanyakan  tentang haji, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis an-Nasa'i:
"Wahai Rasulullah, apakah kewajiban (haji) itu setiap tahun? Rasulullah menjawab, "seandainya aku jawab iya, tentulah akan wajib hukumnya (melakukan haji setiap tahun), maka berpeganglah kepada apa yang telah aku wasiatkan kepadamu (al-Quran dan Hadis), sesunguhnya kehancuran umat sebelum kamu disebabkan karena pertanyaan-pertanyaan mereka banyak dan mereka menentang nabi mereka".
Cukuplah kisah Bani Israil sebegai contoh, ketika mereka diperintahkan Allah untuk menyembelih sapi namun karena pertanyaan-pertanyaan mereka beruntun malah menyebabkan hukum yang tadinya mudah menjadi susah. Hal ini dikisahkan Allah dalam al-Quran pada surah al-Baqarah/2: 67-73.
Prinsip ini jelas dalam penetapan hukum Islam tak ada  satupun perintah atau larangan Allah yang berada di luar kemampuan manusia. Hukum Allah itu bertujuan untuk kemaslahan manusia sendiri dan mengantarkan  manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dengan prinsip ini sepatutnya tidak ada lagi alasan bagi manusia untuk tidak menjalankan syariat.
1.3.     Ditetapkan Secara Bertahap (tadarruj)
Salah satu ciri hukum Islam adalah menetapkan suatu hukum secara berangsur-angsur. Sebagai contoh bisa kita ambil dalam penetapan hukum minuman arak (minuman keras). Kebiasaan minum arak sudah mendarah daging bagi bangsa arab jahiliyah.
Untuk menetapkan keharamannya, Allah memulai dengan menyatakan bahwa mudarat minuman keras lebih besar dari manfaatnya (Lihat: Q.S. al-Baqarah/2: 219) bahkan pada periode Makkah, Allah menyebut minuman keras sebagai salah satu rahmat Tuhan bersama-sama dengan susu dan madu (Lihat: Q.s an-Nahl/16: 66-69). Pada tahap selanjutnya ketika para sahabat rasul  sudah 'teler' kemudian menjadi Imam shalat dan keliru bacaannya karena mabuk, Allah menurunkan wahyu Q.s an-Nisa'/4: 43) yang melarang mereka shalat dalam keadaan mabuk. Baru pada tahap selanjutnya ketika telah terjadi pertengkaran antara golongan muhajirin dan anshar sehingga terjadi baku hantam diantara mereka karena mabuk. Lalu peristiwa itu dilaporkan kepada Nabi Saw turunlah wahyu yang secara tegas melarang minuman keras (Lihat: Q.s.al-Maidah/5: 90).
2.        Dari Segi Substansi, karakteristik hukum Islam memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
2.1.              Komprehensif
Hukum Islam bersifat sempurna karena mencakup semua aspek kehidupan. Tidak ada satupun aspek kehidupan yang tidak disentuh dalam hukum Islam, mulai dari hal-hal yang kecil seperti: makan, minum, tidur, buang air kecil/besar, mandi sampai pada hal-hal yang besar seperti: mengelola negara  dan bangsa. Oleh karena itulah, tidak heran jika seorang otientalis semacam H.A.R. Gibb pun berkomentar: "Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization"( Islam itu sesungguhnya lebih dari satu system  agama saja, ia mencakup sistem peradaban yang lengkap).
Kesempurnaan hukum Islam dapat dicermati bahwa dari sejak zaman Rasulullah Saw  sampai saat ini (sudah 1400 tahun)  bahkan hingga kapanpun  hukum Islam tidak akan berubah karena yang menjadi landasan hukum Islam, yaitu: al-Quran dan Hadis pun tidak berubah. Berbeda sekali dengan hukum buatan manusia dalam bentuk Undang-Undang, misalnya ataupun Peraturan Pemerintah dan lain-lain selalu mengalami bongkar  pasang alias salah. Khusus untuk kita bangsa Indonesia, UUD 1945 yang sudah berlaku selama 34 tahun pada masa orde baru dan kita mengira tidak mungkin diubah tetapi mulaia tahun 1999 (orde Reformasi)  sudah diamandemen hingga bunyinya dapat dilihat ssaat ini sudah jauh berubah.
Allah menjelaskan kesempurnaan hukum Islam tersebut dalam Q.s. al-An'am/6: 115):
 وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا لا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
"Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha mengetahui". 
2.2.              Manusiawi dan Realistis
Selain bersifat komprehensif, hukum Islam dari segi substansinya juga bersifat manusiawi dan realistis.  Prinsip ini antara lain tercermin pada beberapa hal berikut:
a.         Hukum Islam sesuai dengan fitrah, sifat dan keadaan manusia yaitu ketenangan  diri dan jiwa,
b.        Hukum Islam memerintahkan  ibadah-ibadah yang meskipun pada satu sisi kelihatannya bersifat individual tetapi pada hakikatnya  lebih bersifat manusiawi, seperti: shalat, puasa, zakat  dan haji,
c.         Hukum Islam tidak mengharamkan sesuatu yang memang menjadi kebutuhan manusia, baik secara psikologis, biologis dan jasmani dan sebaliknya hukum Islam tidak membolehkan sesuatu yang menyebebkan kemudharatan manusia,
d.        Hukum Islam mempertimbangkan naluri manusia yang condong pada kemewahan kesenangan, senda gurau dan mengaturnya dalam batasan-batasan yang tidak membahayakan manusia itu sendiri,
e.         Hukum Islam mempetimbangkan keadaan darurat yang dialami manusia dan memberikan keringanan,
f.         Syariat Islam mengakui dan menghormati hak-hak azasi manusia karena manusia menurut pandangan Islam adalah makhluk yang mulia.Bentuk kemuliaan itu dapat dilihat antara lain
-          Manusia adalah Khalifah di muka bumi,
-          Manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna,
-          Allah menciptakan alam ini adalah untuk kemakmuran manusia,
-          Islam mengakui adanya persamaan derajat manusia dan menjadikan taqwa sebagai pembedanya di hadapan Allah.
2.3.              Logis
Tidak satupun hukum Islam yang bertentangan dengan logika.Malah sebaliknya, Islam mengajak umatnya untuk berpikir dan mendabburi ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat Quraniyah. Dalam kaitannya dengan hukum Islam, konsep logika dapat diperhatikan bahwa Islam menjadikan akal sebagai salah satu syarat dalam pelaksanaan kewajiban (syurut at-taklif), sehingga kewajiban melaksanakan ibadah tidak berlaku bagi orang yang mabuk, dalam keadaan tidur apalagi dalam keadaan gila.
Konsep ini juga terlihat bahwa dalam hukum Islam dikenal adanya Qiyas (metode penetapan hukum dengan  analogi) sebagai salah satu sumber hukum Islam. Hal ini disebabkan karena tidak semua solusi permasalahan tercakup dalam al-Quran dan Hadis melainkan hanya sebagian kecil saja. Tugas para Ulamalah untuk menganalogikan permasalahan yang tidak ada nashnya kepada permasalahan yang ada nashnya dengan memperhatikan faktor-faktor kesamaan ataupun isyarat-isyarat global dari nash tersebut.
3.        Dari Segi Pengamalan, karakteristik hukum Islam dapat dicermati dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
3.1.              Universal
Hukum Islam bersifat universal dalam arti hukum Islam berlaku untuk semua zaman dari zaman Rasulullah sampai akhir zaman, berlaku untuk semua tempat. Berlaku untuk semua manusia tanpa mengenal ras dan golongan dan berlaku untuk manusia sepanjang hidupnya, sesuai dengan firman Allah dalam Q.s. Saba'/34: 28:
 وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
"Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui"
Pada ayat yang lain Q.s. al-Anbiya'/21 : 107 :
 وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
"Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" 
3.2.              Seimbang dan Harmonis
Keseimbangan hukum Islam dapat dilihat dari beberapa segi antara lain:
a.       Keseimbangan hukum antara urusan dunia dan akhirat, hukum Islam tidak hanya mengatur hal-hal yang berguna untuk manusia dalam urusan akhiratnya tetapi juga memperhatikan kebutuhan di dunia. Misalnya: hukum Islam tidak hanya memerintahkan manusia untuk shalat dan berdoa tetapi juga berusaha/bekerja, berpuasa dan juga berbuka.
b.      Keseimbangan antara halal dan haram, bahkan menurut Abdurrazaq Naufal terdapat keseimbangan istilah-istilah yang digunakan oleh  al-Quran. Diantaranya: Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan antonimnya: al-hayah dan al-maut = 145 kali; as-Shalihat dan as-Sayyi’at= 167 kali; al-Iman dan al-Kufr= 17 kali, Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya mis. Al-Quran, al-Wahyu, al-Islam = 70 kali; al-Aql dan an-Nur= 49 kali, Keseimbangan jumlah kata dengan jumlah kata yang menunjuk akibatnya: al-Infaq dan ar-Ridha= 73 kali, az-Zakah dan al-Barakah= 22 kali, al-Kafirun dan an-Nar= 154 kali.
Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam Q.s. Al-Qasas/28 : 77
  وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan".
3.3.              Tsubut (konsisten) dan Tathawur (Dinamis)
Tsubut artinya keteguhan (kekokohan atau kekonsistenan) prinsip. Artinya hukum Islam teguh, kokoh dan konsisten dalam apa yang harus kekal dan lestari, ia merupakan tsubut pada sasaran dan tujuan, tsubut pada prinsip-prinsip dasar dan kaidah-kaidah umum. Dapat dicontohkan bahwa hukum Islam tsubut dalam hal mengesakan Allah. Itulah prinsip dasar Islam dan ajaran Islam yang lainnya pun akhirnya mengacu pada prinsip dasar tauhid tersebut dan dalam al-Quran maupun hadis tetap konsisten untuk mengikuti prinsip dasar tauhid itu pula.
         Hukum Islam bersifat dinamis dalam arti tidak kaku karena hukum Islam mengikuti perkembangan alam pikiran manusia dan berpijak pada kaidah asasiyah, yaitu ijtihad. Ijtihadlah yang akan menjawab segala tantangan masa, dapat memenuhi harapan zaman dengan tetap memelihara kepribadian dan nilai-nilai asasinya.
          Dengan kata lain, hukum Islam memiliki karakteristik baku pada hukum asalnya dan dinamis pada hukum cabangnya. Meskipun demikian perkembangan itu tidak berarti bahwa manusia memiliki otoritas yang penuh dalam menentukan hukum bagi dirinya melainkan tetap berpijak pada landasan-landasan yang sudah baku. 
E.     Tujuan Hukum Islam
Dalam khazanah ilmu ushul fikih, tujuan         hukum Islam sering disebut maqashid al syari’ah. tujuan akhir hukum Islam adalah satu, yaitu kemaslahatan atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.
Untuk mewujudkan tujuan akhir tersebut mesti dipelihara 5 kebutuhan pokok: Agama (hifzh ad-din), Akal ( hifzh ad-aql),  jiwa (hifzh an-nafs), Keturunan (hifzh an-nasb), dan Harta (hifzh al-mal).
Lima kebutuhan pokok di atas  masih dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu dlaruriyyat (kebutuhan primer), hajjiyyat(kebutuhan sekunder), dan tahsiniyyat (kebutuhan tertier). Kebutuhan primer adalah sesuatu yang harus ada untuk kemaslahatan manusia. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi kehidupan manusia akan menjadi kacau balau, kemaslahatan tidak tercapai, dan kebahagiaan ukhrawi tidak bakal dapat diraih. Kebutuhan sekunder merupakan kebutuhan yang sangat dibutuhkan manusia bukan untuk memelihara salah satu dari kebutuhan pokok yang lima, tetapi untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan kesempitan atau kekhawatiran dalam menjaga kelima kebutuhan pokok (Zahrah,1958: 371). Jika kebutuhan ini tidak ada, tidak sampai membawa tata aturan hidup manusia berantakan dan kacau, tetapi hanya membawa kesulitan. Oleh karena itu,prinsip utama kebutuhan sekunder ini adalah untuk menghilangkan kesulitan,meringankan beban taklif, dan memudahkan manusia dalam melakukan muamalahdan tukar-menukar manfaat (Yahya dan Fathurrahman, 1993: 335).
Adapun kebutuhan tertier merupakan kebutuhan pelengkap bagi manusia dalam menunjangpemenuhan kebutuhan primer dan sekunder. Tujuannya bukan untuk mewujudkan  eksistensi kebutuhan yang lima atau menghindari kesulitan dalam memeliharakebutuhan yang lima, akan tetapi untuk menghilangkan ketakutan dan menjagakemuliaan dalam memelihara kebutuhan yang lima (Zahrah, 1958: 372).

Pemenuhan terhadap kebutuhan tertier ini tidak berimplikasi adanya hukum wajib pada yang diperintah dan hukum haram pada yang dilarang sebagaimana yang berlaku pada duatingkat lainnya (dlaruriyyat dan hajjiyyat). Segala usaha untuk memenuhi kebutuhan tertier (tahsiniyyat) ini menimbulkan hukum sunnah dan pengabaian kebutuhan ini menimbulkan hukum makruh.
Mengenai keterkaitan antara 3 kebutuhan manusia tersebut diberikan contoh sebagai berikut: Seseorang diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan untuk memelihara eksistensi jiwanya. Manakala  suatu saat ia tidak mendapatkan makanan yang halal padahal ia akan mati kalau tidak makan, maka dalam kondisi tersebut ia dibolehkan memakan makanan yang diharamkan demi menjaga eksistensi jiwanya. Makan, dalam hal ini termasuk menjaga jiwa dalam peringkat dlaruriyat. Jadi harus didahulukan memelihara jiwa dalam peringkat dlaruriyat. Berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal termasuk memelihara jiwa dalam tingkatan hajiyat, karena jika hal ini tidak dilakukan, tidaklah mengancam eksistensi jiwa melainkan hanya mempersulit hidup kita. Ditetapkannya  tatacara makan dan minum termasuk dalam peringkat tahsiniyat.
Demikian  juga dalam memelihara keturunan (hifzh an-nasb), memelihara keturunan pada tingkatan dlaruriyat adalah dengan disyariatkannya nikah dan larangan berzina, pada tingkatan hajiyat ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar pada waktu akad nikah sedangkan pada tingkatan tahsiniyat adalah disyariatkannya khitbah dan walimah dalam pernikahan.

F.     Sumber Hukum Islam
Sumber Hukum Islam sesungguhnya hanya ada 2, yaitu Alquran dan Hadis. Dikarenakan hukum Islam dimaknai sebagai Pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf, maka sumber Hukum Islam mesti ditambah satu lagi, yaitu: Ijtihad. 
G.    Konstribusi Umat Islam Dalam Perumusan Dan Penegakan Hukum Di Indonesia
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia diawali dengan terbitnya Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang didalamnya terdapat rumusan Pancasila yang orisinil. Rumusan Pancasila yang orisinil tersebut adalah sila pertama Pancasila yang bunyi aslinya: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dikarenakan adanya tuntutan masyarakat Indonesia timur yang mayoritas non muslim yang diwakili oleh salah seorang Panitia Sembilan, A.A. Maramis, maka atas usulan Dr. Mohammad Hatta tujuh kata setelah kata Ketuhanan pun dihapus dan disetujui oleh seluruh Panitia Sembilan.  Jadilah bunyi sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada tahap selanjutnya diterbitkan pula banyak Undang-Undang yang mengatur tentang kehidupan umat Islam Indonesia, antara lain:
1.      Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2.      Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
3.      Undang-Undang No.13 Tahun 2008  tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
4.      Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
5.      Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh
  1. Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi
Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
7.      Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
  1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
  2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
  1. UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah 
H.    Fungsi Hukum Islam Dalam Kehidupan Bermasyarakat
Fungsi Hukum Islam secara umum ada 4, yaitu:
1.         Fungsi Ibadah
Fungsi Ibadah maksudnya adalah bahwa hukum Islam dalam arti Fiqih merupakan tuntunan tata cara beribadah kepada Allah seperti: bersuci, shalat, puasa, zakat, haji,jihad, penyelenggaraan jenazah, berzikir, membaca Alquran, nazar, dan sumpah.  Adapun hubungan baik dengan sesama manusia dipandang sebagai bentuk ibadah pula kepada Allah Swt seperti: Utang piutang, pinjam meminjam, jual beli, pernikahan, penegakkan hukum dalam bentuk pidana maupun perdata. Allah Swt. Berfirman Q.s. az-Zariyat/51: 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ 
 "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi   kepada-Ku".
2.         Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Fungsi ini ingin menjadikan manusia sebagai orang-orang yang selalu memberikan  nasehat dengan menyuruh  manusia lainnya untuk berbuat kebaikan dan mencegah  kemungkaran. Hal ini dikarenakan sesungguhnya "Agama itu adalah nasehat" (ad-din an-nashihah). Terminologi  lain  yang cukup popular adalah dakwah. Jadi, hukum Islam mengendaki umat Islam menjadi umat yang terbaik dengan mendakwahkan kebaikan terhadap orang lain. Allah Swt. berfirman dalam  Q.s. Ali Imran/3: 104:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ 
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung".
3.         Fungsi Zawajir (Hukuman untuk menjadikan Efek jera)
Sanski dalam hukum Islam bukan hanya sanksi hukuman dunia tetapi juga dengan ancaman sanksi akhirat dimaksudkan agar menjadikan efek jera dan takut  dalam melakukan kejahatan serta menjadi pelajaran bagi generasi sesudahnya.
4.         Fungsi tanzim wa ishlah al-ummah (organisasi dan rehabilitasi masyarakat)
Ketentuan hukum sanksi tersebut bukan sekedar sebagai batas ancaman dan untuk menakut-nakuti masyarakat saja akan tetapi juga untuk rehabilitasi dan pengorganisasian umat menjadi lebih baik. Dalam literature ilmu hukum hal ini dikenal dengan istilah engineering social.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar