Guru merupakan komponen utama dalam upaya meningkatkan kualitas
pendidikan. Menurut Syawal Gultom sesuai
penelitiannya menyatakan bahwa peran guru berpengaruh sangat besar dalam menciptakan
kualitas pendidikan yakni 36%, sedangkan manajemen berpengaruh sebesar 23%,
waktu belajar 22% dan sarana fisik 19%. (Mimbar Umum: 30/06/2008).
Keutamaan guru dalam meningkatkan sumber daya manusia ini mengingatkan kita akan pernyataan kaisar Jepang ketika mereka pernah diluluhlantakkan oleh tentara sekutu pada perang dunia II dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 sehingga menewaskan puluhan ribu rakyatnya, lalu Kaisar bangkit dan berkata kepada rakyat yang masih hidup, “berapa jumlah guru yang masih tersisa?”(Muhammad Natsir, 1965: 68).
Keutamaan guru dalam meningkatkan sumber daya manusia ini mengingatkan kita akan pernyataan kaisar Jepang ketika mereka pernah diluluhlantakkan oleh tentara sekutu pada perang dunia II dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 sehingga menewaskan puluhan ribu rakyatnya, lalu Kaisar bangkit dan berkata kepada rakyat yang masih hidup, “berapa jumlah guru yang masih tersisa?”(Muhammad Natsir, 1965: 68).
Begitu pentingnya peran guru dalam meningkatkan
SDM , Hery Noer Aly dan H Munzier S
menegaskan bahwa maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh pendidikannya. Bangsa
Perancis sewaktu mengalami kekalahan yang serupa dalam PD II, seorang warganya
mengatakan, “pendidikan Perancis telah mundur!”; Rusia berhasil menaklukkan ruang angkasa dengan Sputnik-nya,
orang Amerika berkata, ”apa yang menghancurkan sistem pendidikan dan pengajaran
kita?” dan ketika Jerman menang dalam
perang pada tahun 1970-an, seorang
warganya berkata, ”guru sekolah Jerman telah menang!” (2000: 2).
Untuk melengkapi kompetensi
keilmuan (profesionalisme), guru sebagai pemimpin pendidikan mesti memiliki keahlian/keterampilan/skill. Paradigma
ini berangkat dari pengertian bahwa kepemimpinan adalah sebuah seni memimpin (leadership
is an art). Keilmuan adalah teori
sedangkan skill adalah prakteknya (action). Kedua kompetensi ini sangat
diperlukan karena boleh jadi seorang pemimpin hanya mampu berbicara tapi tidak mampu berbuat. Kata-katanya boleh
jadi memukau lawan bicara seolah-olah dialah yang paling mengetahui atau paling
berilmu mengenai teori-teori kepemimpinan tetapi ketika diamati praktek
kepemimpinannya ternyata gagal. Itulah yang disinggung oleh Allah dalam
al-Quran surah ash-Shaf/61:2-3:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)
“Wahai orang-orang
yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan’’.
Signifikansi peran guru dalam pendidikan di atas jika ditakar dengan kondisi obyektif dunia
pendidikan di Indonesia saat ini sungguh
memprihatinkan. Problematika kinerja guru menguak begitu besar. Penilaian
sukses tidaknya guru dalam mendidik di ukur dalam 2 keadaan: kini dan masa yang
akan datang. Pada keadaan masa yang akan datang hampir dapat dikatakan tidak
ada guru yang tak berhasil dalam mendidik. Realitas ini dapat ditelusuri bahwa
mayoritas orang yang pernah mengenyam pendidikan dapat dikatakan sukses: sudah
menikah, bahagia bersama pasangannya dan sudah memperoleh pekerjaan tetapi yang menjadi permasalahan adalah kapasitas
anak pada masa kini yakni masih dalam keadaan sekolah atau belajar. Kapasitas
anak dalam keadaan masih belajarlah yang
selalau dipermasalahkan oleh para ahli dan pakar pendidikan bukan hasil
pendidikan pada masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar