Jumat, 14 Agustus 2015

Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Puasa Ramadhan


Bulan Ramadhan adalah bulan yang  mulia.   Kemuliaan bulan ini disebabkan  di dalamnya terkandung nilai Pendidikan yang luar biasa.  Tujuan pelaksanaan puasa Ramadhan adalah agar umat
Islam menjadi bertaqwa (Q.s. al-Baqarah/2: 183). Bukankah pencapaian taqwa  menjadi tujuan utama pendidikan? Meskipun demikian fenomena menunjukkan masih  banyak umat Islam yang belum sungguh-sungguh dalam beribadah sebagai bekal kematiannya, contohnya  shalat seseorang  yang belum dikerjakan  5 waktu alias bolong-bolong, perilaku  buruk  seseorang yang terus menerus dilakukan tanpa sadar sehingga belum ada indikasi  untuk berhenti termasuk juga  seseorang  yang belum dapat memberikan yang terbaik untuk orang di sekelilingnya. Kita telah berharap banyak terhadap institusi pendidikan yang kita ciptakan semacam sekolah, madrasah  maupun pondok pesantren untuk menjadikan manusia Indonesia menjadi bertaqwa dan segala macam embel-embelnya: berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 Bab II UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas).  Semua itu dapat diwujudkan jika kita dapat benar-benar merefleksikan puasa Ramadhan dari aspek pendidikan untuk menjadi bangsa yang maju dan bermartabat.
Lima Komponen Pendidikan dalam Puasa Ramadhan
Dalam pendidikan, sedikitnya ada lima komponen penting yang menjadi rukun pendidikan, yaitu: pendidik, peserta didik,  kurikulum, tujuan pendidikan dan  alat  pendidikan.  Tujuan pendidikan puasa adalah menjadikan manusia bertaqwa. Kurikulum ramadhan adalah berpuasa dengan segala rukun, syarat-syarat, sunnah-sunnah, hal-hal yang membatalkan puasa maupun segala perilaku yang meniadakan pahala puasa, membaca Al-Quran, qiyamul lail dan i’tikaf.  Alat pendidikan  Ramadhan adalah masjid, rumah sendiri, lingkungan alam yang terhampar luas ini termasuk diantaranya membayar fidyah dan kifarat sebagai hukuman  serta berita gembira berupa pahala dan syurga. Peserta didiknya adalah semua manusia yang menyatakan dirinya beriman, lalu siapa pendidiknya? Pendidiknya tidak lain adalah Tuhan sendiri, yaitu Allah Swt.
Landasan-Landasan Pendidikan Puasa Ramadhan
Allah Swt. menyebut diri-Nya pertama sekali adalah Rabb (Q.s. al-Alaq/96: 1-5). Rabb diartikan dengan pemelihara atau pendidik. Dari kata Rabb  itulah, Tuhan disebut Murabbi, derivasinya selanjutnya adalah Tarbiyah yang berarti pendidikan (Ramayulis, 2002: 56). Tuhan ingin mendidik manusia melalui kurikulum puasa Ramadhan. Pendidikan-Nya  dengan media puasa bukan tanpa alasan tapi karena sudah pernah dikerjakan oleh umat sebelum kita. Ini merupakan salah satu landasan pendidikan.  Menurut Ibnu Jarir at-Thabari, puasa pertama sekali diperintahkan kepada umat Nabi Nuh a.s setelah beliau dan kaumnya selamat dari banjir bandang. Nabi Daud  a.s. melanjutkan tradisi tersebut sehingga  Nabi Saw bersabda: “Sebaik-baik  puasa adalah puasa Nabi Daud, sehari berpuasa, sehari berbuka.” (HR. Muslim). Selanjutnya Nabi Musa as. dan kaumnya  mewarisi tradisi puasa, mereka telah   berpuasa selama 40 hari (Kitab Perjanjian Lama).    
  Turunnya wahyu  surah al-Baqarah/2: 183 pada tahun ke 2 H yang memerintahkan Puasa Ramadhan pada mulanya belumlah diwajibkan, hanya sebagai pilihan antara berpuasa atau membayar  fidyah bagi yang sakit, musafir atau mereka yang tidak kuat (Q.s. al-Baqarah/2: 184)  bahkan sebelum diutus menjadi Rasul, beliau berpuasa 3 hari setiap bulan, tetapi setelah turun wahyu Q.s. al-Baqarah/2: 185 barulah  umat Islam masa Nabi Saw diwajibkan   berpuasa karena menyaksikan bulan Ramadhan (Tafsir Ibnu Katsir: Maktabah Syamilah).
Selain itu, puasa Ramadhan pada mulanya diperintahkan Allah Swt. durasinya mencapai 22 jam karena setelah shalat Isya sudah berpuasa lagi. Akan tetapi setelah kejadian pada diri sahabat Umar bin Khattab bahwa  ia telah melanggar larangan berpuasa yakni berhubungan badan dengan isterinya pada malam hari.  Atas kejadian itu, lalu Umar menemui Rasulullah Saw,  maka turunlah ayat Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 187: “dihalalkan bagimu  pada malam hari puasa  untuk bercampur  dengan isterimu, mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka, Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri tetapi Dia menerima taubatmu dan memaafkanmu,  maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu.” Dengan turunnya ayat tersebut, maka durasi puasa Ramadhan seperti sekarang ini hanya ± 13 jam. Itulah tahapan-tahapan  puasa Ramadhan baik dari segi pewajibannya maupun dari segi durasinya.   Graduasi semacam inilah yang diterapkan dalam pendidikan sekarang ini, yakni pemberian  pembelajaran bertahap dari yang nyata menuju abstrak, dari yang mudah ke yang sulit, dari berita menggembirakan ke ancaman.
Allah Swt juga sangat menyayangi  dan lebih  tahu akan kebutuhan umatnya. Meskipun sudah diwajibkan berpuasa bagi siapa yang menyaksikan Ramadhan tetapi Ia tetap memberikan kelonggaran bagi orang-orang yang sakit, orang yang dalam perjalanan maupun mereka yang tidak kuat berpuasa untuk tidak berpuasa tetapi tentu menggantinya di hari lain atau juga membayar fidyah bagi yang tidak kuat (Q.s. al-Baqarah/2: 185).  Dalam landasan pada aspek psikologi pendidikan disebut penghargaaan perbedaan individual. Anak dipandang sebagai individu yang berbeda: dari segi latarbelakang orangtua, IQ, fisik dan karakter. Atas dasar perbedaan tersebut, seorang guru mesti memberikan pembelajaran yang berbeda pula. Antara anak yang cepat memahami pelajaran dengan yang lambat harus menjadi pertimbanagan guru dalam memberikan pelajaran misalnya dengan menyusun silabus dan RPP yang berbeda pula. Apalagi antara anak yang memiliki perbedaan karakter baik dan buruk. Perlakuaan terhadap mereka pun mesti dibedakan dalam proses pembelajaran. Inilah bentuk pembelajaran yang disebut  berbasis cinta dan kasih sayang.
Demikianlah Allah Swt. telah memberikan contoh bagaimana mendidik  manusia dengan benar. M. Quraish Shibab dalam bukumya Membumikan Al-Quran menjelaskan bahwa tujuan puasa Ramadhan adalah untuk meneladani  Allah Swt. dalam sifat-sifat-Nya. Di antara sifat-sifat Allah yang perlu diteladani adalah Rahman dan Rahim sehingga rahmat dan kasih sayang itu terasa  bagi seluruh makhluk Allah  (1992: 308-309).
Tuhan Sebagai Fasilitator Pendidikan Puasa Ramadhan
Dalam pendidikan puasa Ramadhan, Allah hanya memosisikan diri sebagai fasilitator bahkan keterlibatan-Nya dalan proses pendidikan ini boleh dibilang 0%. Ia hanya memberikan aturan dan  rambu-rambu yang  jelas yang bisa dijadikan panduan oleh pembelajar (orang yang sedang berpuasa) dalam menjalankan pembelajarannya. Aturan dan rambu-rambu itu adalah:  larangan-larangan bagi orang yang berpuasa ( perbuatan-perbuatan yang membatalkan puasa), sunnah-sunnah berpuasa (menyegerakan berbuka puasa, melambatkan makan sahur, bersedekah/memberikan perbukaan terhadap orang yang berpuasa, membaca al-Quran, berzikir, qiyamul lail, dan iktikaf),  perilaku yang meniadakan/menghapus pahala puasa seperti berdusta, menggunjing, berkata dan melakukan perbuatan sia-sia dan karakter-karakter buruk lainnya.  Justru yang penting  adalah hidden curiculum yang terkandung dalam puasa Ramadhan yaitu karakter  jujur, ikhlas, sabar, rendah hati, pemurah  dan karakter atau akhlak-akhlak luhur lainnya yang akan terbentuk setelah merenungi hikmah berpuasa. Karakter-karakter demikian sangat dibutuhkan untuk memajukan bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat setidaknya setara dengan bangsa-bangsa yang sudah maju di dunia. Betapa pendidikan puasa Ramadhan signifikan bagi pembentukan insan kamil (manusia sempurna). Signifikansi itu secara implisit teranalisis dari term “kutiba  dalam Q.s al-Baqarah/2: 183.  Menurut M.Quraish Shihab redaksi ini tidak menunjuk siapa pelaku yang mewajibkan. Ini mengisyaratkan betapa penting dan bermanfaat puasa itu bagi setiap orang bahkan kelompok orang sehingga seandainya bukan Allah yang mewajibkannya, niscaya manusia sendiri yang akan mewajibkannya atas dirinya sendiri (Tafsir al-Misbah jilid I, 2002 : 484-485).
  Outcome dari proses pendidikan puasa Ramadhan itu adalah taqwa termasuk di dalamnya akhlak yang luhur.  Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang orang yang paling banyak masuk syurga, beliau menjawab,”Taqwa kepada Allah dan keluhuran akhlak”. (H.R. at-Tirmizi dari Abu Hurairah). Dengan ketaqwaan dan kepribadian yang luhur itu menjadikan seseorang  Abundant Personality (pribadi yang melimpah), meminjam istilah Komaruddin Hidayat, artinya seseorang yang di manapun berada akan selalu memberi vibrasi dan dampak positif-konstruktif bagi orang lain (2003: 199).
Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas, sangatlah aneh jika kita lebih mengandalkan pendidikan di sekolah, madrasah ataupun pondok pesantren untuk membuat bangsa ini lebih maju dan bermartabat padahal gurunya adalah manusia biasa yang sifat buruknya lebih mendominasi daripada sifat baiknya. Pada gilirannya menyebabkan pendidikan kita telah gagal. Kita harus lebih meyakini betapa dahsyatnya hasil pendidikan puasa Ramadhan karena pendidiknya  saja adalah  langsung Allah Swt. Pendidikan puasa Ramadhan ini bukan saja penting bagi anak-anak sekarang untuk menyiapkan mereka sebagai penerus bagi pemimpin-pemimpin saat ini tetapi yang justru penting adalah menjadi   andragogi (pendidikan orang dewasa) saat ini pula untuk merubah segala perilaku buruk, tercela bahkan hina mereka  yang rakus dan tamak terhadap harta, tahta bahkan wanita. *Penulis adalah Pengawas Madrasah/PAI Kemenag Labuhanbatu Selatan, Alumnus PPs IAIN Sumatera Utara 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar