KHUTBAH HARI
RAYA IDUL ADHA
TEMA: MENGHARAP
RIDHA ALLAH SWT.
للهُ
أكْبَرُ × 9
اللَّهُ
أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً
وَأَصِيلاً، لاَ إِلَهَ إِلاًّ اللَّهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ
وَحْدَهُ، لاَ إِلَهَ إِلاًّ اللَّهُ اللهُ أكْبَرُ، الله أكبر وَللهِ الْحَمْدُ.
اَلْحَمْدُ
ِللهِ الَّذِيْ جَعَلَ الْيَوْمَ عِيْداً لِلْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحَّدَنَا
بِعِيْدِهِ كَأُمَّةٍ وَاحِدَةٍ، مِنْ غَيْرِ الأُمَم، وَنَشْكُرُهُ عَلَى كَمَالِ
إِحْسَانِهِ وَهُوَ ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْراَمِ.
أَشْهَدُ
اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ، اللَّهُمَّ مَالِكَ
الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء
وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُكَ وَرَسُوْلُكَ.
الَلَّهُمَّ
صَلِّ وَاُسَلِّمُ عَلَى سيّدِنَا وحَبِيْبِناَ المُصْطَفَى، الَّذِّي بَلَّغَ
الرِّسَالَةْ، وَأَدَّى الأَمَانَةْ، وَنَصَحَ الأُمَّةْ، وَعَلَى آلِهِ
وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ دَعاَ اِلَى اللهِ بِدَعْوَتِهِ، وَجاَهَدَ فِيْ اللهِ حَقَّ
جِهاَدِهِ.
اَمَّا
بَعْدُ: عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ
فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ!
Alhamdulillah, segala
puji bagi Allah Swt, Pencipta dan Pemelihara alam semesta. Tiada henti Allah
melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya kepada seluruh hamba-Nya, umat manusia di
seluruh belahan bumi ini, juga kepada kita semua. Terlebih disaat yang sangat
berbahagia seperti ini, dimana kita ditakdirkan dapat diterima dan bersimpuh
dihadapan-Nya untuk menghadapkan segala kerendahan diri dan kehinaan di hadapan
Dzat Yang Maha Mulia dan Perkasa. Menghaturkan segala hajad dan kebutuhan hidup
di hadapan Tuhan yang Maha Kuasa. mengadukan atas segala kelemahan diri dan
dosa-dosa di hadapan Allah yang Maha Pengampun, di masjid yang mulia ini
bersama-sama melaksanakan sholat Idul Adha.
Shalawat dan salam
semoga senantiasa tercurah ke ruh Junjungan alam Nabi Besar Muhammad Saw,
beliaulah yang mengajarkan kepada kita untuk selalu berbagi apa yang kita
punya, bukan saja kepada orang yang kita cintai bahkan terhadap orang yang
membenci kita sekalipun beliau tetap
dengan tulus memberi yang ia miliki. Kisah beliau dengan seorang wanita
yang selalu melemparinya dengan kotoran ketika beliau ingin melaksanakan shalat
di masjid menjadi kisah yang popular. Pada saat si wanita tersebut menderita
sakit, Nabi Saw menjenguknya dengan membawa buah tangan dengan tulus seperti
tanpa ada masalah sedikipun selama ini. Peristiwa ini membuktikan bahwa bersihnya hati Nabi Saw. yang tidak menyimpan
dendam sama sekali. Bukan saja para sahabat Nabi yang memuji beliau karena
akhlaknya yang sempurna bahkan orang-orang kafir dan musyrik pun mengakui akan
keluhuran budi pekerti Nabi Saw. Nabi saw. melakukan semua itu hanya ingin
mengharap ridha dari Allah Swt. Keinginan Nabi tersebut diabadikan dengan
memujinya dalam sebuah ayatnya: وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيم "Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang
luhur" (Q.s. al-Qalam/4).
Selain itu, saya juga
mengajak kepada kita semua untuk senantiasa meningkatkan iman dan taqwa kita
kepada Allah Swt, iman dan taqwa yang bukan hanya diimplementasikan dalam
bentuk ibadah-ibadah ritual untuk mencapai kesalehan individual semata tetapi
juga secara berbarengan untuk tujuan
mencapai kesalehan sosial.
Allahu Akbar 3x Walillahil hamd. Saudara-saudara
kaum muslimin dan muslimat Rahimakumullah
Demikianlah
pada hari ini kita berkumpul di tempat ini di lapangan yang kita banggakan
Santun Berkata Bijak Berkarya untuk mengagungkan asma Allah dengan takbir,
tahmid, tahlil dan tasbih bahkan seantero dunia melakukan hal yang sama dengan
kita, tidak lain adalah untuk menarik ridha Allah Swt. Oleh karena itulah,
topik khutbah kita pada Hari Raya Idul Adha ini adalah: MENGHARAP RIDHA ALLAH
SWT.
Saudara-saudara, hari ini kita
merayakan Idul Adha. Baru saja dua bulan yang lalu kita juga merayakan Idul
Fitri. Sesungguhnya, pada kedua momentum ibadah besar kita ini terdapat
pelajaran bahwa apabila kita telah selesai melakukan sesuatu yang baik atau kita memperoleh nikmat
hendaknya sesudah itu kita rayakan. Dalam ajaran Islam, setelah kelahiran
seorang anak pada hari ke-7 kita disunnahkan untuk merayakan kelahiran itu
dengan aqiqah dengan menyembelih 1 atau 2 ekor kambing, demikian juga
setelah menikahkan putera-puteri kita,
kitapun disunnahkan untuk merayakannya dengan walimatul ursy. Idul Fitri
merupakan perayaan atas kemenangan kita melawan hawa nafsu selama satu bulan,
sedangkan Idul Adha merupakan perayaan atas ketulusan kita berkorban atau
memberi kepada sesama dan kerendahhatian
untuk melakukan refleksi historis dalam mengenang perjuangan dan pengorbanan
Nabi Ibrahim AS dan putranya, Ismail AS, sekaligus memaknai nilai-nilai
spiritual dari manasik haji. Hal ini secara implisit ditegaskan oleh Allah
dalam ayat berqurban إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ ,فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَر , إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
Artinya: "Sungguh Kami telah memberimu
(Muhammad) nikmat yang banyak.Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan
berqurbanlah. Sungguh orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari
rahmat Allah)" (Q.s. al-Kautsar: 1-3).
Saudara-saudara, dalam Tafsir al-Misbah karya
Muhammad Quraish Shihah, al-Kautsar dimaknai dengan Sungai di Syurga dan
keturunan yang banyak. Nabi Muhammad Saw. dijanjikan oleh Allah dengan Syurga
yang mengalir sungai-sungai di bawahnya tetapi juga beliau dikaruniai dengan
keturunan yang sangat banyak hingga kini. Nah, ayat tersebut juga
ditujukan untuk kita. Mungkin yang
diberikan Allah saat ini adalah berupa
nikmat keturunan, maka seperti yang kami sampaikan di depan dengan
nikmat diberikan keturunan hendaknya kita merayakannya dengan aqiqah atau
walimah.
Idul Fitri sebagai
bentuk perayaan atas kemenangan kita melawan hawa nafsu, keegoisan dan sifat
individualistis kita lakukan melalui ibadah puasa Ramadhan. Nilai-nilai puasa
Ramadhan sesungguhnya bukan hanya untuk mencapai kesalehan individual dengan
ibadah shalat tarawihnya tetapi yang lebih substansial adalah nilai-nilai
solidaritas atau kepedulian sosial yang lebih ditonjolkan. Dengan berpuasa,
kita merasakan betapa sakitnya yang tidak makan dan tidak minum. Kondisi
kelaparan seperti ini menjadi hiasan orang-orang miskin yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan begitu
terdoronglah kita untuk memberi dan berbagi kepada mereka karena kita sudah
merasakan apa yang mereka rasakan. Nah, Idul Adha adalah perayaan atas
ketulusan kita untuk berqurban dengan kambing, sapi atau unta untuk kita
bagi-bagikan kepada sesama. Kedua hari raya tersebut bermuara
pada nilai-nilai kepedulian, ketakwaan, dan kesalehan sosial berupa ketulusan
memaafkan, etos berbagi (zakat fitrah dan daging kurban), dan signifikansi
silaturahim. Keduanya berangkat dari panggilan iman dan berbuah kemanusiaan
universal, terutama aktualisasi nilai-nilai hak asasi manusia, seperti
diteladankan Nabi Muhammad SAW dalam khutbah wadanya di saat wukuf di Arafah
maupun mabit (bermalam) di Mina. Allah Swt. berfirman dalam surah al-Baqarah
ayat 177 sebagai berikut:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ
وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي
الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ
إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ
الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُون
Artinya:
"Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa".
Berdasarkan ayat
tersebut dijelaskan bahwa sebagai bukti keimanan seseorang maka seseorang atau
suatu kaum itu hendaknya dapat memberikan harta yang dimiliki kepada
orang-orang yang membutuhkan sebagai bentuk kasih sayang terhadap mereka. Prof.
M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah-nya
kembali menjelaskan: "belumlah
sempurna iman seseorang sebelum bersedia memberikan harta yang dicintai kepada
orang lain. Demikian itu adalah kebajikan yang sempurna". Rasulullah saw juga menjelaskan dalam sebuah
hadisnya: لا يؤمن
أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
Artinya: "Tidak beriman
seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai
saudaranya (sesama muslim) seperti ia mencintai dirinya sendiri' (H.R. Bukhari Muslim).
Allahu Akbar 3x Walillahil hamd. Saudara-saudara
kaum muslimin dan muslimat Rahimakumullah
Ternyata tidak semua
umat Islam mempunyai wawasan yang sama sedemikian. Masih ada di antara
kita yang memahami perayaan Idul Adha
ini sebagai ibadah yang bersifat individualistis dengan maksud untuk
penyelamatan diri sendiri. Ada sebuah kisah yang ditulis oleh seorang
Cendikiawan muslim bernama Moeslim Abdurrahman sebegai berikut: Ada
seorang ibu yang ingin berkurban seekor
sapi pada Hari Raya Idul Adha dan ia pun mencari teman untuk berpatungan
sebanyak 7 orang. Namun usaha sang ibu gagal. Yang menyebabkan kegagalan
bukanlah sulitnya mencari temannya
sehingga berjumlah 7 orang untuk berpatungan tetapi karena munculnya pendapat
yang menyatakan bahwa sapi qurban itu di akhirat nanti untuk menuju Syurga tidak
bisa dinaiki bersama dengan teman
laki-laki yang bukan muhrim.
Saudara-saudara, kisah
tersebut menggambarkan sebuah pemahaman yang sempit tentang makna berqurban.
Ibu dan sebagian masyarakat memahami
qurban sebagai ibadah yang sangat individual untuk membuktikan kepatuhan diri
kepada Sang Pencipta Allah Swt. Mereka lupa bahwa ibadah mahdhah yang
nyata-nyata dipahami sebagai bentuk kesalehan individualistis saja pun semacam
shalat 5 waktu, lebih utama dikerjakan secara berjamaah. Rasulullah Saw.
bersabda:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ
وَعِشْرِينَ
دَرَجَة
"Sungguh shalat berjamaah lebih utama daripada
shalat sendirian 27 derajat" (H.R. Bukhari-Muslim).
Keutamaan shalat
berjamaah membuktikan bahwa shalat sesungguhnya lebih bersifat social. Itulah
sesungguhnya substansi dari segala macam ibadah ritual yang diperintahkan Allah
kepda umatnya. Demikian juga ibadah qurban. Substansi ibadah qurban adalah
kepedulian atau solidaritas sosial yang ingin ditonjolkan, kemauan untuk
memberi kepada sesama apalagi terhadap orang yang tidak punya. Allah Swt. Juga
menegaskan dalam surah al-Hajj ayat 37:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
Artinya:
"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak
dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat
mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu
mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang berbuat baik."
Saudara-saudara, berdasarkan ayat di atas, jelas sekali artinya bahwa bentuk ketaatan yang sampai kepada Allah itu bukanlah bulu-bulu kambing atau sapi,daging atau darahnya tetapi yang sampai adalah keikhlasan dan ketaqwaan seseorang itu untuk menyembelih kurban. Dikarenakan keikhlasan dan ketaqwaan itulah yang dinilai oleh Allah, maka kelirulah pemahaman masyarakat selama ini dengan menghitung-hitung pahala berkurban sebanyak bulunya, tanduk atau kukunya. Adapun hadis-hadis yang menjelaskan tentang hal itu ternyata hadisnya dhaif alias lemah, jadi tidak bisa dijadikan hujjah.
Dikarenakan keikhlasan dan ketaqwaan itu pula yang dinilai oleh Allah, jadi tidak ada istilah muhrim dan bukan muhrim ketika seseorang berkurban dan tidak mutlak 1 ekor lembu untuk 7 orang. 1 ekor lembu untuk 6 orang juga dibolehkan bahkan 1 ekor lembu dikurbankan oleh 1 orang lebih utama jika ia mampu. Yang dimaksud 1 orang, tentunya dengan keluarganya. Artinya, 7 orang itu banyaknya maksimal tidak boleh lebih. Unta untuk 10 orang maksimal, kurang dari 10 orang dibolehkan tetapi tidak boleh lebih.
Nah, dengan demikian benarlah bahwa setiap perintah untuk melaksanakan ibadah apa saja syaratnya yang paling utama adalah ikhlas. Dalam Q.s. al-Bayyinah ayat 5 dijelaskan:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء
Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurusز.
Allahu Akbar 3x Walillahil hamd. Saudara-saudara
kaum muslimin dan muslimat Rahimakumullah,
Sesungguhnya, amal ibadah apapun yang kita lakukan
hendaknya ditujukan untuk menarik atau mengharap Ridha Allah Swt semata-mata. Hidup di dunia ini menurut ajaran Islam
yang benar adalah untuk mengharap ridho Allah. Meskipun tujuan penciptaan manusia dan jin adalah untuk beribadah kepada-Nya, tetapi ujungnya dari ketaatan beribadah itu adalah ibadah yang ikhlas untuk mengharap ridha Allah. Dalam berdoa dengan mengikuti
ajaran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yaitu “Rabbana atina
fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqina ‘adzabannar” kita
memohon untuk diberi kebaikan dunia dan akhirat. Manusia yang tawakkal dan
bertakwa Insya Allah akan mendapatkan kecukupan dan ketrentaman hidup di dunia ditambah kebahagiaan tak terbatas hidup kekal
di akhirat. Semua akan didapatkan bila hidup untuk mengharap ridho Allah. Ridha Allah berarti: rela, senang dan cinta
dari Allah Swt. Dalam kehidupan sehari-hari di keluarga kita, jika kita melihat
di antara anak kita melakukan sesuatu yang baik ataupun yang terbaik berupa
amal ibadah atau pun berbentuk kreativitas tanpa kita suruh, maka kita pun
sebagai orang tua pasti senang, rela atau pun ridha kepadanya. Dengan ridha itu,
membuat kita mau memberikan apapun yang dimintanya atau tidak diminta yang bisa
membuat anak kita senang.
Allah Swt. pun demikian. Jika kita melaksanakan segala amal ibadah, yang dinilai dari ibadah-ibadah kita itu adalah ibadah yang dilaksanakan dengan ikhlas. Ibadah yang dikerjakan tidak ikhlas, misalnya karena ikut-ikutan, karena ingin dipuji oleh orang, karena terpaksa harus melakukannya, itu semua tidak dinilai. Ibadah yang ikhlas itulah yang dapat menarik ridha Allah Swt sehingga kita berharap balasan yang tak terhingga meskipun tidak kita minta. Maka berkurbanlah di hari raya ini dengan ikhlas dan penuh ketaqwaan untuk mengharap ridha Allah semata-mata.
Allah Swt. pun demikian. Jika kita melaksanakan segala amal ibadah, yang dinilai dari ibadah-ibadah kita itu adalah ibadah yang dilaksanakan dengan ikhlas. Ibadah yang dikerjakan tidak ikhlas, misalnya karena ikut-ikutan, karena ingin dipuji oleh orang, karena terpaksa harus melakukannya, itu semua tidak dinilai. Ibadah yang ikhlas itulah yang dapat menarik ridha Allah Swt sehingga kita berharap balasan yang tak terhingga meskipun tidak kita minta. Maka berkurbanlah di hari raya ini dengan ikhlas dan penuh ketaqwaan untuk mengharap ridha Allah semata-mata.
Saudara-saudara, bersamaan dengan perayaan Idul
Adha, para tamu Allah (dhuyuf ar-Rahman)
sedang melakukan tapak tilas
aneka ritualitas haji di Tanah Suci. Mereka merengkuh jalan ketaatan dan
ketakwaan dalam meraih predikat haji mabrur karena dimotivasi oleh spirit bahwa
balasan haji mabrur tidak lain adalah surga (HR Muslim). Garansi kebahagiaan
spiritual (surgawi) inilah yang memotivasi umat Islam untuk memenuhi panggilan
Ilahi (berhaji), meninggalkan kampung halaman menuju Tanah Suci, dan
meninggalkan sanak saudara menuju persaudaraan dan kemanusiaan universal.
Haji itu merupakan ibadah multidimensi sekaligus multinilai. Manasik haji bukan sekadar ritualitas fisik-formal tanpa makna moral. Prosesi manasik haji adalah sebuah "drama kehidupan" yang sarat filosofi, simbol, nilai, dan makna, terutama makna sosial kultural. Haji dimulai dengan niat ihram di miqat (garis start haji).
Pakaian ihram mengandung pesan bahwa menjadi tamu Allah itu harus suci lahir batin, berhati tulus ikhlas, tidak egois, tetapi egaliter, emansipatoris, dan siap memenuhi panggilan ketaatan (talbiyah) dan hanya berharap memperoleh ridha-Nya. Menjadi tamu Allah haruslah menunjukkan kebersihan hati, ketulusan niat, dan kesungguhan komitmen untuk tidak memperlihatkan stratifikasi dan arogansi sosial yang sering kali disimbolkan dalam berpakaian. Makna thawaf bukan sekadar mengelilingi Ka'bah tujuh kali. Thawaf mendidik jamaah haji bergerak dinamis dalam orbit tauhid. Konsistensi dalam bertauhid memacu gerak untuk maju dan terus berperilaku progresif. Orang yang berthawaf adalah orang yang antikemunduran dan kejumudan. Thawaf menyadarkan pentingnya nilai mobilitas dan progresivitas sosial. Thawaf merupakan titik tolak menuju transformasi sosial-kultural yang berkeadaban. Thawaf juga merupakan gerakan "tasbih universal" dengan menjadikan tauhidullahsebagaiorbitkehidupan. Sa'i (berusaha, berlari-lari kecil) antara shafa dan marwa melambangkan etos dan disiplin kerja yang tinggi. Hajar, ibunda Ismail, memberikan keteladanan sebagai seorang ibu yang sangat tulus dan pantang menyerah untuk berusaha demi masa depan anaknya. Etos dan disiplin kerja itu harus dimulai dari shafa (ketulusan hatidankejernihanpikiran). Sa’i harus maksimal agar mencapai marwa (kepuasan hati, hasil maksimal atau prestasi tinggi). Sa’i diperankan oleh seorang ibu yang tulus dan penuh kasih sayang terhadap anaknya. Sa’i mendidik kita untuk mendahulukan cinta sesama, dengan memperlihatkan berbagai upaya maksimal "menyelamatkan masa depan" anak bangsa.
Wukuf di Arafah merupakan kesadaran spiritual akan pentingnya "berhenti seraya berefleksi untuk makrifat diri" (introspeksi dan evaluasi diri) dan merasakan kehadiran Allah SWT. Sebagai lambang miniatur padang "makhsyar" di akhirat kelak, wukuf memberi kesadaran akan pentingnya introspeksi diri, pengenalan jati diri, dan "pengadilan terhadap diri sendiri".
Jika selama ini manusia cenderung mengadili orang lain atau tidak pernah berbuat adil, Arafah adalah momentum yang tepat untuk mengambil keputusan yang arif, apakah selama ini jamaah haji yang berwukuf sudah benar-benar menjadi hamba-Nya ataukah masih menjadi hamba selain-Nya: hamba kekuasaan, hamba kebendaan, hamba kesenangan duniawi? Apakah yang berwukuf itu sudah meneladani akhlak Allah atau masih selalu mengikutihawanafsudansetan? Karena itu, di malam hari menuju Mina, para jamaah haji diminta bermabit di Muzdalifah (mendekatkan diri) untuk bertaubat dan bermunajat kepada Allah sambil menyiapkan "amunisi jihad" di tempat pelemparan (jamarat) di Mina. Mina adalah simbolisasi cita dan cinta. Karena cinta-Nya yang tulus kepada dan karena Allah semata, Nabi Ibrahim rela "mengorbankan" anak tercintaIsmail.
Berjuang melawan setan dan hawa nafsu hanya bisa dimenangi oleh rasa cinta yang tulus kepada Allah. Dengan cinta karena-Nya, Ibrahim AS akhirnya memperoleh cita-citanya: anaknya tidak jadi "dikorbankan" karena manusia memang tidak pantas dikorbankan, terutama korban hawa nafsu dan keserakahan, baik serakah harta maupun kekuasaan Kesemua amal-amal dalam ibadah haji dilakukan hanya dengan tujuan untuk mengharap ridha-Nya. Untuk menutup khutbah ini, saya kutipkan sebuah hadis Nabi Saw. riwayat at-Tabrani:
Haji itu merupakan ibadah multidimensi sekaligus multinilai. Manasik haji bukan sekadar ritualitas fisik-formal tanpa makna moral. Prosesi manasik haji adalah sebuah "drama kehidupan" yang sarat filosofi, simbol, nilai, dan makna, terutama makna sosial kultural. Haji dimulai dengan niat ihram di miqat (garis start haji).
Pakaian ihram mengandung pesan bahwa menjadi tamu Allah itu harus suci lahir batin, berhati tulus ikhlas, tidak egois, tetapi egaliter, emansipatoris, dan siap memenuhi panggilan ketaatan (talbiyah) dan hanya berharap memperoleh ridha-Nya. Menjadi tamu Allah haruslah menunjukkan kebersihan hati, ketulusan niat, dan kesungguhan komitmen untuk tidak memperlihatkan stratifikasi dan arogansi sosial yang sering kali disimbolkan dalam berpakaian. Makna thawaf bukan sekadar mengelilingi Ka'bah tujuh kali. Thawaf mendidik jamaah haji bergerak dinamis dalam orbit tauhid. Konsistensi dalam bertauhid memacu gerak untuk maju dan terus berperilaku progresif. Orang yang berthawaf adalah orang yang antikemunduran dan kejumudan. Thawaf menyadarkan pentingnya nilai mobilitas dan progresivitas sosial. Thawaf merupakan titik tolak menuju transformasi sosial-kultural yang berkeadaban. Thawaf juga merupakan gerakan "tasbih universal" dengan menjadikan tauhidullahsebagaiorbitkehidupan. Sa'i (berusaha, berlari-lari kecil) antara shafa dan marwa melambangkan etos dan disiplin kerja yang tinggi. Hajar, ibunda Ismail, memberikan keteladanan sebagai seorang ibu yang sangat tulus dan pantang menyerah untuk berusaha demi masa depan anaknya. Etos dan disiplin kerja itu harus dimulai dari shafa (ketulusan hatidankejernihanpikiran). Sa’i harus maksimal agar mencapai marwa (kepuasan hati, hasil maksimal atau prestasi tinggi). Sa’i diperankan oleh seorang ibu yang tulus dan penuh kasih sayang terhadap anaknya. Sa’i mendidik kita untuk mendahulukan cinta sesama, dengan memperlihatkan berbagai upaya maksimal "menyelamatkan masa depan" anak bangsa.
Wukuf di Arafah merupakan kesadaran spiritual akan pentingnya "berhenti seraya berefleksi untuk makrifat diri" (introspeksi dan evaluasi diri) dan merasakan kehadiran Allah SWT. Sebagai lambang miniatur padang "makhsyar" di akhirat kelak, wukuf memberi kesadaran akan pentingnya introspeksi diri, pengenalan jati diri, dan "pengadilan terhadap diri sendiri".
Jika selama ini manusia cenderung mengadili orang lain atau tidak pernah berbuat adil, Arafah adalah momentum yang tepat untuk mengambil keputusan yang arif, apakah selama ini jamaah haji yang berwukuf sudah benar-benar menjadi hamba-Nya ataukah masih menjadi hamba selain-Nya: hamba kekuasaan, hamba kebendaan, hamba kesenangan duniawi? Apakah yang berwukuf itu sudah meneladani akhlak Allah atau masih selalu mengikutihawanafsudansetan? Karena itu, di malam hari menuju Mina, para jamaah haji diminta bermabit di Muzdalifah (mendekatkan diri) untuk bertaubat dan bermunajat kepada Allah sambil menyiapkan "amunisi jihad" di tempat pelemparan (jamarat) di Mina. Mina adalah simbolisasi cita dan cinta. Karena cinta-Nya yang tulus kepada dan karena Allah semata, Nabi Ibrahim rela "mengorbankan" anak tercintaIsmail.
Berjuang melawan setan dan hawa nafsu hanya bisa dimenangi oleh rasa cinta yang tulus kepada Allah. Dengan cinta karena-Nya, Ibrahim AS akhirnya memperoleh cita-citanya: anaknya tidak jadi "dikorbankan" karena manusia memang tidak pantas dikorbankan, terutama korban hawa nafsu dan keserakahan, baik serakah harta maupun kekuasaan Kesemua amal-amal dalam ibadah haji dilakukan hanya dengan tujuan untuk mengharap ridha-Nya. Untuk menutup khutbah ini, saya kutipkan sebuah hadis Nabi Saw. riwayat at-Tabrani:
Artinya:
"Sayangilah makhluk yang ada di bumi niscaya yang ada di langit akan
menyayangimu".
Semoga khutbah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin
Ya Rabbal Alamin. Wassalam Wr.Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar