A.
Makna 'Ulama Menurut Al-Quran
Pada kajian terdahulu telah dijelaskan orang yang berilmu
pengetahuan digolongkan menjadi 2 yaitu: Orang yang ilmunya luas
(بسطة فى العلم) dan orang yang dalam ilmunya (العلم
فى الراشخون).
Terdapat satu istilah lagi tentang orang berilmu yaitu: 'Ulama (علماء). Bagaimanakah hubungan ketiga term tersebut?
Terdapat satu istilah lagi tentang orang berilmu yaitu: 'Ulama (علماء). Bagaimanakah hubungan ketiga term tersebut?
Akhir-akhir ini kita
sering disuguhkan berita-berita tentang
keberadaan dan kelebihan 'Ulama yang terhimpun dalam organisasi Islam seperti MUI , NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad,
Perti maupun FPI (Front Pembela Islam)
dan organisasi-organisasi keislaman lainnya. Banyak yang menyanjungnya dan tidak sedikit juga yang menjelekkannya
karena berseberangan pendapatnya dengan mayoritas 'Ulama. Terkotaknya posisi 'Ulama
itu berkaitan dan seiring dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara
serentak di beberapa daerah di Indonesia baik
gubernur maupun bupati khususnya pilgub DKI Jakarta. Dikarenakan permasalahan itu kita lupa tentang esensi
'Ulama yang sebenarnya.
Masih banyak di antara
kita yang memaknai 'Ulama sebagai orang-orang yang paham tentang ilmu agama
saja. Memang berita menghebohkan
tentang 'Ulama di atas
menyinggung posisi 'Ulama yang ahli di
bidang agama saja karena permasalahan yang muncul adalah berkaitan dengan isu
'penistaaan agama' yang diduga dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta: Basuki Cahya
Purnama alias Ahok yang sampai saat ini sidang terhadapnya masih terus
berjalan. Lalu, apakah makna 'Ulama sebenarnya?
Kata 'Ulama ( علماء)adalah bentuk jamak dari
kata 'Alima ( عالم)
artinya mengetahui secara jelas. Istilah
'Ulama adalah murni istilah Al-Quran dan Hadis bukan istilah bahasa Indonesia
sehingga memaknainya pun mestilah dari pembicaraan Al-Quran dan Hadis.
Istilah 'Ulama dalam
Al-Quran hanya disebutkan 2x saja, yakni dalam Q.s. asy-Syu'ara/26: 196-197 dan
Q.s. Fatir/35: 27-28.
1.
Q.s. asy-Syu'ara/26:
196-197
وَإِنَّهُ
لَفِي زُبُرِ الْأَوَّلِينَ (196) أَوَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ آيَةً أَنْ يَعْلَمَهُ
عُلَمَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ (197)
Dan Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar (tersebut)
dalam Kitab-Kitab orang yang dahulu. dan Apakah tidak cukup menjadi bukti bagi
mereka, bahwa Para ulama Bani Israil mengetahuinya?
Pada ayat di atas,
Allah Swt menyebutkan 'Ulama bani Israil. Dalam tafsir Al-Maraghi dijelaskan
bahwa Kitab Al-Quran telah disebut-sebut
dalam kitab sebelumnya seperti perkataan Nabi Isa yang memberi kabar
gembira dengan datangnya seorang
Rasul yang akan datang sesudahku yang
namanya Ahmad (Muhammad) yang dimuat Al-Quran dalam ash-Shaf ayat 6. Mengapa orang-orang kafir quraisy belum juga
yakin tentang Al-Quran padahal 'Ulama bani Israil telah mengetahui bahwa Al-Quran itu
diiturunkan kepada nabi Muhammad. (Tafsir Al-Maraghi, juz IV: 105).
Dalam Tafsir Sayyid
Qutb juga dijelaskan bahwa sifat-sifat
Rasulullah telah diterangkan dalam
kitab-kitab terdahulu. 'Ulama bani Israil menunggu-nunggu kedatangan risalah
tersebut serta menunggu kedatangan Rasulullah Saw. Mereka selalu
memperbincangkan di kalangan mereka seperti apa yang diterangkan oleh Salman
al-Farisi dan Abdullah bin Salam. Mereka yakin betul tentang berita akan
datangnya nabi Muhammad Saw. (Tafsir fi Zilal al-Quran, Maktabah Syamilah).
Berdasarkan
penjelasan-penjelasan di atas penyebutan
'Ulama yang diringi dengan bani Israil
berarti bahwa 'Ulama dimaknai sebagai orang yang mengetahui secara
mendalam tentang ayat-ayat Allah yang bersifat tertulis (Qauliyah).
2.
Q.s Fatir/35:
27-28 :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ
مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا
وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ
سُودٌ (27) وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ
كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ
عَزِيزٌ غَفُورٌ (28)
"Tidakkah
kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan
dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. dan di antara
gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya
dan ada (pula) yang hitam pekat. dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.
Para mufasir
berpendapat bahwa kedua ayat di atas: ayat 27 dan 28 merupakan satu kesatuan yang tak bisa
dipisahkan. Hubungan tersebut dalam 'Ulum al-Quran disebut Munasabah antar ayat
dalam satu surah. Sayyid Qutb mengemukakan
bahwa dengan ungkapan keanekaragaman alam, gunung-gunung, hewan-hewan,
tumbuh-tumbuhan dan yang lainnya itu untuk dipikirkan oleh seseorang yang membawanya kepada khasyah
kepada Allah. Dengan demikian seorang
'Ulama itu adalah orang yang membaca,
merenungkan dan memikirkan alam kauniyah yang luas ini yang dapat melahirkan
pengenalan yang mendalam kepada Allah. Pengenalan kepada Allah itu melahirkan
rasa takut yang sesungguhnya kepada Allah Swt. Selanjutnya dari rasa takut yang
sesungguhnya itu lahirlah pengabdian yang sesungguhnya kepada Allah (Tafsir fi
Zilal al-Quran, Maktabah Syamilah).
Merujuk Q.s. Fatir/35: 27-28 ini yang disebut 'Ulama adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang
ayat-ayat Allah yang tercipta dan fenomena alam (Kauniyah) (Quraish Shihab,
1985: 3). Argumentasinya adalah karena ayat ini
berkaitan dengan turunnya hujan dari langit, beraneka ragam buah-buahan,
gunung-gunung, binatang dan manusia yang kemudian diakhiri dengan pernyataan
bahwa sesungguhnya yang takut kepada Allah
di antara hamba-hamba-Nya hanyalah 'Ulama.
Dengan demikian,
pendapat yang mengatakan bahwa 'Ulama adalah
orang-orang yang memiliki pengetahuan agama
saja sudah terbantahkan oleh Q.s. Fatir/35: 27-28. M. Quraish Shihab kembali menegaskan
bahwa siapa pun yang memiliki pengetahuan dan dalam disiplin apa pun
pengetahuan itu, maka ia dapat dinamai 'alim. Dari konteks ayat ini pun, kita
dapat memeroleh kesan bahwa ilmu yang disandang oleh 'Ulama itu adalah ilmu
yang berkaitan dengan fenomena alam
(Tafsir al-Misbah Jilid 11, 2002: 61-62).
Berdasarkan
penjelasan-penjelasan Al-Quran di atas, yang disebut 'Ulama adalah:
1.
Orang-orang yang mendalam ilmunya tentang Kitab-kitab Allah
yang tertulis (Qouliyah). Golongan ini terdiri dari para sarjana agama (khusus berpengetahuan
agama) seperti: ahli hukum Islam/fiqih, dakwah Islam, ushuluddin, pendidikan
Islam, tafsir/ilmu tafsir dan Hadis/ilmu hadis (Kesimpulan Q.s. asy-Syu'ara/26: 196-197), dan/atau
2.
Orang yang
luas ilmunya tentang fenomena dan gejala alam atau ahli tentang ayat-ayat
Allah yang tercipta yang terbentang luas di alam semesta ini. Golongan ini
terdiri dari para sarjana fisika, kimia, biologi, kedokteran, astronomi, geologi, pertanian, sosiologi, psikologi,
antropologi, umumnya sarjana ilmu-ilmu alam/natural science, ilmu-ilmu sosial/social
science dan humaniora (Kesimpulan Q.s. Fatir/35: 27-28).
Khusus untuk golongan
yang ke-2 ini, Haidar Putra Daulay mengemukakan bahwa mereka dapat disebut
'Ulama dengan syarat memiliki rasa khasy-yah kepada Allah yang tumbuh setelah
terlebih dahulu memiliki Iman, Islam dan Ihsan (2004: 47-49). Jadi, menurut Q.s. Fatir/35: 27-28 ini, seorang 'Ulama tidak cukup memiliki keluasan ilmu tetapi mesti juga dalam ilmunya yang ditandai dengan takutnya (Khasy-yah) kepada Allah sebagai salah satu makna Taqwa.
Istilah Khas-yah ( الخشية) menurut Manna' Khalil al-Qattan diartikan rasa takut yang totalitas yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun pihak yang mengalami rasa takut itu seorang yang kuat. Berbeda dengan istilah al-Khauf ( الخوف), ini diartikan rasa takut yang timbul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendatipun pihak yang ditakuti itu adalah hal yang kecil. Oleh karenanya kata ( الخشية) sering dipergunakan berkenaan dengan hak Allah (Mabahis fi Ulum al-Quran, Maktabah Syamilah).
Istilah Khas-yah ( الخشية) menurut Manna' Khalil al-Qattan diartikan rasa takut yang totalitas yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun pihak yang mengalami rasa takut itu seorang yang kuat. Berbeda dengan istilah al-Khauf ( الخوف), ini diartikan rasa takut yang timbul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendatipun pihak yang ditakuti itu adalah hal yang kecil. Oleh karenanya kata ( الخشية) sering dipergunakan berkenaan dengan hak Allah (Mabahis fi Ulum al-Quran, Maktabah Syamilah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar