Kamis, 05 November 2015

Tuhan Yang Maha Esa dan Ketuhanan



A.    PERMASALAHAN
1.      Maraknya praktek-praktek perdukunan
2.      Sihir  dipertontonkan dan pelakunya dipuji dan dibanggakan
3.      Percaya terhadap ramalan nasib manusia dari seorang astrologis
4.      Beribadah/beramal  karena ingin dipuji orang atau karena rasa malu pada orang lain
5.       Tidak malu  melakukan kejahatan apalagi jika  tidak ada yang menyaksikan kejahatannya

B.     KONSEPSI
1.      FILSAFAT KETUHANAN DALAM ISLAM
Islam mengajarkan bahwa Tuhan  adalah Esa, tidak berbilang artinya tidak tepat jika dikatakan  satu, karena angka 1 ada kelanjutannya, yaitu 2.  Terminologi  al-Quran untuk menyifati Allah Esa adalah: Ahad ( أَحَدٌ)    Artinya Esa. , seperti  tercantum dalam Q.s.al-Ikhlas/112: 1-4:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)

"Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
          Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa  kata Ahad hanya digunakan untuk sesuatu yang tidak dapat menerima penambahan baik dalam benak apalagi dalam kenyataan.
            Memang pada ayat yang lain, misalnya dalam Q.s. al-Baqarah/2: 163, Allah menyifati diri-Nya dengan kata: Wahid:
öوَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ 
"Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang".
                   Dalam hal ini, menarik sekali penjelasan Prof. DR.M. Quraish Shihab dalam Tafsirnya al-Mishbah:Ulama berpendapat bahwa kata Wahid pada Q.s. al-Baqarah ayat 163 itu menunjuk kepada keesaan zat-Nya disertai dengan keragaman sifat-sifat-Nya, seperti Dia Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Kuat, Maha Tahu dan sebagainya, sedang kata Ahad seperti dalam Q.s. al-Ikhlas ayat 1 mengacu kepada Keesaan zat-Nya saja tanpa memperhatikan keragaman sifat-sifat-Nya.

Dalam Islam pembicaraan tentang Tuhan terdapat dalam ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, Ushuluddin, atau Aqidah.
Tauhid secara bahasa merupakan mashdar (kata benda dari kata kerja, ed) dari kata wahhada. Jika dikatakan wahhada syai’a artinya menjadikan sesuatu itu satu. Sedangkan menurut syariat berarti mengesakan Allah dalam sesuatu yang merupakan kekhususan bagi-Nya.



Tauhid  terbagi  menjadi tiga jenis, yaitu:
  1. Tauhid rububiyah. Maknanya adalah mengesakan Allah dalam hal penciptaan, kepemilikan, dan pengurusan alam semesta.  Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah:
   أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ 
                “Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah” (Al- A’raf: 54).
  1. Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Disebut tauhid uluhiyah karena penisbatanya kepada Allah dan disebut tauhid ibadah karena penisbatannya kepada makhluk (hamba). Adapun maksudnya ialah pengesaan Allah dalam ibadah, yakni bahwasanya hanya Allah satu-satunya yang berhak diibadahi/disembah. Allah Ta’ala berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ
”Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya yang mereka seru selain Allah adalah batil” (Luqman: 30).
  1. Tauhid asma’ wa shifat. Maksudnya adalah pengesaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan nama-nama dan sifat-sifat yang menjadi milik-Nya. Tauhid ini mencakup dua hal yaitu penetapan dan penafian. Artinya kita harus menetapkan seluruh nama dan sifat bagi Allah sebgaimana yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya atau sunnah nabi-Nya, dan tidak menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah dalam nama dan sifat-Nya. Dalam menetapkan sifat bagi Allah tidak boleh melakukan ta’thiltahriftamtsil, maupun takyif. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ          
”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura: 11)
Secara harfiah, kata ‘kalam’ berarti pembicaraan. Namun secara istilah, kalam tidak sama artinya dengan pembicaraan dalam pengertian sehari-hari, melainkan pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Hal ini menjadi ciri utama ilmu kalam, yaitu rasionalitas atau logika.
Dari penjelasan di atas, kita dapatkan definisi ilmu kalam yaitu ilmu yang membicarakan tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib ada pada-Nya, sifat-sifat yang mustahil bagi-Nya, dan sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya. Ilmu ini juga membicarakan tentang rasul-rasul Allah dan cara menetapkan kerasulannya, serta mengetahui sifat-sifat yang wajib ada pada mereka, dan sifat-sifat yang tidak mungkin ada pada mereka.
Aqidah berasal dari kata ”Aqad” yang berarti ”Pengikatan”. Akidah adalah apa yang diyakini seseorang. Jika dikatakan , ”dia mempunyai aqidah yang benar”, berarti aqidahnya bebas dari keraguan. Akidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya terhadap sesuatu. Adapun makna Akidah secara Syara’ adalah iman kepada Allah , para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, serta kepada qadar baik dan qadar buruk. Akidah yang benar adalah fundament bagi bangunan Agama serta merupakan syarat sahnya amal. Hal ini sebagaimana Firman Allah Q.S. Al-kahfi: 110:
 قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا 
   
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.”
Ilmu Kalam disebut Ilmu Aqidah karena pokok pembicaraannya ialah pokok-pokok kepercayaan agama yang menjadi dasar agama Islam. Jadi Aqidah Ilmu Kalam ialah ilmu yang mempelajari ikatan/keyakinan seseorang tentang masalah ketuhanan dengan menggunakan dalil-dalil fikiran disertai dalil naqli.
Sedangkan Ushuluudin  berasal dari kata ushul dan ad-din, al-ushul  merupakan jamak dari kata al-ashl yang berarti asal, dasar, fondasi dan ad-din artinya: tunduk; patuh;  undang-undang; kekuasaan; pengelolaan; perhitungan; balasan; Utang. Jadi, ushuluddin artinya ilmu yang mempelajari tentang dasar, azas dan fondasi dalam beragama. Fondasi dalam beragama terangkum dalam rukun iman dan di antara rukun iman yang enam fondasi utamanya adalah beriman kepada Allah Swt.
Filsafat ketuhanan berurusan dengan pembuktian kebenaran adanya Tuhan yang didasarkan pada penalaran manusia. Filsafat ketuhanan (teologi naturalis) tidak mempersoalkan eksistensi Tuhan, disiplin tersebut hanya ingin menggaris bawahi bahwa apabila tidak ada penyebab pertama yang tidak disebabkan maka kedudukan benda-benda yang relatif-kontingen tidak dapat dipahami akal.
Dari hal tersebut di atas, ada beberapa macam pembuktian filosofik yang berusaha membukakan jalan-jalan menuju Tuhan; yaitu pembuktian ontologi, kosmologi, teleologi, moral, Henelogical argument dan ini sekaligus merupakan kelebihan pendekatan filsafat dibanding dari pendekatan agama maupun ilmu.  Ilmu terbatas pada pembuatan deskripsi yang didasarkan atas pengalaman empirik sedangkan agama berangkat dari keyakinan terhadap satu dokrin.
Sementara itu, filsafat Ketuhanan dalam Islam didasari atas 3 argumen, yaitu:
1.    Argumen al-Hudus (kebaharuan alam semesta)
2.    Argumen al-Imkan (kemungkinan)
3.    Argumen Pemilahan antara subtansi (jumhur) dan aksiden (‘ardl),


2.       KEIMANAN DAN KETAQWAAN
Iman artinya percaya dalam arti percaya secara total bahkan lebih tepat dimaknai dengan menaruh kepercayaan. Terdapat perbedaan mendasar antara percaya dan menaruh kepercayaan. Percaya tidak berarti otomatis menaruh kepercayaan tetapi menaruh kepercayaan sudah pasti didalamnya juga percaya.
Orang-orang musyrik pada zaman Rasul Saw. sesungguhnya juga punya iman dalam arti percaya. Hal terekam dalam ayat-Nya Q.s. Luqman/31: 25:
  وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ 
"Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui".
Dari ayat di atas jelas bahwa orang-orang kafir musyrik pada zaman Nabi Saw percaya juga kepada Allah Swt tetapi kepercayaan mereka sebatas lip service belaka karenanya mereka tidak mengikhlaskan diri untuk menyembah Allah bahkan mereka mempersekutukan-Nya dengan berhala-berhala. Kepercayaan orang-orang yang beriman dimaknai sebagai kepercayaan yang total, penuh keyakinan bahwa Allah bukan saja satu-satunya pencipta alam semesta (tauhid rububiyah) tetapi juga Allah saja yang wajib disembah (tauhid uluhiyah). Dengan demikian, iman yang benar  dimaknai dengan "menaruh kepercayaan" bukan sekedar percaya.
Iman kepada Allah juga dimaknai sebagai Allah saja satu-satunya tempat bergantung atau tumpuan harapan sebagaimana dalam Q.s. al-Ikhlas ayat 2 : ßyJ¢Á9$# ª!$#.
Prof.DR.M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah   menjelaskan: ayat ini menjelaskan kebutuhan makhluk kepada-Nya yakni hanya Allah Yang Maha Esa itu adalah tumpuan harapan yang dituju oleh semua makhluk guna memenuhi segala kebutuhan, permintaan mereka serta bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
                 Taqwa dapat diartikan dalam 3 hal:
1.    Merasakan kehadiran Allah dalam setiap langkah kehidupan (God Counsciousness),
2.    Melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya,
3.    Memelihara/menjaga diri dari perbuatan maksiat.
Pengertian Taqwa di atas lebih mengisyaratkan makna taqwa dalam bentuk amal ibadah/perbuatan yang baik (amal shalih). Makna ini ditegaskan dalam Q.s.Ali Imran/3: 133-135:
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui".

3.    IMPLEMENTASI IMAN DAN TAQWA DALAM KEHIDUPAN MODERN
Gambaran Iman dan Taqwa tak ubahnya seperti dua sisi pada mata uang, artinya tidak bernilai uang itu jika hanya ada satu sisi. Demikian juga Iman dan Taqwa, ia bernilai karena keduanya menyatu. Tidak bisa seseorang disebut bertaqwa tanpa beriman, demikian juga sebaliknya tidak dapat disebut beriman tanpa taqwa. Taqwa adalah capaian atau tujuan bagi orang-orang yang beriman bahkan Taqwa sebagai capaian/derajat tertinggi seperti ditegaskan dalam Q.s. al-Hujurat/49: 13:
 يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

"Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal".
                 Islam bukanlah agama teori tapi Islam adalah agama amal. Islam juga bukan hanya sebuah agama tetapi ia juga merupakan sikap hidup yang sempurna. Kehidupan modern lebih dominan pengaruh negatifnya dari pada positifnya. Hal ini dikarenakan banyak orang menyalahgunakan identitas kehidupan modern itu. Identitas kehidupan modern antara lain: teknologi informasi, komunikasi dan transportasi. Tetapi manusia cenderung menyikapi fenomena tersebut dengan perilaku materialis, hedonis dan pragmatis.
                 Oleh karena itu, Iman dan Taqwa tampil  untuk menyeleasikan problem perilaku manusia modern di atas, yaitu:
1.      Iman dan Taqwa menanamkan keyakinan dengan menaruh kepercayaan hanya kepada-Nya, memusnahkan syirik dan melenyapkan sihir (2 di antara 7 dosa besar) dalam Islam,
2.      Iman dan Taqwa melenyapkan ketergantungan pada benda dengan cara kesediaan berbagai pada orang-orang yang tak mampu dan lemah,
3.      Iman dan Taqwa melenyapkan sikap hidup bersenang-senang dengan cara memperbanyak ibadah seperti shalat, puasa, haji dan  selalu meningkatkan kualitasnya dengan lebih khusyu' dalam pelaksanaannya,
4.      Iman dan Taqwa menanamkan karakter/akhlak mulia, seperti ikhlas, sabar, jujur, konsekwen dan suka menolong,
5.      Iman dan Taqwa menumbuhkan rasa malu melakukan perbuatan syubhat apalagi perbuaatan dosa,
6.      Iman dan Taqwa mendorong orang untuk menuntut ilmu karena ia menyadari bahwa Iman dan Taqwa tanpa ilmu ibadahnya ditolak.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar