Kamis, 29 Desember 2016

Pembuktian Keilmuan 2



Setelah calon pemimpin   melakukan orasi ilmiah untuk  menyampaikan visi misinya dan  dilakukan tes baik lisan maupun tertulis, maka  untuk membuktikan  keilmuannya tahap berikutnya adalah:

Ketiga, menyusun karya tulis ilmiah. Kemampuan menyusun karya tulis ilmiah merupakan salah satu bukti seseorang itu berilmu. Oleh karena itulah, setiap calon sarjana mesti membuat karya tulis ilmiah yang disebut skripsi, tesis untuk S.2 dan disertasi untuk jenjang S.3. Apalagi seorang calon pemimpin, kempetensi ini mesti ditunjukkan untuk membuktikan keilmuannya karena dengan terbiasa menulis seseorang lebih bisa berpikir logis, obyektif, kritis dan sistematis. Seorang pemimpin haruslah memiliki metode berpikir demikian. Logis dimaksudkan seorang pemimpin menyintai kebenaran, berpihak pada kebenaran dan melakukan kebenaran. Obyektif dimaksudkan agar dapat menemukan masalah secara riel atau berdasarkan fakta untuk mengatasi permasalahan itu. Kritis dimaksudkan supaya pemimpin tidak mudah menerima bisikan/pengaruh buruk dari orang-orang yang dekat ataupun orang lain yang tak ingin perubahan (progres) pembangunan dan sistematis dimaksudkan agar pemimpin dapat memilih dan memilah mana program yang prioritas yang berpihak pada kepentingan dan kebaikan orang banyak sehingga perlu didahulukan atau hanya untuk orang-orang tertentu.
Memang, harus diakui tidaklah mudah menyusun karya tulis ilmiah. Seseorang boleh mampu menyampaikan orasi ilmiah  dan berhasil dalam tes lisan dan tertulis tetapi belum tentu bisa melewati tahapan ini. Hal ini disebabkan kebanyakan mereka tidak terbiasa menulis. Menulis hanya bisa dilakukan oleh mereka yang terbiasa membaca dan boleh dibilang 'kutu buku'. Marijan (2011: 42-56) menjelaskan rendahnya  minat baca menjadi penghambat seseorang untuk menulis karya ilmiah. Selain itu karena motivasi menulis rendah.  Karya tulis ilmiah mestilah orisinil bukan plagiat  atau copy paste dari karya orang lain karena jika demikian merupakan pertanda calon pemimpin yang tak jujur atau tak integrated. Banyak sarjana, magister bahkan doktor sekalipun  karyanya berhenti sampai skripsi, tesis dan  disertasinya masing-masing. Inilah salah satu kelemahan sarjana-sarjana di negeri kita dibandingkan dengan sarjana-sarjana luar negeri seperti Jepang, Amerika dan negara eropa lainnya sehingga tidak dapat menghasilkan karya ilmiah yang memacu keberhasilan di bidang teknologi.
Dalam sejarah Islam, budaya menulis telah dilakukan sejak masa Rasulullah Saw masih hidup bahkan Nabi  Saw mengangkat penulis wahyu al-Quran seperti Ali bin Abi Thalib, Mu'awiyah, 'Ubay bin Ka'ab dan Zaid bin Sabit. Sahabat-sahabat Nabi tersebut menuliskan ayat-ayat al-Quran pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang (Manna' Khalil al-Qattan, Maktabah Syamilah). Zait bin Sabit berkata, ''Kami menyusun al-Quran di hadapan Rasulullah pada kulit binatang."(H.R. al-Hakim). Dengan demkian, seandainya tidak ada budaya tulis dalam Islam, tentu umat Islam tidak  akan berkembang karena wahyu Allah tidak  pernah ada. Dikarenakan budaya tulis itulah, Islam jaya pada dinasti Abbasiyah dan Umayyah II dengan munculnya filosof-filosof muslim seperti Ar-Razi, Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Al-Faraby, Ibnu Rusyd dan lain-lain.
Keempat, munazarah. Munazarah dimaknai dengan debat atau perbincangan dua pihak yang bertujuan untuk mempertahankan hujahnya yang benar dan membatalkan hujah saudaranya dengan keinginan kedua belah pihak sebagai metode pencarian kebenaran (Hasan Asari, 2012: 139). Tentu munazarah yang kita maksud bukanlah perdebatan kajian keagamaan atau bahkan hukum Islam tetapi  debat tentang materi yang aktual dan riel berkaitan dengan kepemimpinan dan kemaslahan umat. Munazarah dilakukan setelah calon pemimpin menyusun karya tulis ilmiah. Debat ilmiah tidak signifkan jika tidak berdasarkan  karya tulis ilmiah yang telah disusunnya. Debat yang tidak mengacu pada  karya tulis ilmiah adalah illegal dan disebut debat kusir. Tahapan ini (munazarah)   seharusnya juga diujikan  terhadap calon-calon Bupati, Gubernur maupun Presiden. Memang  Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukannya yang dikemas dalam acara “Debat Publik” yang disiarkan di televisi tapi saya yakin acara itu tidak didasarkan atas karya ilmiah yang ditulis oleh para calon.  Maka proses lainnya  adalah Fit and Proper Test.  Tampaknya uji kelayakan dan kepatutan ini mesti juga diujikan oleh KPU terhadap mereka karena uji publik yang satu ini didasarkan pada karya tulis ilmiah.  Jadi bukan hanya diperuntukkan bagi calon-calon pejabat Pemerintah yang akan diangkat oleh Presiden saja. Demikian juga  semestinya  mekanisme ini  dapat dibudayakan dalam rangka pemilihan kepemimpinan lainnya  pada jabatan-jabatan struktural (eselon) bawahan Bupati, Gubernur dan  Presiden.

Dalam Islam, metode debat ini sudah diajarkan oleh Allah Swt. dalam Q.s. al-Ankabut/29: 61 sebagai berikut:
                                           وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
''Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" tentu mereka akan menjawab: "Allah", Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)''.
Masih ada ayat-ayat al-Quran yang senada dengan ayat di atas, misalnya: Q.s al-Ankabut/29: 63, Q.s. Luqman/31: 25 dan  Q.s az-Zukhruf/43: 87.Surah-surah tertulis dalam struktur : “jika engkau (Muhammad) bertanya... mereka akan menjawab”. Ayat-ayat lain menempatkan rasul sebagai pihak yang ditanya, terkadang oleh umatnya sendiri, tapi tak jarang oleh orang-orang kafir. Dengan menyadari pesan ayat-ayat di atas, tidak terlalu sulit untuk menerima bahwa perkembangan munazarah merupakan suatu bentuk perwujudan ajaran Al-Qur’an (Hasan Asari, 1994: 63). Dalam sejarah Islam, Muanazarah merupakan praktek yang lazim, bahkan merupakan jenjang yang harus ditempuh seorang ilmuwan guna meraih puncak kariernya sebagai ra’is (top-scholar) dalam bidang tertentu. Syarif al-Din al-Amidi digambarkan oleh an-Nu’aymi sebagai ilmuwan “yang tak punya tandingan dalam munazarah” meliputi beberapa bidang ilmu, termasuk Ushul Fiqh, Ilmu Kalam dan Mantiq. Harun Alrasyid terkenal dengan perhatiannya yang besar terhadap kegiatan ilmiah, di istananya, ibn kinananh (Murid Imam Malik) melakukan muanazarah dengan Abu Yusuf (murid Abu Hanifah). Pada masa itu, muanazarah biasa berlangsung di berbagai tempat seperti : madrasah-madrasah, dirumah para ulama, dimasjid atau bahkan di istana khalilfah, sultan atau wazir ( Ibid, 111).
Memang, di dalam al-Quran terdapat satu lagi term yang bermakna debat yaitu: Jadal (Mujadalah) yang terdapat dalam Q.s. an-Nahl/16: 125. Jadal dalam ayat ini dilakukan sebagai metode dakwah tetapi sebagaimana dibedakan oleh para Ulama jadal dimaksudkan adalah untuk mematahkan argumentasi lawan bicara (debat) dengan pertaruhan menang kalah sedangkan munazarah adalah perdebatan untuk mencari kebenaran dengan prinsip win-win solution.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar