Minggu, 05 Maret 2017

Makna Ulama Menurut al-Quran




A.            Makna 'Ulama Menurut Al-Quran
Pada kajian  terdahulu  telah dijelaskan orang yang berilmu pengetahuan digolongkan menjadi 2 yaitu: Orang yang ilmunya luas (بسطة فى العلم) dan orang yang dalam ilmunya   (العلم فى الراشخون).


 Terdapat satu istilah lagi tentang orang berilmu yaitu: 'Ulama (علماء). Bagaimanakah hubungan ketiga term tersebut?

Akhir-akhir ini kita sering disuguhkan berita-berita tentang  keberadaan dan kelebihan 'Ulama  yang terhimpun dalam organisasi  Islam seperti  MUI , NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, Perti maupun  FPI (Front Pembela Islam) dan organisasi-organisasi keislaman lainnya.  Banyak yang menyanjungnya  dan tidak sedikit juga yang menjelekkannya karena berseberangan pendapatnya dengan mayoritas 'Ulama. Terkotaknya posisi 'Ulama itu berkaitan dan seiring dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak di beberapa daerah di Indonesia baik  gubernur maupun bupati khususnya pilgub DKI Jakarta. Dikarenakan  permasalahan itu kita lupa tentang esensi 'Ulama yang sebenarnya.
Masih banyak di antara kita yang memaknai 'Ulama sebagai orang-orang yang paham tentang ilmu agama saja. Memang berita menghebohkan  tentang  'Ulama di atas menyinggung  posisi 'Ulama yang ahli di bidang agama saja karena permasalahan yang muncul adalah berkaitan dengan isu 'penistaaan agama' yang diduga dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta: Basuki Cahya Purnama alias Ahok yang sampai saat ini sidang terhadapnya masih terus berjalan. Lalu, apakah makna 'Ulama sebenarnya?
Kata 'Ulama ( علماء)adalah bentuk jamak dari  kata 'Alima (  عالم) artinya  mengetahui secara jelas. Istilah 'Ulama adalah murni istilah Al-Quran dan Hadis bukan istilah bahasa Indonesia sehingga memaknainya pun mestilah dari pembicaraan Al-Quran dan Hadis.
Istilah 'Ulama dalam Al-Quran hanya disebutkan 2x saja, yakni dalam Q.s. asy-Syu'ara/26: 196-197 dan Q.s. Fatir/35: 27-28.
1.             Q.s. asy-Syu'ara/26: 196-197
وَإِنَّهُ لَفِي زُبُرِ الْأَوَّلِينَ (196) أَوَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ آيَةً أَنْ يَعْلَمَهُ عُلَمَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ (197)
Dan Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar (tersebut) dalam Kitab-Kitab orang yang dahulu. dan Apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa Para ulama Bani Israil mengetahuinya?
Pada ayat di atas, Allah Swt menyebutkan 'Ulama bani Israil. Dalam tafsir Al-Maraghi dijelaskan bahwa  Kitab Al-Quran telah disebut-sebut dalam kitab sebelumnya seperti perkataan Nabi Isa yang memberi kabar gembira  dengan datangnya seorang Rasul  yang akan datang sesudahku yang namanya Ahmad (Muhammad) yang dimuat Al-Quran dalam ash-Shaf ayat 6.  Mengapa orang-orang kafir quraisy belum juga yakin tentang Al-Quran padahal 'Ulama bani Israil  telah mengetahui bahwa Al-Quran itu diiturunkan kepada nabi Muhammad. (Tafsir Al-Maraghi, juz IV: 105).
Dalam Tafsir Sayyid Qutb juga dijelaskan bahwa  sifat-sifat Rasulullah  telah diterangkan dalam kitab-kitab terdahulu. 'Ulama bani Israil menunggu-nunggu kedatangan risalah tersebut serta menunggu kedatangan Rasulullah Saw. Mereka selalu memperbincangkan di kalangan mereka seperti apa yang diterangkan oleh Salman al-Farisi dan Abdullah bin Salam. Mereka yakin betul tentang berita akan datangnya nabi Muhammad Saw. (Tafsir fi Zilal al-Quran, Maktabah Syamilah).
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas penyebutan  'Ulama yang diringi dengan bani Israil  berarti bahwa 'Ulama dimaknai sebagai orang yang mengetahui secara mendalam tentang ayat-ayat Allah yang bersifat tertulis (Qauliyah).
2.             Q.s Fatir/35: 27-28 :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ (27) وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (28)
"Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.  Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Para mufasir berpendapat bahwa kedua ayat di atas:  ayat 27 dan 28  merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Hubungan tersebut dalam 'Ulum al-Quran disebut Munasabah antar ayat dalam satu surah. Sayyid Qutb mengemukakan  bahwa dengan ungkapan keanekaragaman alam, gunung-gunung, hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan dan yang lainnya itu untuk dipikirkan  oleh seseorang yang membawanya kepada khasyah kepada Allah.  Dengan demikian seorang 'Ulama itu adalah  orang yang membaca, merenungkan dan memikirkan alam kauniyah yang luas ini yang dapat melahirkan pengenalan yang mendalam kepada Allah. Pengenalan kepada Allah itu melahirkan rasa takut yang sesungguhnya kepada Allah Swt. Selanjutnya dari rasa takut yang sesungguhnya itu lahirlah pengabdian yang sesungguhnya kepada Allah (Tafsir fi Zilal al-Quran, Maktabah Syamilah).
Merujuk  Q.s. Fatir/35: 27-28 ini  yang disebut 'Ulama adalah  orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah yang tercipta dan fenomena alam (Kauniyah) (Quraish Shihab, 1985: 3). Argumentasinya adalah karena ayat ini  berkaitan dengan turunnya hujan dari langit, beraneka ragam buah-buahan, gunung-gunung, binatang dan manusia yang kemudian diakhiri dengan pernyataan bahwa sesungguhnya yang takut kepada Allah  di antara hamba-hamba-Nya hanyalah 'Ulama.
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa 'Ulama  adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan agama  saja sudah terbantahkan oleh Q.s. Fatir/35: 27-28.                M. Quraish Shihab kembali menegaskan bahwa siapa pun yang memiliki pengetahuan dan dalam disiplin apa pun pengetahuan itu, maka ia dapat dinamai 'alim. Dari konteks ayat ini pun, kita dapat memeroleh kesan bahwa ilmu yang disandang oleh 'Ulama itu adalah ilmu yang  berkaitan dengan fenomena alam (Tafsir al-Misbah Jilid 11, 2002: 61-62).
Berdasarkan penjelasan-penjelasan Al-Quran di atas, yang disebut 'Ulama adalah:
1.       Orang-orang yang  mendalam ilmunya tentang Kitab-kitab Allah yang tertulis (Qouliyah). Golongan ini terdiri dari  para sarjana agama (khusus berpengetahuan agama) seperti: ahli hukum Islam/fiqih, dakwah Islam, ushuluddin, pendidikan Islam, tafsir/ilmu tafsir dan Hadis/ilmu hadis (Kesimpulan Q.s. asy-Syu'ara/26: 196-197), dan/atau
2.      Orang yang luas ilmunya tentang fenomena dan gejala alam atau ahli tentang ayat-ayat Allah yang tercipta yang terbentang luas di alam semesta ini.   Golongan ini terdiri dari para sarjana fisika, kimia, biologi, kedokteran, astronomi, geologi, pertanian, sosiologi, psikologi, antropologi, umumnya sarjana ilmu-ilmu alam/natural science, ilmu-ilmu sosial/social science dan humaniora (Kesimpulan Q.s. Fatir/35: 27-28).
Khusus untuk golongan yang ke-2 ini, Haidar Putra Daulay mengemukakan bahwa mereka dapat disebut 'Ulama dengan syarat memiliki rasa khasy-yah kepada Allah yang tumbuh setelah terlebih dahulu memiliki Iman, Islam dan Ihsan (2004: 47-49). Jadi, menurut Q.s. Fatir/35: 27-28 ini, seorang 'Ulama tidak cukup memiliki keluasan ilmu tetapi mesti juga dalam ilmunya yang ditandai dengan takutnya (Khasy-yah) kepada Allah sebagai salah satu makna Taqwa.
Istilah Khas-yah (  الخشية)  menurut Manna' Khalil al-Qattan diartikan rasa takut yang totalitas yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun pihak yang mengalami rasa takut itu seorang yang kuat. Berbeda dengan istilah al-Khauf (  الخوف), ini diartikan rasa takut yang timbul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendatipun pihak yang ditakuti itu adalah hal yang kecil. Oleh karenanya kata (  الخشية) sering dipergunakan berkenaan dengan hak Allah (Mabahis fi Ulum al-Quran, Maktabah Syamilah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar