Guru merupakan komponen utama dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Guru menjadi penentu terhadap keberhasilan siswa dalam pembelajaran yakni perubahan perilakunya dari aspek pengetahuannya, keterampilan maupun sikap/kepribadian siswa. Harapan itu ternyata tidak berbanding lurus dengan kenyaataan yang ada. Hasil olympiade SCE (Science Competition Expo) untuk guru SMA Provinsi Sumatera Utara di USU Medan tahun 2017, untuk mata pelajaran Matematika diikuti 65 orang, dari 40 soal maksimal menjawab benar hanya 10 soal; mata pelajaran fisika dari 35 guru maksimal menjawab benar hanya 8 soal; mata pelajaran biologi dari 37 guru maksimal menjawab benar hanya 16 soal (iostpi. org).
Permasalahan ini dikarenakan kita belum mengutamakan pendidikan sebagai pondasi utama untuk membangun bangsa. Meskipun anggaran pendidikan sudah 20% APBN/APBD dan guru juga sudah disertifikasi tetapi mutu pendidikan kita belum meningkat secara signifikan. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai persoalan pendidikan yang kita alami hingga hari ini.
Pertama, kasus guru yang masih melakukan tindakan kekerasan terhadap siswa meskipun hanya dengan menyubit atau menjewer yang viral di media sosial. Hal ini dikarenakan hubungan antara guru dan siswa cenderung birokratis dan feodalistik seperti hubungan antara atasan dan bawahan, kurang melayani dan tidak menginspirasi sehingga guru suka marah, suka menghukum ataupun mengintimidasi (mengancam-ancam) seperti nilai tidak akan bagus, tidak naik kelas atau akan melaporkan kelakukan siswa kepada orangtua.
Kedua, hasil penelitian BNN
dan Universitas Indonesia tahun 2016,
pengguna narkoba dari kalangan pelajar dan mahasiswa mencapai 27,32%
(nasional.republika.co.id). Permasalahan
ini disebabkan orientasi pembelajaran guru lebih bersifat kognitif daripada
afektif dan psikomotorik. Guru cenderung hanya mentransfer ilmu yang
dimilikinya ke kepala siswa (transfer of knowledge) daripada mengajarkan nilai/karakter (transfer of
values). Guru belum bisa memimpin
siswanya dengan perilaku layaknya pemimpin yang membimbing, melayani, menjadi
pendengar sekaligus menyelesaikan permasalahan siswanya.
Kepemimpinan sebagai
Resolusi Guru Meraih Mutu Pendidikan
Selain basic
keilmuan pendidikan, ilmu kepemimpinan juga mesti dimiliki seorang guru. Secara
sederhana, kepemimpinan diartikan sebagai
proses mempengaruhi aktivitas
seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu (Hersey
dan Blanchard, 1986: 1000). Selain sebagai suatu proses, kepemimpinan juga
dimaknai dengan seni mengkoordinasikan dan mengarahkan seseorang atau kelompok
untuk mencapai tujuan yang diinginkan
(J.M.Pfiffner & B.W.Presthus, 1960: 92). Shared Goal, dkk, memaknai kepemimpinan sebagai sikap pribadi yang memimpin pelaksanaan aktivitas
untuk mencapai tujuan yang diinginkan.(1957: 7).
Berdasarkan penjelasan terkait kepemimpinan di atas, ada 3 kriteria yang mesti dimiliki seorang
pemimpin yaitu ilmu, seni/skill dan kepribadian. Ketiga kemampuan tersebut
harus terintegrasi dalam diri seorang
pemimpin (guru) tetapi di dalam Al-Quran
ketika menjelaskan proses kepemimpinan Nabi Adam a.s. pada Q.s. al-Baqarah/2:
30-31, M. Quraish Shihab menegaskan bahwa penyebab Nabi Adam diangkat
menjadi pemimpin karena ia memiliki
kelebihan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan
malaikat.( 2002: 177-178).
Dengan demikian, ilmulah
yang menjadi kriteria pertama seorang pemimpin karena dengan ilmu seseorang
akan menjadi berseni/skill dan juga berkepribadian berbeda dengan individu yang
keberhasilannya tergantung pada kepribadiannya.
Salah satu ilmu (teori)
tentang kepemimpinan adalah tipe-tipe kepemimpinan yaitu tipe otoriter, demokratis
dan Laissez-fair. Tipe kepemimpinan demokratis diterapkan pada siswa
yang memiliki kemampuan dan kemauan yang seimbang (+, +). Hendaknya guru melayani siswa dengan kecerdasan seperti ini: melayani
perkembangan intelektualnya misalnya dengan mencatat setoran hafalannya maupun pencapaian kompetensi dasar pembelajaran.Guru juga berusaha
mempermudah siswa memahami pembelajaran
dengan merancang, menyiapkan dan mengoperasikan
media dan sumber-sumber belajar serta berkomunikasi dan berinteraksi secara
demokratis dengan siswa. Di sini guru berfungsi sebagai fasilitator. Jika
kepemimpinan seperti ini dilakukan tidak akan terjadi kekerasan terhadap siswa.
Siswa diperlakukan sebagaimana anak sendiri sekaligus sahabat yang tidak ada
jarak dengan segala etika dan norma yang
perlu dijaga, baik oleh siswa maupun guru.
Bagi siswa yang bertipe
kemampuan dan kemauan yang tidak seimbang (+, -; -, +) , yang layak diterapkan
guru adalah tipe kepemimpinan otoriter.Yang dimaksud tipe ini bukanlah tindakan
sewenang-wenang terhadap siswa tetapi sikap ketegasan seorang guru dalam
mengembangkan potensinya. Tugas guru dalam menilai siswa secara lisan, tulisan
serta memberi perintah dan tugas untuk penguasaan aspek pegetahuan dan keterampilan dalam bentuk praktek, produk,
proyek dan portofolio adalah implementasi sikap otoriter guru. Di sini guru
berperan sebagai evaluator. Selain itu, guru juga memimpin dengan membimbing
siswa bertipe seperti ini. Mereka butuh diajari dan dituntun untuk mengetahui
dan terampil akan pembelajaran. Di sini guru memosisikan diri sebagai motivator.
Peran guru sebagai demonstrator diterapkan dengan memberikan keteladanan:
teladan dari pengetahuannya disebut guru profesional dengan indikasi menguasai materi pelajaran; teladan dari
kepribadiannya dan teladan juga dari aspek keterampilan. Jika kepemimpinan ini
diterapkan akan meminimalisir perilaku siswa yang menyimpang.
Adapun tipe kepemimpinan laissez
faire diterapkan terhadap siswa yang
memiliki kemampuan dan kemauan yang tinggi, mungkin disebut kelas
unggulan/akselerasi (super +). Guru
berperan sebagai manajer dan leader. Guru merancang model
pembelajaran dengan pendekatan student centered secara total, artinya siswalah yang belajar
dan menjadi pembelajar sendiri. Guru
hanya merancang proses pembelajaran tanpa diawasi sedangkan proses pembelajaran
tetap berlangsung dengan baik. Jika model ini bisa diterapkan, maka berbagai
bentuk ulangan maupun ujian tidak diperlukan lagi pengawas ruangan. Kantin
kejujuran sesungguhnya merupakan penerapan tipe kepemimpinan ini yang hanya
bisa diterapkan pada siswa yang cerdas: intelektualnya, emosional dan
spritualnya. Oleh karenanya, akan gagal
total jika diterapkan pada siswa yang memiliki kemampuan dan kemauan belajar
yang heterogen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar