
Setelah calon pemimpin melakukan orasi ilmiah untuk menyampaikan visi misinya dan dilakukan tes baik lisan maupun tertulis,
maka untuk membuktikan keilmuannya tahap berikutnya adalah:
Ketiga,
menyusun karya tulis ilmiah. Kemampuan menyusun karya tulis ilmiah merupakan
salah satu bukti seseorang itu berilmu. Oleh karena itulah, setiap calon
sarjana mesti membuat karya tulis ilmiah yang disebut skripsi, tesis untuk S.2
dan disertasi untuk jenjang S.3. Apalagi seorang calon pemimpin, kempetensi ini
mesti ditunjukkan untuk membuktikan keilmuannya karena dengan terbiasa menulis
seseorang lebih bisa berpikir logis, obyektif, kritis dan sistematis. Seorang
pemimpin haruslah memiliki metode berpikir demikian. Logis dimaksudkan seorang
pemimpin menyintai kebenaran, berpihak pada kebenaran dan melakukan kebenaran.
Obyektif dimaksudkan agar dapat menemukan masalah secara riel atau berdasarkan
fakta untuk mengatasi permasalahan itu. Kritis dimaksudkan supaya pemimpin
tidak mudah menerima bisikan/pengaruh buruk dari orang-orang yang dekat ataupun
orang lain yang tak ingin perubahan (progres) pembangunan dan sistematis
dimaksudkan agar pemimpin dapat memilih dan memilah mana program yang prioritas
yang berpihak pada kepentingan dan kebaikan orang banyak sehingga perlu
didahulukan atau hanya untuk orang-orang tertentu.
Memang, harus diakui tidaklah mudah menyusun karya
tulis ilmiah. Seseorang boleh mampu menyampaikan orasi ilmiah dan berhasil dalam tes lisan dan tertulis
tetapi belum tentu bisa melewati tahapan ini. Hal ini disebabkan kebanyakan
mereka tidak terbiasa menulis. Menulis hanya bisa dilakukan oleh mereka yang
terbiasa membaca dan boleh dibilang 'kutu buku'. Marijan (2011:
42-56) menjelaskan rendahnya
minat baca menjadi penghambat seseorang untuk menulis karya ilmiah.
Selain itu karena motivasi menulis rendah.
Karya tulis ilmiah mestilah orisinil bukan plagiat atau copy paste dari karya orang lain
karena jika demikian merupakan pertanda calon pemimpin yang tak jujur atau tak integrated.
Banyak sarjana, magister bahkan doktor sekalipun karyanya berhenti sampai skripsi, tesis
dan disertasinya masing-masing. Inilah
salah satu kelemahan sarjana-sarjana di negeri kita dibandingkan dengan
sarjana-sarjana luar negeri seperti Jepang, Amerika dan negara eropa lainnya
sehingga tidak dapat menghasilkan karya ilmiah yang memacu keberhasilan di
bidang teknologi.
Dalam sejarah Islam, budaya menulis telah
dilakukan sejak masa Rasulullah Saw masih hidup bahkan Nabi Saw mengangkat penulis wahyu al-Quran seperti
Ali bin Abi Thalib, Mu'awiyah, 'Ubay bin Ka'ab dan Zaid bin Sabit.
Sahabat-sahabat Nabi tersebut menuliskan ayat-ayat al-Quran pada pelepah kurma,
lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang
belulang binatang (Manna' Khalil al-Qattan, Maktabah Syamilah).
Zait bin Sabit berkata, ''Kami menyusun al-Quran di hadapan Rasulullah pada
kulit binatang."(H.R. al-Hakim). Dengan demkian, seandainya tidak
ada budaya tulis dalam Islam, tentu umat Islam tidak akan berkembang karena wahyu Allah tidak pernah ada. Dikarenakan budaya tulis itulah,
Islam jaya pada dinasti Abbasiyah dan Umayyah II dengan munculnya
filosof-filosof muslim seperti Ar-Razi, Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu
Khaldun, Al-Faraby, Ibnu Rusyd dan lain-lain.
Keempat, munazarah. Munazarah dimaknai dengan debat atau
perbincangan dua pihak yang bertujuan untuk mempertahankan hujahnya yang benar
dan membatalkan hujah saudaranya dengan keinginan kedua belah pihak sebagai
metode pencarian kebenaran (Hasan Asari, 2012: 139). Tentu munazarah yang
kita maksud bukanlah perdebatan kajian keagamaan atau bahkan hukum Islam
tetapi debat tentang materi yang aktual
dan riel berkaitan dengan kepemimpinan dan kemaslahan umat. Munazarah dilakukan
setelah calon pemimpin menyusun karya tulis ilmiah. Debat ilmiah tidak
signifkan jika tidak berdasarkan karya
tulis ilmiah yang telah disusunnya. Debat yang tidak mengacu pada karya tulis ilmiah adalah illegal dan disebut
debat kusir. Tahapan ini (munazarah) seharusnya juga diujikan terhadap calon-calon Bupati, Gubernur maupun
Presiden. Memang Komisi Pemilihan Umum
(KPU) melakukannya yang dikemas dalam acara “Debat Publik” yang disiarkan di televisi
tapi saya yakin acara itu tidak didasarkan atas karya ilmiah yang ditulis oleh
para calon. Maka proses lainnya adalah Fit and Proper Test. Tampaknya uji kelayakan dan kepatutan ini mesti
juga diujikan oleh KPU terhadap mereka karena uji publik yang satu ini didasarkan
pada karya tulis ilmiah. Jadi bukan
hanya diperuntukkan bagi calon-calon pejabat Pemerintah yang akan diangkat oleh
Presiden saja. Demikian juga semestinya
mekanisme ini dapat dibudayakan
dalam rangka pemilihan kepemimpinan lainnya
pada jabatan-jabatan struktural (eselon) bawahan Bupati, Gubernur dan Presiden.
Dalam Islam, metode debat ini sudah diajarkan oleh
Allah Swt. dalam Q.s. al-Ankabut/29: 61 sebagai berikut:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
''Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada
mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari
dan bulan?" tentu mereka akan menjawab: "Allah", Maka betapakah
mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)''.
Masih ada ayat-ayat al-Quran yang senada dengan
ayat di atas, misalnya: Q.s al-Ankabut/29: 63, Q.s. Luqman/31: 25 dan Q.s az-Zukhruf/43: 87.Surah-surah tertulis dalam
struktur : “jika engkau (Muhammad) bertanya... mereka akan
menjawab”. Ayat-ayat lain menempatkan rasul sebagai pihak yang
ditanya, terkadang oleh umatnya sendiri, tapi tak jarang oleh orang-orang
kafir. Dengan menyadari pesan ayat-ayat di atas, tidak terlalu sulit untuk
menerima bahwa perkembangan munazarah merupakan suatu bentuk
perwujudan ajaran Al-Qur’an (Hasan Asari, 1994: 63). Dalam sejarah Islam, Muanazarah merupakan praktek
yang lazim, bahkan merupakan jenjang yang harus ditempuh seorang ilmuwan guna
meraih puncak kariernya sebagai ra’is (top-scholar) dalam bidang
tertentu. Syarif al-Din al-Amidi digambarkan oleh an-Nu’aymi sebagai ilmuwan “yang
tak punya tandingan dalam munazarah” meliputi beberapa bidang ilmu,
termasuk Ushul Fiqh, Ilmu Kalam dan Mantiq. Harun Alrasyid terkenal dengan
perhatiannya yang besar terhadap kegiatan ilmiah, di istananya, ibn kinananh
(Murid Imam Malik) melakukan muanazarah dengan Abu Yusuf (murid Abu
Hanifah). Pada masa itu, muanazarah biasa berlangsung di
berbagai tempat seperti : madrasah-madrasah, dirumah para ulama, dimasjid atau
bahkan di istana khalilfah, sultan atau wazir ( Ibid, 111).
Memang, di dalam al-Quran terdapat satu lagi term
yang bermakna debat yaitu: Jadal (Mujadalah) yang terdapat dalam Q.s.
an-Nahl/16: 125. Jadal dalam ayat ini dilakukan sebagai metode dakwah
tetapi sebagaimana dibedakan oleh para Ulama jadal dimaksudkan adalah untuk
mematahkan argumentasi lawan bicara (debat) dengan pertaruhan menang kalah
sedangkan munazarah adalah perdebatan untuk mencari kebenaran dengan prinsip
win-win solution.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar