Minggu, 26 November 2017

Meraih Mutu Pendidikan dengan Memaksimalkan Kepemimpinan Guru


Guru merupakan komponen utama dalam upaya meningkatkan mutu  pendidikan. Guru menjadi penentu terhadap keberhasilan siswa dalam pembelajaran yakni perubahan perilakunya dari aspek pengetahuannya, keterampilan maupun sikap/kepribadian siswa. Harapan itu ternyata tidak berbanding lurus dengan kenyaataan yang ada. Hasil olympiade SCE (Science Competition Expo) untuk guru SMA Provinsi Sumatera Utara di USU Medan   tahun 2017, untuk mata pelajaran Matematika  diikuti 65 orang, dari 40 soal maksimal menjawab benar hanya 10 soal; mata pelajaran fisika dari 35 guru maksimal menjawab benar hanya 8 soal; mata pelajaran biologi  dari 37 guru maksimal menjawab benar hanya 16 soal (iostpi. org).

 Permasalahan ini dikarenakan kita belum mengutamakan pendidikan sebagai pondasi utama  untuk membangun bangsa. Meskipun anggaran pendidikan sudah 20%  APBN/APBD  dan guru juga sudah disertifikasi tetapi mutu pendidikan kita belum meningkat secara signifikan. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai persoalan pendidikan yang kita alami hingga hari ini.

Pertama, kasus guru yang masih melakukan tindakan kekerasan terhadap siswa meskipun hanya dengan menyubit atau  menjewer yang viral di media sosial.   Hal ini dikarenakan hubungan antara guru dan siswa cenderung birokratis dan feodalistik seperti hubungan antara atasan dan bawahan, kurang  melayani dan tidak  menginspirasi sehingga guru suka marah, suka menghukum ataupun mengintimidasi (mengancam-ancam) seperti nilai tidak akan bagus, tidak naik kelas atau akan  melaporkan kelakukan siswa kepada orangtua.
Kedua, hasil penelitian BNN dan Universitas Indonesia tahun 2016,  pengguna narkoba dari kalangan pelajar dan mahasiswa mencapai 27,32% (nasional.republika.co.id).  Permasalahan ini disebabkan orientasi pembelajaran guru lebih bersifat kognitif daripada afektif dan psikomotorik. Guru cenderung hanya mentransfer ilmu yang dimilikinya ke kepala siswa (transfer of knowledge) daripada  mengajarkan nilai/karakter (transfer of values).  Guru belum bisa memimpin siswanya dengan perilaku layaknya pemimpin yang membimbing, melayani, menjadi pendengar sekaligus menyelesaikan permasalahan siswanya.

Kepemimpinan sebagai Resolusi Guru Meraih Mutu Pendidikan
Selain basic keilmuan pendidikan, ilmu kepemimpinan juga mesti dimiliki    seorang guru. Secara sederhana, kepemimpinan diartikan sebagai  proses  mempengaruhi aktivitas seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu (Hersey dan Blanchard, 1986: 1000). Selain sebagai suatu proses, kepemimpinan juga dimaknai dengan seni mengkoordinasikan dan mengarahkan seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan  yang diinginkan (J.M.Pfiffner & B.W.Presthus, 1960: 92). Shared Goal, dkk,  memaknai kepemimpinan sebagai  sikap pribadi yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan.(1957:  7).
Berdasarkan  penjelasan terkait kepemimpinan di atas,  ada 3 kriteria yang mesti dimiliki seorang pemimpin yaitu ilmu, seni/skill dan kepribadian. Ketiga kemampuan tersebut harus terintegrasi  dalam diri seorang pemimpin (guru) tetapi  di dalam Al-Quran ketika menjelaskan  proses kepemimpinan   Nabi Adam a.s. pada Q.s. al-Baqarah/2: 30-31,  M. Quraish Shihab  menegaskan bahwa penyebab Nabi Adam diangkat menjadi pemimpin karena ia  memiliki kelebihan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan  malaikat.( 2002: 177-178).
Dengan demikian, ilmulah yang menjadi kriteria pertama seorang pemimpin karena dengan ilmu seseorang akan menjadi berseni/skill dan juga berkepribadian berbeda dengan individu yang keberhasilannya tergantung pada kepribadiannya.
Salah satu ilmu (teori) tentang kepemimpinan adalah tipe-tipe kepemimpinan yaitu tipe otoriter, demokratis dan Laissez-fair. Tipe kepemimpinan demokratis diterapkan pada siswa yang memiliki kemampuan dan kemauan yang seimbang (+, +). Hendaknya guru  melayani  siswa dengan kecerdasan seperti ini: melayani perkembangan intelektualnya misalnya dengan mencatat setoran hafalannya  maupun pencapaian kompetensi dasar  pembelajaran.Guru juga berusaha mempermudah  siswa memahami pembelajaran dengan merancang, menyiapkan dan mengoperasikan  media dan sumber-sumber belajar serta berkomunikasi dan berinteraksi secara demokratis dengan siswa. Di sini guru berfungsi sebagai fasilitator. Jika kepemimpinan seperti ini dilakukan tidak akan terjadi kekerasan terhadap siswa. Siswa diperlakukan sebagaimana anak sendiri sekaligus sahabat yang tidak ada jarak  dengan segala etika dan norma yang perlu dijaga, baik oleh siswa maupun guru.
Bagi siswa yang bertipe kemampuan dan kemauan yang tidak seimbang (+, -; -, +) , yang layak diterapkan guru adalah tipe kepemimpinan otoriter.Yang dimaksud tipe ini bukanlah tindakan sewenang-wenang terhadap siswa tetapi sikap ketegasan seorang guru dalam mengembangkan potensinya. Tugas guru dalam menilai siswa secara lisan, tulisan serta memberi perintah dan tugas untuk penguasaan aspek pegetahuan dan  keterampilan dalam bentuk praktek, produk, proyek dan portofolio adalah implementasi sikap otoriter guru. Di sini guru berperan sebagai evaluator. Selain itu, guru juga memimpin dengan membimbing siswa bertipe seperti ini. Mereka butuh diajari dan dituntun untuk mengetahui dan terampil akan pembelajaran. Di sini guru memosisikan diri sebagai motivator. Peran guru sebagai demonstrator diterapkan dengan memberikan keteladanan: teladan dari pengetahuannya disebut guru profesional dengan indikasi  menguasai materi pelajaran; teladan dari kepribadiannya dan teladan juga dari aspek keterampilan. Jika kepemimpinan ini diterapkan akan meminimalisir perilaku siswa yang menyimpang.
Adapun tipe kepemimpinan laissez faire diterapkan terhadap siswa yang  memiliki  kemampuan dan  kemauan yang tinggi, mungkin disebut kelas unggulan/akselerasi (super +).  Guru berperan sebagai manajer dan leader. Guru merancang model pembelajaran dengan pendekatan student centered  secara total, artinya siswalah yang belajar dan menjadi  pembelajar sendiri. Guru hanya merancang proses pembelajaran tanpa diawasi sedangkan proses pembelajaran tetap berlangsung dengan baik. Jika model ini bisa diterapkan, maka berbagai bentuk ulangan maupun ujian tidak diperlukan lagi pengawas ruangan. Kantin kejujuran sesungguhnya merupakan penerapan tipe kepemimpinan ini yang hanya bisa diterapkan pada siswa yang cerdas: intelektualnya, emosional dan spritualnya.  Oleh karenanya, akan gagal total jika diterapkan pada siswa yang memiliki kemampuan dan kemauan belajar yang heterogen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar