Islam menjadi bertaqwa (Q.s. al-Baqarah/2: 183). Bukankah pencapaian taqwa menjadi tujuan utama pendidikan? Meskipun demikian fenomena menunjukkan masih banyak umat Islam yang belum sungguh-sungguh dalam beribadah sebagai bekal kematiannya, contohnya shalat seseorang yang belum dikerjakan 5 waktu alias bolong-bolong, perilaku buruk seseorang yang terus menerus dilakukan tanpa sadar sehingga belum ada indikasi untuk berhenti termasuk juga seseorang yang belum dapat memberikan yang terbaik untuk orang di sekelilingnya. Kita telah berharap banyak terhadap institusi pendidikan yang kita ciptakan semacam sekolah, madrasah maupun pondok pesantren untuk menjadikan manusia Indonesia menjadi bertaqwa dan segala macam embel-embelnya: berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 Bab II UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas). Semua itu dapat diwujudkan jika kita dapat benar-benar merefleksikan puasa Ramadhan dari aspek pendidikan untuk menjadi bangsa yang maju dan bermartabat.
Lima
Komponen Pendidikan dalam Puasa Ramadhan
Dalam pendidikan, sedikitnya ada lima komponen penting
yang menjadi rukun pendidikan, yaitu: pendidik, peserta didik, kurikulum, tujuan pendidikan dan alat pendidikan. Tujuan pendidikan puasa adalah menjadikan
manusia bertaqwa. Kurikulum ramadhan adalah berpuasa dengan segala rukun,
syarat-syarat, sunnah-sunnah, hal-hal yang membatalkan puasa maupun segala
perilaku yang meniadakan pahala puasa, membaca Al-Quran, qiyamul lail dan
i’tikaf. Alat pendidikan Ramadhan adalah masjid, rumah sendiri,
lingkungan alam yang terhampar luas ini termasuk diantaranya membayar fidyah dan
kifarat sebagai hukuman serta berita
gembira berupa pahala dan syurga. Peserta didiknya adalah semua manusia yang
menyatakan dirinya beriman, lalu siapa pendidiknya? Pendidiknya tidak lain
adalah Tuhan sendiri, yaitu Allah Swt.
Landasan-Landasan
Pendidikan Puasa Ramadhan
Allah Swt. menyebut diri-Nya pertama sekali adalah Rabb
(Q.s. al-Alaq/96: 1-5). Rabb diartikan dengan pemelihara atau pendidik. Dari
kata Rabb itulah, Tuhan disebut
Murabbi, derivasinya selanjutnya adalah Tarbiyah yang berarti
pendidikan (Ramayulis, 2002: 56). Tuhan ingin mendidik manusia melalui
kurikulum puasa Ramadhan. Pendidikan-Nya dengan media puasa bukan tanpa alasan tapi
karena sudah pernah dikerjakan oleh umat sebelum kita. Ini merupakan salah satu
landasan pendidikan. Menurut Ibnu Jarir
at-Thabari, puasa pertama sekali diperintahkan kepada umat Nabi Nuh a.s setelah
beliau dan kaumnya selamat dari banjir bandang. Nabi Daud a.s. melanjutkan tradisi tersebut sehingga Nabi Saw bersabda: “Sebaik-baik puasa adalah puasa Nabi Daud, sehari
berpuasa, sehari berbuka.” (HR. Muslim). Selanjutnya Nabi Musa as. dan
kaumnya mewarisi tradisi puasa, mereka
telah berpuasa selama 40 hari (Kitab Perjanjian Lama).
Turunnya wahyu surah al-Baqarah/2: 183 pada tahun ke 2 H yang
memerintahkan Puasa Ramadhan pada mulanya belumlah diwajibkan, hanya sebagai
pilihan antara berpuasa atau membayar fidyah bagi yang sakit, musafir atau mereka
yang tidak kuat (Q.s. al-Baqarah/2: 184)
bahkan sebelum diutus menjadi Rasul, beliau berpuasa 3 hari setiap bulan,
tetapi setelah turun wahyu Q.s. al-Baqarah/2: 185 barulah umat Islam masa Nabi Saw diwajibkan berpuasa karena menyaksikan bulan Ramadhan
(Tafsir Ibnu Katsir: Maktabah Syamilah).
Selain itu, puasa Ramadhan pada mulanya diperintahkan
Allah Swt. durasinya mencapai 22 jam karena setelah shalat Isya sudah berpuasa
lagi. Akan tetapi setelah kejadian pada diri sahabat Umar bin Khattab bahwa ia telah melanggar larangan berpuasa yakni berhubungan
badan dengan isterinya pada malam hari.
Atas kejadian itu, lalu Umar menemui Rasulullah Saw, maka turunlah ayat Al-Quran surah Al-Baqarah
ayat 187: “dihalalkan bagimu pada malam
hari puasa untuk bercampur dengan isterimu, mereka adalah pakaian bagimu
dan kamu adalah pakaian bagi mereka, Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat
menahan dirimu sendiri tetapi Dia menerima taubatmu dan memaafkanmu, maka sekarang campurilah mereka dan carilah
apa yang telah ditetapkan Allah bagimu.” Dengan turunnya ayat tersebut, maka
durasi puasa Ramadhan seperti sekarang ini hanya ± 13 jam. Itulah
tahapan-tahapan puasa Ramadhan baik dari
segi pewajibannya maupun dari segi durasinya. Graduasi semacam inilah yang
diterapkan dalam pendidikan sekarang ini, yakni pemberian pembelajaran bertahap dari yang nyata menuju
abstrak, dari yang mudah ke yang sulit, dari berita menggembirakan ke ancaman.
Allah Swt juga sangat menyayangi dan lebih tahu akan kebutuhan umatnya. Meskipun sudah
diwajibkan berpuasa bagi siapa yang menyaksikan Ramadhan tetapi Ia tetap
memberikan kelonggaran bagi orang-orang yang sakit, orang yang dalam perjalanan
maupun mereka yang tidak kuat berpuasa untuk tidak berpuasa tetapi tentu
menggantinya di hari lain atau juga membayar fidyah bagi yang tidak kuat (Q.s.
al-Baqarah/2: 185). Dalam landasan pada
aspek psikologi pendidikan disebut penghargaaan perbedaan individual. Anak
dipandang sebagai individu yang berbeda: dari segi latarbelakang orangtua, IQ,
fisik dan karakter. Atas dasar perbedaan tersebut, seorang guru mesti
memberikan pembelajaran yang berbeda pula. Antara anak yang cepat memahami
pelajaran dengan yang lambat harus menjadi pertimbanagan guru dalam memberikan
pelajaran misalnya dengan menyusun silabus dan RPP yang berbeda pula. Apalagi
antara anak yang memiliki perbedaan karakter baik dan buruk. Perlakuaan
terhadap mereka pun mesti dibedakan dalam proses pembelajaran. Inilah bentuk
pembelajaran yang disebut berbasis cinta
dan kasih sayang.
Demikianlah Allah Swt. telah memberikan contoh bagaimana
mendidik manusia dengan benar. M.
Quraish Shibab dalam bukumya Membumikan Al-Quran menjelaskan bahwa
tujuan puasa Ramadhan adalah untuk meneladani Allah Swt. dalam sifat-sifat-Nya. Di antara
sifat-sifat Allah yang perlu diteladani adalah Rahman dan Rahim
sehingga rahmat dan kasih sayang itu terasa
bagi seluruh makhluk Allah (1992:
308-309).
Tuhan
Sebagai Fasilitator Pendidikan Puasa Ramadhan
Dalam pendidikan puasa Ramadhan, Allah hanya memosisikan
diri sebagai fasilitator bahkan keterlibatan-Nya dalan proses pendidikan ini
boleh dibilang 0%. Ia hanya memberikan aturan dan rambu-rambu yang jelas yang bisa dijadikan panduan oleh
pembelajar (orang yang sedang berpuasa) dalam menjalankan pembelajarannya. Aturan
dan rambu-rambu itu adalah: larangan-larangan
bagi orang yang berpuasa ( perbuatan-perbuatan yang membatalkan puasa), sunnah-sunnah
berpuasa (menyegerakan berbuka puasa, melambatkan makan sahur, bersedekah/memberikan
perbukaan terhadap orang yang berpuasa, membaca al-Quran, berzikir, qiyamul
lail, dan iktikaf), perilaku yang meniadakan/menghapus
pahala puasa seperti berdusta, menggunjing, berkata dan melakukan perbuatan
sia-sia dan karakter-karakter buruk lainnya. Justru yang penting adalah hidden curiculum yang terkandung
dalam puasa Ramadhan yaitu karakter jujur,
ikhlas, sabar, rendah hati, pemurah dan
karakter atau akhlak-akhlak luhur lainnya yang akan terbentuk setelah merenungi
hikmah berpuasa. Karakter-karakter demikian sangat dibutuhkan untuk memajukan
bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat setidaknya setara dengan bangsa-bangsa
yang sudah maju di dunia. Betapa pendidikan puasa Ramadhan signifikan bagi
pembentukan insan kamil (manusia sempurna). Signifikansi itu secara implisit
teranalisis dari term “kutiba” dalam
Q.s al-Baqarah/2: 183. Menurut M.Quraish
Shihab redaksi ini tidak menunjuk siapa pelaku yang mewajibkan. Ini
mengisyaratkan betapa penting dan bermanfaat puasa itu bagi setiap orang bahkan
kelompok orang sehingga seandainya bukan Allah yang mewajibkannya, niscaya
manusia sendiri yang akan mewajibkannya atas dirinya sendiri (Tafsir al-Misbah
jilid I, 2002 : 484-485).
Outcome dari proses pendidikan puasa
Ramadhan itu adalah taqwa termasuk di dalamnya akhlak yang luhur. Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang orang
yang paling banyak masuk syurga, beliau menjawab,”Taqwa kepada Allah dan
keluhuran akhlak”. (H.R. at-Tirmizi dari Abu Hurairah). Dengan ketaqwaan dan
kepribadian yang luhur itu menjadikan seseorang
Abundant Personality (pribadi yang melimpah), meminjam istilah
Komaruddin Hidayat, artinya seseorang yang di manapun berada akan selalu
memberi vibrasi dan dampak positif-konstruktif bagi orang lain (2003: 199).
Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas, sangatlah aneh jika kita
lebih mengandalkan pendidikan di sekolah, madrasah ataupun pondok pesantren
untuk membuat bangsa ini lebih maju dan bermartabat padahal gurunya adalah
manusia biasa yang sifat buruknya lebih mendominasi daripada sifat baiknya. Pada
gilirannya menyebabkan pendidikan kita telah gagal. Kita harus lebih meyakini
betapa dahsyatnya hasil pendidikan puasa Ramadhan karena pendidiknya saja adalah
langsung Allah Swt. Pendidikan puasa Ramadhan ini bukan saja penting
bagi anak-anak sekarang untuk menyiapkan mereka sebagai penerus bagi
pemimpin-pemimpin saat ini tetapi yang justru penting adalah menjadi andragogi (pendidikan orang dewasa)
saat ini pula untuk merubah segala perilaku buruk, tercela bahkan hina mereka yang rakus dan tamak terhadap harta, tahta
bahkan wanita. *Penulis adalah Pengawas Madrasah/PAI Kemenag Labuhanbatu Selatan, Alumnus PPs IAIN Sumatera Utara 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar